Cahaya senja melukis langit dengan semburat jingganya yang indah. Sekawanan burung tampak bergerombol dan bernyanyi dengan riang kembali ke sarangnya.
Jeno, pemuda itu memandang lepas ke depan sana, di mana para tetangganya baru saja pulang mencari pundi-pundi won demi sesuap nasi untuk bertahan hidup.
Seulas senyum tipis penuh kegetiran terbit di wajahnya. Rasa iri dengan kehidupan orang-orang begitu menghantui dan memeluk erat dirinya.
“Ketika budak perusahaan sudah kembali ke sarangnya, membawa senyum kebahagiaan seperti seorang bos besar yang hendak memberi bonus pada karyawan. Padahal jika di lingkungan kerja, tidak lebih dari seorang budak,” monolognya.
Secangkir latte tersaji di depannya, di sebuah meja kecil. Bersama dengan kudapan biskuit cokelat di sampingnya.
Dengan membawa sebuah papan yang berisi kertas berukuran A3 di sebelah tangannya, sedang tangan yang lainnya lagi memegang sebuah pensil.
Tangan Jeno bergerak dengan lihai seolah memberikan sebuah mantra yang membuat pensil itu hidup dan menari-nari di atas kertas. Menciptakan goresan demi goresan yang menyusun menjadi sebuah gambar penuh makna.
Gambar seorang wanita yang tersenyum penuh luka. Mungkin tidak keluar melalui kata-kata. Akan tetapi, sorot matanya berbicara.
“Gambar yang bagus,” suara Jaemin menyapa rungu Jeno membuat sang empu menoleh dan menatap Jaemin dengan sinis.
“Siapa yang izinin kamu datang ke tempat ini?!” tanya Jeno dengan nada yang terkesan dingin dan tidak bersahabat.
Tatapannya begitu menusuk menembus jantung Jaemin dan meremukkan setiap rusuknya. Sakit sekali, tetapi lelaki berwajah serupa kelinci itu memaksakan senyumnya.
“Nggak ada, aku memang pengen ke sini aja karena aku tadi cari kamu, tapi kamu nggak ada di mana-mana, ternyata lagi di rooftop,” jawab Jaemin.
Semilir angin yang seharusnya terasa sejuk, menjadi tamparan dingin yang menyapa kulit Jaemin. Udara di sekitarnya terasa menyesakkan saat embusan angin seakan menyatu dengan tatapan Jeno yang seperti ingin membunuhnya.
“Pergi!” ucap Jeno dingin menyuruhnya pergi.
“Jeno, tapi ...”
“Gue bilang pergi. Ya, pergi, Na Jaemin!” teriak Jeno di depan wajah Jaemin.
Jaemin sedikit tersentak. Air mukanya tampak sekali memancarkan kesedihan akibat penolakan Jeno.
“Ya, udah. Aku pergi, maaf kalau ganggu,” ujar Jaemin pada akhirnya dan pergi meninggalkan Jeno sendirian di area rooftop.
Sedangkan Jeno mendengus kasar, matanya menatap tidak suka ke arah Jaemin.
“Dikasih tahu, nggak mau ngerti. Dasar bodoh!” gerutunya.
Jeno pemuda itu, mendadak kehilangan mood untuk melanjutkan sketsanya.
“Argh, ini semua gara-gara Jaemin sialan itu. Inspirasi gue jadi melebur!” makinya. Ia melempar pensilnya dengan asal. Beruntung pensil itu berhasil masuk ke dalam kotak pensil yang dibawanya.
***
Cahaya senja perlahan mulai memudar, digantikan dengan gemerlap kristal yang menyebar di sepanjang langit malam.
Jeno sudah turun dari rooftop, ia merasa haus dan hendak turun untuk mengambil air minum.
“Jen, kamu sudah selesai? Makan dulu, yuk! Aku udah masak buat kamu,” ajak Jaemin dengan senyum ramah khasnya.
“Lu aja. Gue nggak laper, lagian gue juga udah makan tadi,” balas Jeno.
“Emang tadi kamu makan apa, Jen? Dari tadi aku belum lihat kamu turun buat makan,” Jaemin bertanya dengan heran. Keningnya berkerut.
“Makan biskuit,” jawab Jeno singkat langkah kakinya terayun membawanya turun dari tangga menuju depan kulkas.
“Emang biskuit bisa bikin kenyang?”
“Bisa diem nggak?! Berisik amat sih, lu. Banyak tanya amat kaya wartawan?!” bentak Jeno yang sudah merasa mendidih dengan semua pertanyaan menjengkelkan Jaemin.
“Maaf,” ujar Jaemin seraya menundukkan kepala merasa takut dengan tatapan tajam Jeno.
Ia beralih menonton televisi yang menampilkan seorang news anchor membawakan berita terkini.
“Berita terkini, telah ditemukan jasad seorang pria di sebuah konstruksi bangunan di daerah Distrik Gangnam. Ditemukan luka tusuk dan luka sayatan di bagian perut, dada dan juga bagian leher. Diketahui identitas korban merupakan pekerja di salah satu kantor pos ....”
“Ngeri ya, niatnya kerja untuk cari nafkah malah berakhir meregang nyawa di tangan orang nggak bertanggung jawab,” komentar Jaemin, “apa pembunuhnya itu nggak tahu, kalau menghilangkan nyawa seseorang termasuk pelanggaran hak asasi manusia?”
Gerakan minum Jeno terhenti, mendengar setiap komentar yang dilontarkan oleh Jaemin.
“Ngapain lihat berita kaya gitu? Nggak ada berita lain yang lebih berbobot apa?” komentar Jeno dengan tenang.
“Eh, Nana bingung mau nonton apa, No,” jawab Jaemin.
“Selera lu kaya ibu-ibu tahu nggak?” cibir Jeno lalu kembali melangkah ke kamarnya. Bunyi sandal yang beradu dengan lantai terdengar menggema.
Meninggalkan Jaemin di ruang keluarga bertemakan kesunyian.
“Jeno kenapa?” gumam Jaemin bertanya-tanya, “ah, udahlah. Daripada nanti kena marah lagi.”