Hujan sore itu turun dengan lembut, membasahi halaman sekolah yang mulai sepi. Di bawah atap kantin yang bocor di ujungnya, aku berdiri menatap punggung seseorang yang dulu pernah jadi tempatku pulang.
Dia — Raka.
Dan di sebelahnya, ada seseorang yang dulu sering ia ceritakan padaku: mantan kekasihnya.
Aku menunduk, merasakan dada yang tiba-tiba sesak. Suara mereka terdengar samar, diselingi tawa yang dulu aku rindukan. Hujan menetes dari atap, jatuh di ujung sepatuku. Entah mengapa, rasanya sama seperti dulu saat aku menunggu Raka di tempat yang sama, dengan perasaan yang sama — hanya saja, sekarang aku tidak lagi ditunggu.
“Raka,” panggilku pelan, mencoba menahan getar di suara.
Dia menoleh. Sekilas aku melihat tatapan itu — masih hangat, tapi bukan lagi untukku.
“Oh, kamu udah datang, Nara,” ucapnya, tersenyum seadanya. “Ini... Dinda, kamu ingat, kan?”
Aku mengangguk.
Tentu aku ingat. Bagaimana aku bisa lupa orang yang selalu hidup di antara cerita kami?
Dulu, saat kami masih bersama, Raka sering bercerita tentang Dinda — tentang betapa sulitnya ia melupakan kenangan mereka. Aku bodoh, aku pikir aku bisa membuatnya berhenti membandingkan. Aku pikir, jika aku cukup sabar, ia akan sadar bahwa aku pun pantas dicintai sepenuhnya.
Tapi ternyata tidak.
Aku duduk, mencoba tersenyum walau hujan mulai merayap ke ujung seragamku.
“Kalian… kelihatan akrab lagi,” kataku, berusaha terdengar ringan.
Raka menatapku, lalu berkata, “Kita cuma ngobrol, kok. Dinda datang cuma mau ngambil buku yang dulu ketinggalan.”
Buku.
Selalu ada alasan sederhana untuk hal yang rumit.
Aku mengangguk. Tapi hatiku tahu — bukan buku yang dia cari. Yang dia cari adalah kenangan, yang tidak pernah benar-benar ia lepaskan.
Ketika akhirnya Dinda pamit dan pergi, aku menatap Raka.
“Masih kamu simpan, ya?” tanyaku lirih.
“Apa?”
“Perasaan itu. Untuk dia.”
Raka terdiam. Dan dalam diam itu, aku menemukan jawabannya.
Aku menarik napas panjang, mencoba menelan perih yang sejak lama aku tahu akan datang.
“Aku gak marah,” ujarku pelan. “Cuma... capek berjuang sendirian buat sesuatu yang gak akan pernah aku miliki.”
Raka menunduk, wajahnya penuh penyesalan. Tapi aku tahu, penyesalan tak bisa menumbuhkan cinta yang sudah mati arah.
Aku tersenyum tipis dan berdiri, menatap hujan yang mulai reda.
“Mungkin, aku harus belajar menyayangi diriku sendiri... karena kamu terlalu sibuk menyayangi masa lalumu.”
Langkahku meninggalkan kantin terasa ringan sekaligus berat.
Hujan berhenti. Tapi di dalam dadaku, masih ada badai yang belum juga reda.