JANGAN DIBACA JELEK CERITAKU ☺
Disuatu siang ada dua anak remaja dengan manaiki sepedanya masing-masing sedang menuju kewarung bakso langganan mereka.
"Ya ampun, Iqbal! Bisa nggak sih, nggak usah ngebut gitu? Gue kan jadi ketinggalan!" Aku ngos-ngosan berusaha menyamai kecepatan sepedanya.
Iqbal menoleh sambil cengengesan. "Salah sendiri lelet! Udah tau hari Minggu, bakao mang mamat pasti rame."
"Iya, iya, bawel dasar maniac bakso! Tapi kan nggak harus kayak pembalap gini juga," balasku sambil mengatur napas. "Eh, PR matematika udah?"
"Santai, udah beres dari kapan tau. Lo pasti belum, kan? Kebiasaan!"
"Sok tau! Udah, kok! Tinggal dikit lagi," elakku, padahal aslinya belum disentuh sama sekali.
Sampai di warung bakso, Iqbal langsung nyerocos ke mang Mamat. "Mang Mamat, spesial kayak biasa! Iqbal komplit, Syakila komplit tapi nggak pake sawi, ya!"
"Siap, Nak Iqbal! Kalian ini emang langganan setia," sahut Mang Mamat sambil tersenyum.
Sambil nunggu bakso pesenan dateng, Iqbal tiba-tiba nanya, "Eh, Sya, lo tau nggak sih, si Niken yang anak kelas sebelah itu?"
Jantungku langsung dag dig dug nggak karuan. "Kenapa emangnya?"
"Kayaknya dia lumayan, ya? Manis gitu."
Aku berusaha senyum, meskipun rasanya agak maksa. "Lumayan sih... Emang lo naksir sama dia?"
"Nggak tau juga, sih. Cuma ya gitu deh, lumayan buat cuci mata," jawabnya sambil ngangkat bahu. "Menurutmu gimana?"
"Ya... kalau lo suka, ya deketin aja. Siapa tau cocok," ujarku sok bijak, padahal dalem hati udah misuh-misuh nggak jelas.
Beberapa hari kemudian, pas lagi ngerjain tugas kelompok di rumahku, Iqbal tiba-tiba diem.
"Kenapa, bal? Mikirin Niken?" godaku.
Dia malah keliatan bingung. "Bukan gitu, Sya..."
"Terus kenapa? Sakit perut?"
"Serius, ih! Gue tuh... aneh tau nggak sih?"
"Aneh gimana?" Aku mulai penasaran.
"Ya... gini, aku tuh ngerasa lebih nyaman kalau sama lo. Nggak tau kenapa."
Aku diem. Nggak berani natap matanya.
"Misalnya, ya... kalau sama lo, gue bisa cerita apa aja. Nggak perlu jaim, nggak perlu sok keren. Tapi kalau sama Niken, aku Ketika Persahabatan Bersemi Menjadi Cinta
Disuatu siang ada dua anak remaja dengan manaiki sepedanya masing-masing sedang menuju kewarung bakso langganan mereka.
"Ya ampun, Iqbal! Bisa nggak sih, nggak usah ngebut gitu? Gue kan jadi ketinggalan!" Aku ngos-ngosan berusaha menyamai kecepatan sepedanya.
Iqbal menoleh sambil cengengesan. "Salah sendiri lelet! Udah tau hari Minggu, bakso Mang Mamat pasti rame."
"Iya, iya, bawel! Tapi kan nggak harus kayak pembalap gini juga," balasku sambil mengatur napas. "Eh, PR matematika udah?"
"Santai, udah beres dari kapan tau. Lo pasti belum, kan? Kebiasaan!"
"Sok tau! Udah, kok! Tinggal dikit lagi," elakku, padahal aslinya belum disentuh sama sekali.
Sampai di warung bakso, Iqbal langsung nyerocos ke mang Mamat. "Mang Mamat, spesial kayak biasa! Iqbal komplit, Syakila komplit tapi ngk usah kasih sawi, ya!"
"Siap, Nak Iqbal! Kalian ini emang langganan setia," sahut Mang Mamat sambil tersenyum.
Sambil nunggu bakso pesenan dateng, Iqbal tiba-tiba nanya, "Eh, Sya, lo tau nggak sih, si Niken yang anak kelas sebelah itu?"
Jantungku langsung dag dig dug nggak karuan. "Kenapa emangnya?"
"Kayaknya dia lumayan, ya? Manis gitu."
Aku berusaha senyum, meskipun rasanya agak maksa. "Lumayan sih... Emang lo naksir?"
"Nggak tau juga, sih. Cuma ya gitu deh, lumayan buat cuci mata," jawabnya sambil ngangkat bahu. "Menurutmu gimana?"
"Ya... kalau lo suka, ya deketin aja. Siapa tau cocok," ujarku sok bijak, padahal dalem hati udah misuh-misuh nggak jelas.
Beberapa hari kemudian, pas lagi ngerjain tugas kelompok di rumahku, Iqbal tiba-tiba diem.
"Kenapa, bal? Mikirin si Niken?" godaku.
Dia malah keliatan bingung. "Bukan gitu, Sya..."
"Terus kenapa? Sakit perut?"
"Serius, ih! Gue tuh... aneh tau nggak sih?"
"Aneh gimana?" Aku mulai penasaran.
"Ya... gini, gue tuh ngerasa lebih nyaman kalau sama lo. Nggak tau kenapa."
Aku diem. Nggak berani natap matanya.
"Misalnya, ya... kalau sama lo, gue bisa cerita apa aja. Nggak perlu jaim, nggak perlu sok keren. Tapi kalau sama Niken, gue malah bingung mau ngomong apa," lanjutnya.
"Ya kan beda, bal! Lo kan baru kenal Niken," sahutku pelan.
"Iya sih... Tapi tetep aja aneh. Gue tuh kayaknya lebih seneng kalau kita berdua aja. Nggak ada orang lain."
Aku memberanikan diri natap dia. "Maksud lo...?"
Iqbal narik napas dalem-dalem. "Gini, Sya... Kayaknya... kayaknya gue suka sama lo. Lebih dari sekadar temen."
Aku kaget. Beneran kaget. "Bal... jangan bercanda, deh!"
"Gue nggak bercanda, Sya. Gue serius. Lo... lo ngerasain hal yang sama nggak?"
Aku diem lagi. Bingung mau jawab apa. Takut salah ngomong.
"Nggak papa kalau nggak. Gue cuma pengen jujur aja," tambahnya pelan.
Aku akhirnya ngangguk. "Iya, Bal. Gue juga... gue juga suka sama lo."
Mukanya langsung berubah cerah. "Beneran? Serius?"
Aku ketawa kecil. "Iya, beneran. Puas?"
Dia senyum lebar banget. "Puas banget! Jadi... sekarang kita pacaran?"
"Terserah lo," jawabku sambil nyubit lengannya.
"Ya udah, mulai sekarang kita resmi pacaran!" serunya sambil meluk aku erat-erat.
Di sore yang biasa aja itu, di tengah ruang tamu rumahku yang berantakan, cinta pertama kami tumbuh dengan cara yang paling sederhana dan nggak terduga. Dan aku tau, meskipun mungkin nanti bakal ada banyak drama dan air mata, aku nggak akan pernah nyesel udah jatuh cinta sama sahabatku sendiri.
TAMAT...