Pecahan kaca membelah keheningan malam. Selma yang sedang belajar di kamar terkejut dan penasaran akan suara itu. Suasana rumah yang sudah gelap memaksanya untuk mencari asal suara. Di sana, terhampar tubuh ibu Selma di dapur. Jantungnya seakan lepas, Selma bersimpuh sambil menggoyangkan tubuh ibunya putus asa. Tangisan menyedihkan bergema di setiap sudut rumah, membiarkan Selma yang sendirian ketakutan.
"Jadi, malam itu tepat saat mama kamu mau memberikan surprise ulang tahun?" Pertanyaan itu dilontarkan oleh seorang pria dengan kacamata hitam dan pakaian berjas hitam. Namanya Arby dan Selma baru pertama kali bertemu dengannya.
Selma tersenyum masam dan menyanggah tubuhnya dengan kedua tangan dibawah tempat ia duduk. Mereka berdua duduk diatas bangunan kosong yang terlihat mangkrak karena banyak peralatan bangunan bersarang laba-laba.
"Apa setelah kamu tahu semuanya, kamu akan pergi?" Tanya Selma dengan senyum mengejek.
Arby mengerutkan dahinya dan berceletuk, "Buat apa aku pergi? Aku bukan orang seperti itu? Kalau kamu mau, aku bisa jadi teman curhatmu."
"Oh..." Selma kembali menarik napasnya, seakan menahan sesuatu yang sulit diucapkan. "Baguslah... Aku tidak peduli jika kau pergi setelah ini karena semua orang pasti akan pergi dariku."
Arby berdeham. "Tolong jawab pertanyaanku."
"Ya... mamaku serangan jantung saat menyiapkan kue ulang tahun buatannya dan kue itu hancur. Mungkin itu hukuman dari tuhan karena aku tidak pernah memperhatikan mamaku dan hanya merepotkannya sebelum meninggal."
"Jangan berpikiran negatif! Apa kamu selalu menyalahkan diri sendiri?" Arby terus memperhatikan Selma. Wanita itu agak tidak nyaman melihat Arby yang memakai kacamata saat malam hari.
Selma tertawa renyah. "Aku memang pantas disalahkan. Rasanya tiba-tiba sendirian dan hidup semakin rumit saat mama pergi seperti hukuman tiada akhir." Wanita itu mengusap wajahnya, "Bahkan aku tidak bisa menjaga rumahku dan tiba-tiba jadi bangunan mangkrak ini."
Arby menggaruk alisnya. "Oh... jadi bangunan ini berdiri diatas tanah rumahmu?"
"Ya... keluarga ibuku entah darimana bilang bahwa rumahku adalah warisan keluarga dan tidak lama aku menyerah memberikan tanah tersebut, dijadikan lah bangunan bersama tanah tetangga-tetangga lain." Selma kembali tersenyum pahit.
"Mama pasti marah karena aku tidak bisa menjaga harta satu-satunya keluarga." Lanjut Selma dengan tatapan lesu.
Arby menarik tangan Selma dan mengepalnya kuat-kuat. Wanita itu tertegun dan Arby terus memegang erat tangan Selma.
"Selma, stop berpikir buruk! Coba tanya kepada dirimu sendiri, apa kamu layak disalahkan? Apa kamu ingin hidup begini sampai kamu mati? Semua ini bukan salahmu dan hidup sedang mengujimu agar lebih kuat. Pikirkan dirimu sendiri dan stop dengar omongan jahat orang lain!"
Suara lantang Arby mengetuk hati Selma. Tidak ada yang pernah mengatakan itu dihidupnya. Teman atau orang terdekatnya tidak ada yang mengingatkannya akan diri sendiri. Selma harus sabar, harus pikirkan orang lain, harus bersyukur karena masih hidup, atau harus melupakan kejadian itu. Ucapan itu terus memaksanya untuk berhati keras dan tidak mengobati sama sekali keresahannya.
Bibir Arby terbuka. "Ah... Aku salah ngomong, ya?"
Selma mulai menangis pilu dengan kucuran air mata yang mengalir deras. Arby melepas genggamannya dan terlihat kebingunga. "Sel..."
"Aku... Aku bingung, By..." Bibir Selma bergetar dan napasnya tersendat. "Rasanya capek harus lewatin... i-ni semua..."
Arby mengeluarkan sarung tangan berwarna putih kepada Selma. Wanita itu menerima benda tersebut dengan senang hati. Beberapa menit kemudian, tangisan Selma mereda. Keduanya masih diam sambil memandang lampu-lampu gedung dan kendaraan yang melintas.
"Arby, terima kasih..."
Pria itu menoleh dengan ekspresi yang tidak bisa dijelaskan. Selma begitu lega dan merasa seluruh tubuhnya ringan dibanding sebelumnya. Arby memegang pipi Selma dan tersenyum tipis.
"Pertama kali aku lihat kamu ada jejak air mata yang membekas meskipun kamu belum menangis. Sering-sering bahagia ya, Sel."
Selma menjauhkan wajahnya dan tersenyum bingung. "Apa sih?"
Arby kembali menyentuh tubuh Selma dengan memaksa tubuh wanita itu berhadapan dengannya. "Pokoknya kamu harus janji untuk tidak membuatmu susah dan sedih lagi. Kalau ada cobaan, cari jalan keluar yang gak bikin kamu kesakitan lagi."
Selma sedikit kesal meskipun ucapan Arby tidak salah sama sekali. Kenapa pria di depannya aneh?
