Rembulan berdiri dengan gagah. Di tengah kanvas hitam tak berujung, malam ini. Sinarnya yang keperakan melukis gelapnya malam.
Udara bagai sebuah tombak menusuk tulang, tak membuat Jeno goyah, ia semakin berjalan tanpa arah menembus gelapnya malam.
Dengan mengenakan pakaian serba hitam dan sarung tangan yang senada dengan pakaian yang dipakainya serta hoodie oversize, Jeno berjalan memasuki gang-gang sempit.
Hingga tampaklah sebuah rumah yang sederhana dengan pencahayaan yang minim. Tanpa mengetuk pintu, ia langsung membukanya dengan kasar, membuat beberapa orang di sana terlonjak kaget.
Brak!
“Setan!”
“Kaget asu!”
“Bajingan!”
“Lonte!”
“Ngapain lu, anjir? Bikin kaget aja. Mau bikin jantungan nenek gue lu?!” marah oknum pria bertubuh tinggi lebih tinggi dari Jeno. Soobin namanya.
Sedangkan Jeno yang mendapat sambutan berbagai umpatan itu hanya mengangkat bahunya tak acuh seraya menjawab, “Bukannya nenek lu udah mati setahun yang lalu. Lu seneng, kan dapat banyak warisan dari nenek lu? Ngaku aja bangsat!”
Bukannya sakit hati mendengar jawaban Jeno, Soobin, pemuda itu justru terkekeh menampilkan deretan giginya yang rapi.
“Seratus, tumben lu pinter, Jen. Belajar di mana lu? ... kuman?”
“Hah, kuman, apaan tuh?” Hyunjin menyahut.
“Masa lu nggak tahu si Jin? Itu, loh. Bimbel yang sering muncul iklan di tv,” terang Soobin.
“Itu kumon. Sapri. Kuman ... kuman, huu, norak!” ujar Hyunjin merasa gemas.
Lagi-lagi Soobin hanya menampilkan wajah tak berdosanya.
“By the way, tumbenan lu kemari. Ada masalah apaan toh?” Heesung yang berada di pojok ruangan bertanya, “ada masalah lagi?”
Jeno yang sudah bergabung dengan temannya yang lain menanggapi, “Biasa gue bosan aja di rumah. Nyokap-Bokap pergi ke luar kota. Nggak tahu ke mana gue juga nggak peduli. Anak mereka, kan bukan gue, tapi Si Yatim Piatu itu. Males gue berbagi udara sama dia.”
Teman-temannya hanya mengangguk, mereka sudah tidak asing lagi dengan keluarga cemara palsu seperti keluarga Jeno. Apalagi semenjak kedatangan sepupunya bernama Na Jaemin.
“Bin, kiriman lu udah dateng belum, gue minta buat nyebat!” pinta Jeno.
“Ati-ati lu, Jen. Lu jadi pecandu berat, ntar,” peringat Hyunjin.
“Lu kaya baru kenal gue aja, Jin. Kita udah berapa tahun temenan? Mau gue jadi pecandu berat pun, juga nggak ada yang peduli sama gue. Emang siapa yang mau peduli sama gue, Si Donghae? Kaga dia mah, dia peduli sama tuh Anak Yatim!” ucap Jeno menanggapi.
“Nih,” Soobin melempar sebatang rokok ganja dan juga sebuah korek pada Jeno. “Ingat, merokok membunuhmu!”
“Ngiklan lu?” sindir Jeno.
“Kita cuma peduli sama lu, goblok!” seru Soobin sedikit kesal.
“Kita tahu gimana hidup lu. Jauh dari kata baik, Jen, but lu harus tahu kalau lu nggak sendirian ada kita yang selalu peduli sama lu,” kini temannya yang bernama Eric yang berbicara.
Jeno hanya mengembuskan napas asap rokok hingga asap rokok tersebut melayang—menari-nari di udara.
“Thank’s untuk semua perhatian kalian semua. Kalau nggak ada kalian, gue sendiri nggak tahu bakal gimana. Hidup gue selalu terbayang-bayang orang lain. Gue juga pengen kaya mereka, yang bisa sukses dan bisa banggain si tua itu, tapi semua yang gue lakuin, semua yang gue kerjain kayanya nggak pernah dapat restu dari semesta. Kayanya dunia punya dendam sama gue,” kata Jeno sambil tertawa hambar.
