Kumpulan awan terus berlari hingga warna biru sang cakrawala memudar berganti dengan warna hitam, sehitam jelaga.
Jeno, laki-laki itu pulang ke rumahnya setelah seharian menghabiskan waktu di bar, dan menghabiskan satu strawberry shortcake martini, segelas crismon muse, segelas strawberry absinthe swirl, dan segelas lesbian vampire yang menyapa tenggorokannya mulai siang tadi.
Dengan sisa kesadaran yang tersisa di antara pening dan gemuruh darah di kepala, Jeno pulang ke rumahnya, langkahnya sedikit terhuyung-huyung saat sampai di rumahnya.
Jeno mengetuk pintu sedikit keras dengan sedikit, ada jeda. Lantaran kesadarannya semakin menipis.
Dor! Dor! Dor! Gedoran pintu yang sedikit brutal memekakkan telinga, hingga merebut atensi warga. Beberapa di antara mereka bahkan melongok keluar, melihat apa yang terjadi.
“Na Jaemin, buka pintunya!” teriak Jeno sambil menggedor-gedor pintu, karena pintu itu tak kunjung dibuka. “Ya, Anak Yatim, buka pintunya, bangsat. Lu pikir ini rumah punya lu, apa?!”
Dengan tergopoh-gopoh, derap langkah Jaemin terdengar menggema di seluruh ruangan rumah Donghae dan Tifanny.
Klek! Pintu rumah terbuka mata Jaemin terbelalak lebar melihat keadaan Jeno yang jauh dari kata baik.
“Ya, ampun, Jeno. Kamu kenapa ... kenapa kamu pulang dengan keadaan mabuk begini?” nada cemas amat kentara dari bibir Jaemin, melihat sang sepupu berjalan sempoyongan, seperti jiwanya hendak terlepas dari tubuh pemiliknya.
“Lu diem! Dari mana aja sih, lama banget cuma buka pintu doang? Kuping lu udah budeg emang, gue gedor-gedor dari tadi nggak denger? ... oh, atau lu pengen menguasai nih rumah dan nggak ada niatan bukain pintu buat gue? ... lu punya niatan mau nendang gue dari rumah gue sendiri, kan. Iya, kan?!”
“Maaf Jeno, aku nggak bermaksud gitu, aku tadi baru di kamar, baru mandi, jadi buka pintunya agak telat,” jelas Jaemin.
Jeno terkekeh di bawah penerangan cahaya yang minim. Di ruang tamu rumahnya, “Halah, nggak usah banyak alasan lu. Gila, ya. Ternyata selain cosplay jadi anak yatim biar dikasihani sama orang tua gue, lu mau depak gue. Licik juga ya, lu?”
Jaemin menatap wajah sang sepupu dengan mata yang berkaca-kaca. Perkataan Jeno bagai peluru acak yang tak tahu kapan siap menembak.
“Lagian Om Siwon, kan kaya. Hartanya di mana-mana. Seharusnya sebagai anak tunggal warisan lu itu banyak, dan lu udah bisa tinggal sendiri, kenapa masih ngemper di rumah keluarga gue. Oh, gue tahu, lu numpang di keluarga gue karena semua duit yang Om Siwon punya itu duit haram hasil korupsi ya? ...”
“... terus semua tindakan korupsinya ketahuan dan asetnya pada ditarik semua, makanya lu jadi gembel dan numpang di rumah gue, ha-ha. Nggak nyangka, bokap lu yang kelihatannya berwibawa, ternyata tukang korupsi,” Jeno meracau.
“Jeno!”
Plak! Suara tamparan yang begitu keras dan nyaring memecah kesunyian malam bersamaan dengan teriakan lantang Jaemin. Wajah Jeno hingga menoleh ke samping dan mata Jaemin terlihat berkaca-kaca, tetapi ada sedikit nyala api kemarahan yang teramat jelas di sana.
“Kamu boleh hina aku sepuas kamu, kamu boleh caci maki aku karena aku Yatim Piatu, kamu boleh lakuin semuanya ..., tapi jangan pernah hina mendiang orang tua aku seenaknya. Daddy-ku bukan orang yang sekotor itu, Jeno,” ujar Jaemin di sela isakannya.
Jeno menatap Jaemin dengan pandangan terluka, kekehan sinis mengalun dari bibirnya. Waktu seakan berhenti berjalan, keheningan menyusup di tengah-tengah mereka.
Bugh! Satu bogeman mentah mendarat di wajah Jaemin secara tiba-tiba. Jeno menatap nyalang saudara sepupunya itu. Jaemin yang tidak siap tubuhnya mendadak limbung dan terjatuh, pantatnya mencium dinginnya lantai.
“Berani lu nampar gue? Kalau lu nggak terima sama apa yang gue omongin. Seharusnya lu pergi dari sini, bangsat. Jangan cuma numpang kaya orang miskin dan bikin hidup gue kacau, gara-gara lu hadir di sini. Dasar tolol. Pergi lu dari rumah gue!” teriak Jeno tepat di depan wajah Jaemin dan pergi ke kamarnya.
Meninggalkan Jaemin yang menangis dipeluk rasa sakit akibat perkataan Jeno yang amat menusuk bagai sembilu.
“Mama, kenapa Nono berubah?” isaknya.
Dalam keheningan kamarnya, mata Jeno terpejam dan tertidur dengan nyaman, tanpa ia tahu bahwa seseorang di tempat yang berbeda tengah menyebut namanya.
Sementara itu masih di bawah horizon gelap yang sama, tetapi di tempat yang berbeda, di ruangan yang didominasi warna monokrom, seorang pria memandang lepas pemandangan malam kota metropolitan Seoul dari sebuah jendela.
Tangannya menggoyangkan segelas sampanye, bayangan Jeno seolah menggodanya dari balik jendela.
“Jeno Lee. Kamu sangat menarik, Sayang. Saya jadi ingin mendapatkan kamu, tunggu pembalasanku, Jeno. Itu akibatnya jika kamu membangunkan sesuatu dalam diri saya, ha-ha-ha ...,” tawanya seolah menyatu dengan suara lalu-lalang kendaraan.