"I-iya... aku janji... Kamu sendiri... kenapa tahu aku di sini?" Pertanyaan itu seketika membuat Arby tersenyum senang.
Pria itu berdiri dan menatap kebawah dengan senyuman tadi. Arby membuka kacamatanya sebentar dan memakaikan kembali. "Kamu sering ke sini dan menangis sendirian malam-malam. Awalnya aku berpikir bahwa kamu hantu. Tapi... kamu ternyata bukan, ya..."
"Mungkin aku bikin orang yang lihat ketakutan." Selma tertawa kecil dan Arby kembali duduk disampingnya.
"Selma."
"Kenapa?"
"Terima kasih juga karena kamu mendengarkanku." Arby memberikan sebuah lilin kecil dan entah bagaimana sudah menyala lilinnya.
"Selamat ulang tahun, Selma..."
Cahaya hangat lilin memenuhi wajah Selma. Wanita itu tersenyum lebar, "Kok... kamu tahu ulang tahunku?"
"Aku sebenarnya dekat denganmu." Arby menjauhkan lilin itu sebelum ditiup Selma.
Wanita itu mengerutkan keningnya. Ia berpikir keras untuk mengingat, apakah Arby pernah ia lihat atau tidak. Hasilnya nihil. Selma yakin ini pertemuan mereka yang pertama.
"Selma, sebenarnya aku salah mengganggu waktumu. Tapi... aku tidak bisa membiarkanmu terus bersedih. Aku telah melanggar nasibmu dan hukumanku akan segera datang." Arby begitu serius hingga Selma bingung harus menanggapi seperti apa.
"Ar... by. Ucapanmu aneh... Kamu mengira aku akan bunuh diri di sini?"
Arby mengangguk. "Sel, aku tahu waktu kita tidak banyak. Tapi... tolong dengarkan aku baik-baik. Lakukan apa yang kamu bisa setelah kamu meniup lilin ini. Pertemuan kita akan terhapus dari ingatanmu."
Arby memberikan lilin tersebut dihadapan Selma. Wanita itu agak enggan karena takut akan sesuatu yang terjadi nanti. Selma membuang wajahnya. "Akhirnya semuanya pergi..."
"Aku tidak akan pergi kemana pun. Aku selalu di dekatmu meski kamu tidak melihatku. Pada akhirnya aku yang sendirian dan tidak bisa berbicara denganmu lagi..." Raut wajah Arby begitu sendu. Selma dengan serius berharap jika apa yang didengarnya candaan.
"Sudah, lupakan!" Arby memandang wajah Selma kebingungan. Keduanya saling bertatapan dengan cahaya lilin kecil yang menerangi wajah mereka.
Selma tiba-tiba merasa sedih memikirkan betapa singkatnya pertemuan mereka saat ini. Ia ingin melihat wajah Arby sepenuhnya sebelum ia lupa akan pria itu. Selma sedikit menjauh dari lilin di depannya.
"Arby, aku mau lihat wajahmu tanpa kacamata sebelum aku meniup lilin ini."
"Hah? Memangnya... penting? Emang buat apa?" Kekeh Arby canggung.
"Kalau ucapanmu benar, aku akan berusaha ingat wajahmu dan mencarimu. Aku tidak akan melepaskanmu semudah itu, karena..."
"... kamu sudah menyelamatkanku..."
Arby terlihat tertegun sebelum akhirnya mengangguk pelan. Mereka berdua mulai berdekatan dihadapan lilin tersebut. Selma begitu penasaran dengan wajah Arby. Siapa di balik sosok misterius itu?
Kejadian tersebut terasa lambat. Selma begitu terkejut sekaligus terpukau dengan apa yang ia lihat. Saat kacamata itu dilepas, yang Selma lihat adalah pria berwajah lembut dengan mata yang bersinar seperti gerhana bulan. Terasa aneh, tapi Selma akan mengukir kuat di pikirannya maupun di hatinya. Ia bersumpah tidak akan melupakan pria bermata coklat keemasan itu.
Selma tidak sadar meniup lilin dihadapannya. Riuh suara terompet mainan seketika mengejutkannya. Wanita itu samar-samar melihat sosok ibunya dan kue ulang tahun black forest kesukaannya. Selma semakin dikejutkan dengan ukiran tulisan dari krim kue dihadapannya.
'Happy Birthday Selma yang ke-16'
"Mama!" Selma memeluk ibunya erat. Ia bisa merasakan tubuhnya yang berbeda dengan Selma yang berumur 25. Ia berada di waktu 2 tahun sebelum ibunya meninggal.
"Sel, kamu lebay banget! Mama, kan selalu buat kue ulang tahun khusus tiap tengah malam. Biasanya kamu gak seheboh ini." Ibu Selma terlihat kebingungan dihadapkan anaknya yang menangis haru.
"Pokoknya Selma akan lebih perhatian lagi sama mama. Selma sayang mama." Suara serak itu langsung mengukir senyuman Ibu Selma.
"Oh... sebentar..." Ibu Selma terlihat kebingungan. "Mama lupa ambil piring sama pisau kue. Tunggu sebentar!"
Seraya ibu Selma pergi, sekelebat angin terasa mendekat kearah Selma. Perempuan itu menoleh ke belakang. Ia tidak bisa melihat sesuatu yang mendekat, tapi terasa familiar. Jantungnya berdetak kencang tiba-tiba hingga Selma menyentuh dadanya.
"Arby... Siapa Arby? Kenapa aku memikirkan nama itu?"