Bagian 1 – Gerbang Kabut Eiranelle
Di ujung barat benua Aerthielle, berdiri sebuah negeri yang tidak tercatat di peta mana pun — Eiranelle, kerajaan yang dilindungi kabut abadi. Orang-orang menyebutnya “tanah yang dilupakan dewa”. Tidak ada yang tahu bagaimana masuk ke dalamnya, kecuali mereka yang dipilih oleh kabut itu sendiri.
Dan malam itu, Lyra berdiri di tepi tebing, menatap lautan kabut putih yang bergulung seperti ombak hidup. Usianya baru dua puluh tahun, namun matanya menyimpan usia seribu musim. Tatapannya tenang, tapi di baliknya tersembunyi badai yang belum berhenti.
“Ayah… jika benar semua ini adalah takdirku, aku akan menemuinya,” bisiknya. Suaranya lembut, tapi mengandung kekuatan yang tak bisa diabaikan.
Di tangannya, tergenggam sebuah liontin perak berbentuk sayap — satu-satunya peninggalan dari ayahnya yang hilang di balik kabut tujuh tahun lalu. Banyak yang mengatakan pria itu tewas, tapi Lyra tidak pernah percaya. Ia yakin, ayahnya masih hidup... di balik kabut itu.
Ketika angin malam berembus, kabut di hadapannya bergetar, membentuk celah samar. Di dalamnya tampak cahaya kehijauan yang menari, memanggil dengan bisikan halus seperti suara air dan daun.
Dan entah apa yang membimbingnya — keberanian, keputusasaan, atau cinta — Lyra melangkah masuk.
🌫️
Kabut itu dingin, menusuk tulang. Tapi anehnya, Lyra merasa hangat di dalam dadanya. Liontin di tangannya bergetar pelan, lalu menyala — mengeluarkan cahaya lembut seperti jantung yang berdenyut.
Ketika kabut menghilang, Lyra sudah tidak lagi berada di dunia yang ia kenal.
Ia berdiri di tengah hutan yang berkilau. Pohon-pohonnya menjulang tinggi, dengan daun seperti kaca kristal. Sungai di dekatnya mengalir ke atas, menentang gravitasi. Dan di langit, dua bulan menggantung berdampingan.
“Eiranelle…” bisiknya, kagum.
“Dan siapa kau, yang berani menyeberangi gerbang kabut?”
Suara itu datang dari arah belakang. Dalam sekejap, Lyra berbalik — matanya menatap seorang pria berpakaian jubah hitam, berdiri di antara pepohonan. Wajahnya tampan tapi dingin, matanya keperakan seperti baja.
“Aku mencari seseorang,” jawab Lyra mantap. “Ayahku.”
Pria itu mengangkat alis, menatap liontin yang bersinar di tangan Lyra.
“Liontin itu… milik Ksatria Cahaya terakhir.”
“Ayahku adalah dia,” kata Lyra, matanya menantang. “Kau mengenalnya?”
Alih-alih menjawab, pria itu mendekat perlahan. “Kau seharusnya tidak ada di sini. Gerbang itu hanya terbuka bagi mereka yang membawa darah dari dua dunia.”
Lyra terdiam. “Dua dunia?”
Pria itu berhenti beberapa langkah darinya. “Ya. Darah manusia… dan darah penjaga kabut.”
Liontin di tangan Lyra semakin berdenyut. Sementara di dalam dadanya, sesuatu terasa bergolak — campuran takut dan kagum.
“Siapa kau sebenarnya?” tanya Lyra pelan.
Pria itu menatapnya lama, lalu berkata dengan nada rendah, “Namaku Kael. Penjaga gerbang yang kau lewati.”
Ia menatap Lyra dengan sorot mata tajam namun seolah mengenalnya. “Dan kalau dugaanku benar, darahmu adalah kunci yang telah lama hilang.”
Lyra menggenggam liontinnya. “Kunci untuk apa?”
Kael tidak menjawab. Ia hanya menatap kabut yang kini mulai menutup kembali di belakang Lyra. “Untuk menyelamatkan dunia ini… atau menghancurkannya.”
🌙
Malam itu mereka berjalan menyusuri hutan, menuju sebuah tempat yang disebut Menara Aetherion — pusat kekuatan Eiranelle. Kael menjelaskan bahwa kerajaan ini kini terpecah: separuh dipimpin oleh Ratu Eldra yang bijak, dan separuh lainnya telah jatuh ke tangan bayangan — makhluk tanpa jiwa yang lahir dari kabut rusak.
“Sejak Ksatria Cahaya menghilang, kabut kehilangan keseimbangannya,” kata Kael. “Dunia kita mulai pudar. Dan kini, satu-satunya harapan adalah darahnya.”
“Darah ayahku,” gumam Lyra.
Kael menatapnya sekilas. “Dan darahmu.”
Lyra menatap langit, di mana dua bulan menyatu perlahan seperti sepasang mata yang menutup.
Entah kenapa, di balik semua misteri dan ketakutan, ada sesuatu yang menghangatkan di dadanya setiap kali Kael berbicara.
Mungkin karena suara pria itu mengingatkannya pada seseorang… seseorang yang dulu sering berkata,
> “Kebenaran kadang disembunyikan bukan untuk menipu, tapi untuk melindungi.”
Dan malam itu, Lyra tahu — perjalanannya baru saja dimulai.
---