Pandangannya menatap lurus dinding kayu yang sudah termakan usia. Pikirannya menerawang jauh tentang apa yang ia lakukan selama ini.
Sungguh, apa dunia itu buta? Selama ini ia tidak berdiam diri seperti pengangguran di luar sana. Ia juga sudah mencoba melamar pekerjaan, tetapi nasib sial selalu menghampiri dirinya.
Ia menjadi korban PHK lantaran perusahaan tempatnya bekerja terlilit utang yang besar, tidak hanya itu, sewaktu ia bekerja menjadi pelayan restoran, ia mendapat komplain karena pesanan pelanggan tidak sesuai padahal itu jelas-jelas bukan kesalahan Jeno, tetapi sang manager tidak mau tahu dan berakhir Jeno dipecat.
Namun, semua itu tidak membuat Jeno menyerah, hingga saat ini, ia berusaha melamar pekerjaan. Berharap ada posisi yang kosong entah apa itu. Akan tetapi, dia belum juga mendapatkan panggilan.
Salah apa ia sebenarnya, mengapa dunia seolah menutup pintu untuknya? Belum lagi kedatangan Jaemin di tengah keluarganya, laki-laki itu memiliki karier yang cemerlang, hingga Yatim Piatu itu mendapat pujian yang berlebihan dari orang tuanya. Membanggakan prestasi Jaemin di depan anaknya sendiri.
Sungguh miris nasib Jeno.
“Jen,” panggil Eric.
“Hmm?” jawab Jeno dengan dehaman.
“Kenapa lu nutupin ini dari orang tua lu? Lu punya tabungan, lu juga punya studio untuk lu melukis, tapi kenapa lu tutupin ini semua?” tanya Eric.
“Kenapa?” beo Jeno, “emang kalau gue bilang jujur mereka bakalan percaya? Lagipula Bokap gue itu benci sama seniman entah itu pelukis, ataupun musisi, menurut dia, itu sama aja pengangguran hasilnya nggak menentu, Bro. Beda sama si Yatim itu yang pegawai kantor perusahaan ternama dan dia dapat promosi.”
“Tapikan duit lu banyak, Bro. Bahkan lebih banyak dari Jaemin. Lu nggak nunjukin itu buat pembuktian?” kini Heesung menyahut.
“Sung, lu pernah lihat tetangga lu yang pamer anaknya lolos tes CPNS kaga, sementara lu cuma jadi penjual ikan lele?” Jeno balik bertanya.
“Iya, sih. Ya, mirip-mirip sama lu, lah. Tetangga gue sombongnya selangit cuk. Gegara anaknya lolos tes CPNS. Dia jadi memandang gue sebelah mata asu, gegara gue jualan lele doang,” jawab Heesung.
“Nah, itu lu paham. Padahal kalau dipikir-pikir. Omzetnya gede elu, secara lu juragan lele dan lu pemasok buat penjual pecel lele, sekarang warung pecel lele banyak, bayangin aja di pinggir jalan udah ada berapa orang yang ngambil ikan di elu? Untung gede, kan. Tapi apa mereka bisa lihat?” jelas Jeno.
“Pokoknya yang pakai seragam dan berdasi itu lebih top dibanding kita-kita,” Soobin menimpali.
“Makanya gue muak kalau di rumah. Entah kenapa tuh Om sama tante gue milih pergi lebih cepat, udah bosan sama anaknya kali dia,” Jeno menyahut.
“Mulut lu anjir. Om sama tante lu denger, lu didatengin lu, Jen,” ujar Hyunjin sambil sedikit mendorong kepala Jeno.
“Oh, bagus dong. Kalau datang. Gue bakal demo ke mereka, buat jemput anaknya sekalian, biar nggak jadi sampah yang mencemari rumah gue,” Jeno menanggapi dengan tak acuh.
“Bocah kok sintingnya nggak ketulungan,” ujar Eric sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
***
Sementara itu di rumah, Jaemin sedang berdiri mondar-mandir. Menunggu Jeno kembali pulang, pasalnya jam dinding sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. Namun, pemuda berwajah Samoyed itu belum juga menampakkan batang hidungnya.
“Kamu ke mana, Jen. Kok jam segini belum pulang juga. Ayo, please. Angkat telepon aku,” gumam Jaemin sambil membawa ponsel di tangannya, mencoba menghubungi Jeno berulang kali. Namun, hanya suara operator yang menjawab.