Jeno menoleh, yang entah di mata Mark seperti adegan slow motion. Angin seperti mendukung untuk menggodanya melalui penampilan Jeno yang terlihat begitu menawan. Rambut sehitam jelaga dan lembut milik Jeno seakan menari-nari hingga menutupi sebagian mata pemuda itu.
“Maksud Anda?” tanya Jeno pura-pura tak mengerti.
Mark terkekeh tanpa suara, perlahan tapi pasti langkah Mark bergerak mengeliminasi setiap jarak yang tercipta antara dia dan Jeno. Hingga pemuda itu berdiri tepat di depannya.
Ujung sepatunya bersentuhan dengan ujung sepatu milik Jeno.
“Aku tahu, kau mengerti maksudku. Jangan pura-pura polos, Jeno Lee,” ujar Mark. Ia tersenyum penuh arti mata sayu miliknya memandang Jeno begitu dalam. Jemari Jeno bergerak tidak nyaman. Ia merasa seperti ditelanjangi oleh pria tak dikenal.
“Anda terlalu cepat menilai seseorang, Tuan. Kita baru saja mengenal, apa ini merupakan kebiasaan Anda?” tanya Jeno sedikit sarkas.
Jujur saja Jeno merasa tidak suka dengan seseorang yang mampu membaca dirinya dengan cepat.
“Jangan pernah membaca saya tanpa seizin saya, Tuan. Itu sangat tidak sopan!” ucap Jeno dengan penuh penekanan.
Pemuda itu merasakan darahnya mendidih, kilat kemarahan tampak jelas di matanya yang kecil.
“Tidak ada yang ingin dibicarakan lagi, bukan. Kalau begitu saya permisi,” pamit Jeno kemudian berbalik pergi, meninggalkan Mark yang masih tersenyum misterius di sana.
“Kamu sungguh menarik, Jeno. Aku jadi menginginkanmu, tapi sepertinya sangat sulit, ya? Ha-ha-ha ...,” gumamnya sambil meledakkan tawa dalam kesendirian.
Di sisi lain Jeno tampak mengendarai mobil pick up-nya dengan kecepatan tinggi. Wajahnya tampak mengeras—menahan gejolak amarah yang siap meledak kapan saja.
“Sialan dia pikir, dia itu siapa. Seenaknya aja baca gue?” Jeno menggerutu, jemarinya mencengkram erat setir mobil.
Mobilnya melaju dengan cepat selaras dengan jantung yang berpacu yang diselubungi selimut amarah.
Jeno butuh pelampiasan amarah saat ini juga. Ia menuju sebuah bar. Brak! Suara pintu mobil dibanting kasar merebut atensi beberapa orang yang lewat, tetapi tak Jeno acuhkan.
Langkah jenjangnya terayun dengan cepat setiap entak kakinya seolah ingin meremukkan lantai bar itu.
Ia langsung berbelok menuju meja bar. Dentuman musik yang menggema yang menghantam tembok, seakan ingin memukul jantungnya.
Jeno duduk di kursi depan meja bar, ia berteriak sedikit keras lantaran suaranya sedikit tenggelam dalam alunan musik EDM.
“Strawberry, shortcake martini, please!”
“Yo, Jeno apa kabar, Bro?”
Senyum kecilnya terbit, “Masih sama kok, Lix belum mati, santai.”
Felix Lee pria berdarah campuran Korea-Australia itu langsung dengan terampil meracik minuman pesanan milik Jeno.
“Tumbenan lu siang-siang minum, Bro. Kenapa lagi lu?” Felix menaikkan satu alisnya sembari tangannya bekerja membuat pesanan.
“Nope. Gue cuma butuh pengalihan dari rasa haus gue aja,” ucapnya sambil tersenyum manis hingga mata sabitnya ikut tersenyum.
Felix diam, enggan bersuara. Dia tahu teman di depannya ini memasang senyum palsu.
“Haus lagi, lu. Nanti malam lu minum lagi dong berarti?” tanya Felix.
“Mungkin iya, mungkin nggak, nggak ada yang tahu. Semoga aja dengan minuman racikan lu, gue udah nggak haus lagi malam ini,” jawab Jeno dengan santai.
Matanya menyapu sekeliling—melihat euforia lautan manusia yang tenggelam dalam lantai dansa. Bau alkohol yang menggoda indra penciuman dan perlahan menyeruak serta lampu Strobo yang terlihat kelap-kelip seirama dengan napas Jeno.
“Hey, Boy. Wanna dance with me?” tanya seorang wanita yang entah datang dari mana dan berlenggak-lenggok ria menghampiri Jeno. Jemari lentiknya menyusuri wajah hingga dada bidang Jeno dengan gerakan yang teramat sensual, berharap Jeno terpancing dengan tindakannya dan bisa menghabiskan waktu panas berdua.
Namun, Jeno hanya menampilkan senyum nakalnya dan menurunkan tangan wanita itu dengan pelan.
“Sorry, tapi gue lagi nggak minat habisin sesuatu yang panas malam ini, gue lagi nggak minat main,” Jeno menolaknya.
Bibir wanita itu melengkung turun, merasa tertolak oleh pria setampan Jeno. Felix sendiri menahan senyum gelinya.
“Tumbenan lu nggak mau main cocok tanam? Nggak bawa pengaman?” goda Felix.
“Lagi nggak pengen jadi petani yang menanam benih,” jawab Jeno cuek.
“Strawberry shortcake martini for you, Bro,” Felix menyodorkan segelas Martini pada Jeno.
“Thanks, Felix,” ucap Jeno. Ia menyeruput Martini pesannya. Rasa panas dari alkohol bercampur dengan strawberry menghantarkan perasaan nyaman sesaat dalam hati Jeno. Dan sedikit menggerus rasa hausnya.