Mentari bersekongkol dengan sang angin mengintip malu-malu dari celah-celah tirai yang menari gemulai. Nyanyian burung terdengar merdu, tak sekalipun membangunkan Jeno yang kesadarannya masih lenyap.
Derit pintu kamarnya terdengar, selaras dengan pintu yang terdorong pelan hingga terbuka. Menampakkan pemuda berwajah kelinci menatap sendu Jeno yang tertidur.
Jaemin melangkah tanpa suara, langkah kakinya yang berpijak pada lantai kamar Jeno seolah membisu, hingga ia sampai pada tepi ranjang Jeno.
Dipandangnya wajah Jeno yang tampak sempurna, setiap pahatan wajahnya terasa menakjubkan hati Jaemin. Dengan badan yang sedikit membungkuk, Jaemin membangunkan Jeno.
“Selamat pagi, Nono. Bangun yuk! Udah pagi, Nana udah buat sarapan untuk Nono,” bisiknya di telinga Jeno.
“Eung?” Jeno tak menanggapi, ia menggeliat dalam tidurnya. Tubuhnya terasa seperti terbakar bara api. Peluh bercucuran membanjiri dahi, serta pelipis Jeno.
Bibirnya yang biasa terlihat berwarna pink- kemerahan itu, kini terlihat pucat. Jaemin menatap Jeno curiga, ditempelkannya telapak tangan Jaemin pada dahi sang sepupu.
“Ya, ampun, Jeno. Kamu demam, Jen! Astaga, mana panas banget lagi,” monolog Jaemin. Rasa panik menyerang Jaemin seketika.
Ia melangkah keluar kamar, derap langkah kaki terdengar menggema di penjuru rumah, berniat mengambil plester demam dan menyiapkan nampan berisi obat dan segelas air.
Beruntung asisten rumah tangga mereka sudah datang pagi-pagi.
“Nak Jaemin, kenapa?” tanya seorang asisten rumah tangga.
“Ah, Bibi. Ngagetin aja. Itu, Bi, Jeno demam, Bibi tolong masak sup pereda mabuk buat Jeno, ya! Soalnya semalam Jeno pulang larut dalam keadaan mabuk. Nggak tahu deh, Bi dia pergi ke mana?” jelas Jaemin.
“Ah, okelah kalau gitu, Bibi masak dulu supnya. Nak Jaemin siapin obatnya dulu aja, Tuan Muda Jeno belum bangun, kan?” tanya sang bibi.
“Belum, Bi. Kalau gitu makasih ya, Bi. Jaemin ke atas dulu mau pasang plester demam untuk Jeno,” pamit Jaemin sambil membawa nampan berisi air putih dan obat serta plester demam itu ke atas, tepatnya di kamar Jeno.
“Bi tolong bawain handuk basah sekalian, ya. Jaemin lupa!” teriak Jaemin dari atas.
“Iya, Nak!” balas sang asisten.
Jaemin melangkah masuk ke dalam kamar Jeno, lagi-lagi tanpa suara. Dia mendekati ranjang Jeno, tangan Jaemin menyingkirkan poni milik Jeno yang menutupi sebagian dahinya.
“No, kenapa kamu jadi begini? Maaf, ya kalau kehadiran Nana buat hidup Nono makin sulit,” monolognya sambil mengusap wajah rupawan Jeno.
Dalam keheningan, Na Jaemin dipenjara perasaan bersalah yang begitu dalam, hingga membuat saudara sepupu kesayangannya itu berubah drastis dari sosok yang lembut dan penyayang, menjadi sosok yang dingin, tempramen.
“Maafin Nana, No. Maaf udah buat hidup Nono sulit. Padahal kamu lebih dari segalanya kalau dibandingkan dengan Nana,” Jaemin terisak. Air matanya menetes membasahi pipi Jeno.
Di bawah horizon yang sama, Mark duduk di kursi kebesarannya ia memutar-mutar kursinya sambil memandang langit-langit ruang kerja miliknya.
Jarum jam berdetak menjadi musik pengiring Mark dengan kesendiriannya. Tangan Mark mengotak-atik ponselnya dan menghubungi orang kepercayaannya.
“Halo, Luc. Gue ada tugas buat lu, tolong cari tahu tentang seseorang secara detail dan menyeluruh. Gue kirim fotonya ke lu bentar.”
“Hmm ... iye!” suara sang sahabat menyahut dari dalam telepon. Mark langsung mematikan sambungan teleponnya, jarinya mengetik—mengirimkan sesuatu pada seseorang yang baru saja dihubunginya.
Setelahnya mata Mark terlihat berkilat senang, seringainya semakin lebar.
“Apa yang gue mau, harus gue dapat,” gumamnya sayup-sayup tawa Mark terdengar sebelum akhirnya meledak menghantam dinding-dinding ruangannya yang kedap suara.
Jam dinding yang tergantung di dinding seakan menjadi saksi bisu bangkitnya sosok lain dari sang tuan.