Jeno mengendarai mobil Ferarri warna hitam miliknya menuju ke sebuah rumah milik salah satu temannya.
Rumah itu tampak sederhana, tetapi terlihat begitu elegan. Di pekarangan rumahnya tampak sekali taman kecil yang sudah didesain sedemikian rupa hingga menampilkan kesan apik.
Langsung saja ia mengetuk pagar rumah itu menggunakan gembok yang terpasang.
Tong ... tong ... tong ....
“Yoshi, spada. Main yuk, ada yang baru, nih!” teriak Jeno tanpa tahu malu.
Dari dalam, Yoshi tampak mengacak surai miliknya. Raut wajah masam terlihat dengan amat jelas.
“Monyet mana lagi yang lepas dari kandang. Ya, Tuhan, ini masih pagi. Kaga lihat jam apa tuh orang?” mulutnya sibuk menggerutu.
Yoshi berjalan membuka pintu dan keluar, menampakkan raut wajahnya yang tak bersahabat. Bunyi pintu yang terbuka terdengar sedikit nyaring di telinga Jeno.
“Baru bangun, lu? Nih, gue ada tugas buat lu hasil dari tadi malam,” Jeno menyerahkan sekantong berisi darah pekat pada Yoshi. “Tolong, ya. Ilangin bau amisnya. Udah, sih itu aja. Thanks!”
“Si monyet, pagi-pagi udah ngasih gue kerjaan, tapi oke deh. Bayarannya kaya biasa ya?!” ucap Yoshi dengan raut wajah mengantuknya.
“Iye, cepetan tapi. Gue butuh banget buat ngelukis, udah ada orderan, nih!” pinta Jeno.
“Santai, Bro. Ntar langsung gue kerjain, lu tenang aja, Jen!” sahut Yoshi.
“Lu kaga sibuk, kan?” tanya Jeno, matanya mencoba menelisik ke dalam rumah Yoshi. Terlihat tenang hanya diisi dengan sofa minimalis berwarna cokelat tua dan perabot dengan warna kayu serta dinding yang berwarna kuning gading.
“Tadinya sih, gitu. Tapi gegara lu ngasih ini,” Yoshi menunjukkan kantong berisi darah pekat dengan senyum miring khasnya. “Gue jadi sibuk. Mau lukis apa lagi, lu. Lukis bapak lu yang katanya tertampan seantero kompleks Neo?”
“Belum waktunya, Bujang. Gue ada orderan, katanya suruh lukis wajah pacar terkasihnya yang estetik. Dari penampilannya, sih, kelihatan Borjuis, ya, tapi kesepian,” cerita Jeno pikirannya sambil menerawang. Mengingat seseorang yang memesan lukisan miliknya.
“Duda kaya, Jen. Jangan-jangan, wah kasihan tuh orang. Kenapa nggak cari istri baru aja, ye?” tanya Yoshi.
“Cinta mati kali sama mendiang pacarnya. Ini lu seriusan nggak ada basa-basi ngasih gue makanan, atau minuman apa gitu? Mana nggak disuruh duduk juga lagi,” sindir Jeno dengan mata memicing.
“Kaga lu bukan tamu gue, ye? Nggak usah berharap lebih. Lu cuma monyet liar yang kebetulan mampir rumah gue. Pergi sono! Gue mau lanjut istirahat, bye!” Yoshi menutup pintu rumahnya di depan Jeno dengan tidak berdosanya.
“Asu!” maki Jeno kesal tangannya meninju udara.
***
Mentari merangkak turun ke bawah menuju ufuk barat, waktu sudah menunjukkan pukul 5 waktu Seoul.
Jaemin membelah jalanan kota Seoul dengan mobil Rolls-Royce berwarna putih miliknya. Lautan manusia berlomba-lomba seakan mengejar sesuatu sebelum waktu berakhir.
Musik mengalun dari audio mobil miliknya, memecah suasana hening dalam mobil, namun tidak bisa menembus dinding kehampaan dalam diri Jaemin.
Hidup sebatang kara, kehilangan kedua orang tuanya, dan berakhir saudaranya yang membenci kehadirannya seolah memberikan pukulan telak bagi Jaemin, meskipun ia tahu itu bukan murni kesalahannya.
“Harus gimana lagi supaya kamu lihat ke arahku dan nerima kehadiranku, Jen?” gumaman Jaemin tertelan oleh deru mesin mobil yang memadati jalan.