Sekumpulan awan terlihat terus bergerak, seolah waktu mendorong mereka untuk berlari. Bumi tidak pernah tidur, ia terus berputar hingga hari berganti.
Dua hari telah berlalu, kini Jeno sudah sembuh dari demam tingginya akibat terlalu banyak menenggak alkohol.
Dering ponsel mengusik rungu Jeno, dibarengi cahaya putih ponsel yang menyala terang menampilkan satu panggilan dari temannya, Yoshi. Jeno memandang ponselnya dengan tatapan sayunya.
“Hum, paan?” tanya Jeno, begitu ia menjawab panggilannya.
“Ketus amat lu, tai! Pesanan lu udah jadi bangke!” umpat Yoshi dari seberang telepon.
“Oh. Ya, udah, nanti gue ambil,” sahut Jeno, nada suaranya terdengar masih lemah, ia memang sudah sembuh dari demam tingginya. Akan tetapi, tubuhnya belum sepenuhnya pulih.
Beberapakali Jeno terlihat memejamkan mata, mengusir sisa-sisa rasa pening yang masih menghinggapi kepalanya.
Objek yang ia lihat seperti berputar-putar mengajaknya bermain hingga membuat kepalanya terasa pening.
“Lemas sekali teman kita satu ini. Suara lu ngapa, Bro. Lemes amat kaya habis dirudapaksa?” Yoshi bertanya dengan suara santai seperti tak ada rasa bersalah.
Jeno memutar bola matanya malas, kemudian umpatan kekesalannya meluncur deras dan tajam bak sebuah peluru tembak, “Fuck you!”
“Makasih atas pujian Anda yang berlebihan itu, buruan ambil, Anjing. Gue keburu pergi ini, mau ada keperluan. Lu pikir cuma lu yang punya kehidupan?!”
“Sabar, Bangsat! Gue baru turun dari ranjang ini kaga bisa jalan. Jalan gue baru setara Patrick Star sekarang!” sentak Jeno.
“Oh, beneran habis dirudapaksa, ternyata, pantesan lama jalannya. Orang kaga bisa,” Yoshi berujar.
“Tai kucing!” umpat Jeno lalu mematikan sambungan teleponnya. Ia turun dengan hati-hati. Telapak kaki seputih salju miliknya bersentuhan dengan lantai, rasa dingin menyapa telapak kaki mulusnya, menyebar dan menyeruak sepanjang kulitnya.
Dia melangkahkan kakinya menuju ruang ganti dan mengambil outfit serba hitam, kali ini ia memakai jaket berwarna senada tak lupa membawa masker lantaran Jeno baru saja sembuh dari sakit.
Ia membersihkan diri sekitar 20 menit, jarum jam terus bergerak seirama dengan napas Jeno. Usai menyiapkan dirinya untuk menjalani hari, pemuda bermata sabit itu meraih kunci mobilnya dan melangkah keluar dari kamar.
Ia menutup pintunya, tak lupa mengunci kamarnya itu, saat tangannya memutar kunci suara Jaemin menyapanya.
“Good morning, Nono. Kamu mau pergi?” tanya Jaemin dengan senyum manisnya.
Jeno mengangkat sebelah bahunya tidak menghiraukan keberadaan Jaemin yang berdiri di ujung tangga.
Saat ia berjalan melewati Jaemin, dengan cepat tangan Jaemin menyambar tangan milik Jeno dan mencengkeramnya. Jeno sedikit tersentak.
“Mau apa lu?” tanya Jeno.
“Kamu mau pergi ke mana? Kamu, kan baru aja sembuh,” tanya Jaemin.
“Bukan urusanmu, Na Jaemin!” bisik Jeno dengan tajam. Mata Jaemin membola sebentar. Namun, senyum manis seindah rembulan di wajahnya mendadak redup.
Jeno kembali melangkah, tetapi justru cengkeraman tangan Jaemin semakin mengerat, membuat Jeno sedikit memekik dan meringis kesakitan.
“Lu ngapain, Bangsat? Sakit anjir!” sentak Jeno ditengah ringisannya.
“Sarapan bareng sama Nana, ya? Nana udah masakin menu sarapan buat Nono,” pinta Jaemin dengan senyum manisnya.
“Nggak, gue mal ... akh. Iya-iya kita sarapan bareng!” penolakan Jeno terputus saat Jaemin kembali mencengkram kuat pergelangan tangannya seakan hendak meremukkan tulangnya.
Jaemin tersenyum manis, kemudian berbalik seraya menggandeng tangan Jeno. Kedua anak Adam itu melangkah turun menuruni tangga. Di belakangnya Jeno beberapakali merutuk, lantaran lengannya terasa berdenyut.
Sesampainya di ruang makan, Jeno duduk manis setelah Jaemin menarik kursi untuknya duduk. Di depannya sudah tersaji waffle dengan topping potongan buah strawberry dan maple sirup.
“Selamat makan, Nono,” ujar Jaemin seraya tersenyum manis pada Jeno seraya mengusap puncak kepalanya.
“Ini orang kenapa anjir, kok lain dari biasanya sok akrab banget?” batin Jeno bertanya-tanya.
Jeno memakan waffle buatan Jaemin, semakin lama waffle itu semakin terkikis hingga habis. Usai sarapan, Jeno beranjak dari kursinya tanpa kata meninggalkan Jaemin yang hanya mampu menghela napas lelah.
Di saat Jeno sudah pergi meninggalkan rumahnya dengan mengendarai mobil kesayangannya, tiba-tiba Jaemin kedatangan tamu seorang kurir yang membawakan paket.
“Permisi,” kata kurir itu. Bersamaan dengan Jaemin yang membuka pintu utama.
“Ya?” jawab Jaemin dengan wajah penuh tanya.
“Benar ini rumah Lee Jeno?” tanya sang kurir.
“Iya, benar. Ada apa, ya?” Jaemin bertanya.
“Ini ada paket atas nama Lee Jeno,” sang kurir menyerahkan paket untuk Jeno itu pada Jaemin, meski Jaemin masih diselimuti kebingungan.
Jaemin yang tidak siap hampir saja, terjatuh saat menerima paket, tersebut.
“Eh ... eh?” katanya, “ini apa ya, Pak? Dan dari siapa?”
“Saya juga juga nggak tahu, karena disitu juga nggak dibilang dari siapa, yang saya tahu saya cuma disuruh antar paket ini untuk Tuan Lee Jeno,” jelas sang kurir, “sudah, kan? Kalau begitu saya permisi dulu, ya? Mari!”
“Eh, iya, Pak. Mari. Terima kasih sudah mengantar paketnya,” jawab Jaemin ramah. Ia melihat punggung sang kurir semakin menjauh hingga tak terlihat lagi seolah ditelan oleh kesunyian.
Jaemin memandang paket untuk Jeno itu dengan pandangan yang tidak bisa didefinisikan.
“Buket bunga?” gumamnya, tanpa sadar jemarinya mencengkram erat buket bunga mawar tersebut. Entah mengapa perasaan tak nyaman muncul dari dalam hati Jaemin, saat mengetahui Jeno mendapat sebuah buket bunga mawar yang cantik dari seseorang yang entah siapa namanya.