Jeno masih menggeliat dalam tidurnya, ditemani oleh Jaemin yang sudah menyibak tirai kamar Jeno hingga sinar mentari masuk menerobos jendela, menciptakan tiruan hitam dari objek yang disinarinya.
Cengkeraman tangan Jeno mengerat pada ujung selimutnya. Ia mengeluh dingin meski sebuah air conditioner tidak dinyalakan.
“Dingin! ... Mama, selimut Nono mana, dingin, Ma!” rintihan Jeno terdengar menyakitkan di telinga Jaemin. Pemuda itu bahkan menitikkan air mata saat melihat badan Jeno yang tengah menggigil kedinginan.
Ia lingkarkan tangannya pada tubuh Jeno—memeluk pemuda Taurus itu berusaha mengirimkan kehangatan untuk Jeno.
“Nak, ini air sama handuk basahnya untuk Tuan Muda Jeno!” panggil asisten rumah tangganya dari luar kamar Jeno.
“Masuk aja, Bi. Pintunya nggak Jaemin kunci!” teriak Jaemin dari dalam.
Derit pintu terdengar nyaris seperti gesekan biola sumbang. Masuklah sang asisten rumah tangga dengan membawakan wadah berisi air dan handuk basah untuk sang tuan muda. Di belakangnya satu asisten lagi membawakan bubur untuk sang tuan.
“Tolong taruh di nakas ya, Bi. Jaemin mau ambil baju ganti untuk Jeno, kasihan dia lengket begitu, terus beberapakali ngeluh dingin. Ini hangat, kan?”
“Iya, Nak. Itu hangat. Dan ini bubur untuk Tuan Muda Jeno,” sambung sang bibi, kemudian ia meletakkan di nakas samping ranjang.
“Terima kasih, semuanya. Kalian boleh keluar, Jaemin mau membersihkan tubuh Jeno dulu,” ujar Jaemin.
“Kalau begitu Bibi permisi dulu ya, Nak,” kata bibinya lalu melangkah keluar diikuti asisten rumah tangga yang lain.
Suara pintu tertutup perlahan. Jaemin sontak turun dari tempat tidurnya, ia benar-benar mengambil baju ganti untuk Jeno dan membasuh tubuh pemuda itu.
Baju Jeno pun sudah Jaemin tanggalkan, tubuhnya tampak pucat tertimpa cahaya.
Jaemin membasuh seluruh tubuh Jeno dengan perlahan seakan menikmati setiap inchi keindahan tubuh sang sepupu dan menjaganya layaknya sebuah boneka porselen yang rapuh.
Usai membersihkan tubuh Jeno, tangan Jaemin dengan sigap memakaikan baju untuk sang tuan muda itu.
Senyuman tulus tampak mengembang di wajah manis Jaemin bagaikan sebuah pelangi, tetapi rasa sendu masih tertinggal di sana. Ia tahu Jeno hanya demam, tetapi entah mengapa Tuhan seolah menghukumnya karena pernah membuat sepupunya menangis, meski tanpa air mata.
Tangannya dengan cekatan, tetapi sedikit ada sedikit getaran di sana saat memasangkan baju dan plester demam pada dahi Jeno.
Rasa halus mulus dari kulit Jeno terasa menggelitik saat menyapa telapak tangan Jaemin.
“Entah kenapa kalau lihat kamu begini, Nana merasa kamu kaya bayi yang rapuh, No,” gumam Jaemin, “cepat sembuh sepupu.”
Cup! Satu kecupan manis mendarat di pipi pualam milik Jeno. Ya, Jaemin-lah pelakunya.
***
Sementara itu di sisi lain, Mark tampak mendengarkan dengan seksama setiap kata yang meluncur dari bibir temannya di seberang telepon. Senyum miring terbit di wajahnya yang tampan bak matahari tetapi terasa dingin menusuk seolah menyimpan sebuah arti.
“Oh, wow. Does he suffer from brother complex?” tanya Mark dengan nada sing a song. Tangannya meraba tiap inchi foto yang diam-diam ia simpan. “Menarik.”
Di luar sinar mentari menari di permukaan kaca memantulkan bayangan Mark yang tersenyum samar, menunggu bayangan itu tumbuh menjadi gelap.