Klek! Suara pintu terbuka bersamaan dengan sesosok pemuda yang muncul dari dalam kamarnya.
“Mau ke mana kamu, Jeno?” suara itu. Suara di mana yang membuat seorang Lee Jeno merasa muak berada di rumahnya sendiri.
“Bukan urusanmu, Na Jaemin. Aku pergi ke manapun bukan urusanmu. Urus saja kesuksesanmu yang kau banggakan itu supaya bisa lebih kau pamerkan seperti biasanya!” tekan Jeno pada setiap katanya.
Derap langkah kaki yang terburu-buru, menuruni tangga terdengar menggema di penjuru ruangan rumah.
Kaki jenjangnya melangkah dengan pasti hingga mencapai ujung pintu masuk rumah.
“Jen, tapi ini udah malam. Kamu mau ke mana lagi?” tanya Jaemin seolah menahan Jeno untuk pergi malam ini.
Langkah Jeno terhenti, kepalanya menoleh ke belakang, lebih tepatnya ke arah Jaemin.
“Dengar, Na Jaemin. Aku bukan anak kecil lagi yang harus kamu tanyai setiap aku akan pergi. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Ingat, Na. Kamu itu di sini hanya seseorang yang kebetulan menumpang dan nggak punya orang tua. Lalu kamu dengan nggak tahu dirinya merebut semua perhatian yang pernah kumiliki termasuk orang tuaku sendiri dengan prestasimu. Jadi, jaga batasanmu, Yatim Piatu!”
Brak! Bantingan pintu yang begitu keras terdengar menggema karena oknum bernama Lee Jeno itu mengejutkan Jaemin. Membuat Jaemin tersentak kaget. Matanya memandang sendu sang sepupu yang semakin hari semakin menjauh darinya.
“Maafin aku, Jen,” gumamnya dalam kesendirian.