Namaku Risa, dan kisah ini bermula di bawah terik matahari, tepatnya di tepi lapangan basket sekolah.
Aku sudah menyukai Elang sejak kelas sepuluh. Dia adalah tipe cowok idaman, bukan hanya karena tingginya yang semampai dan rambutnya yang agak gondrong saat kena keringat, tapi juga karena sorot mata seriusnya setiap kali menggiring bola. Aku, si penyuka ketenangan dan buku, selalu mengamati dari bangku tribun paling atas. Jarak yang aman, aku pikir, untuk menyimpan rasa yang bertambah besar setiap hari tanpa ketahuan.
Elang tidak tahu aku ada, atau setidaknya, aku yakin dia hanya melihatku sebagai 'salah satu siswi di sekolah'. Tapi anehnya, takdir—atau lebih tepatnya, tugas kelompok Kimia yang merepotkan—menyatukan kami.
"Ris, lo ngerjain bagian teori ya. Gue yang bagian eksperimen," ujarnya suatu sore di perpustakaan, suaranya yang serak membuat konsentrasiku buyar.
Sejak saat itu, kami jadi sering berinteraksi. Bukan hanya Kimia, tapi juga obrolan ringan tentang film, lagu, dan betapa anehnya guru Sejarah kami. Aku merasa... dilihat. Rasanya seperti dunia yang tadinya kelabu tiba-tiba diwarnai oleh senyumnya. Teman-temanku mulai menggodaku, "Cie, Risa sama Elang, jadian dong!" Aku hanya tertawa malu, padahal di dalam hati, doaku sudah melambung setinggi langit.
Puncaknya terjadi saat acara pentas seni sekolah. Elang, dengan jaket varsity kebanggaannya, berdiri di sebelahku saat band sekolah tampil. Udara malam yang dingin seakan hilang karena kehadirannya. Jantungku berdebar tak karuan ketika dia mendekat, kepalanya sedikit menunduk seolah ingin membisikkan sesuatu.
"Ris," bisiknya, suaranya benar-benar dekat. Aku menahan napas. "Gue mau cerita sesuatu."
"Apa, Lang?" Suaraku terdengar seperti desahan.
"Gue... gue lagi dekat sama seseorang," katanya, dan senyumnya... senyumnya itu adalah yang paling lebar yang pernah kulihat. Senyum bahagia yang tulus, tapi entah kenapa, rasanya seperti belati yang menusuk.
Aku berusaha mengumpulkan kesadaran. "Oh... siapa?" tanyaku, mencoba terdengar santai seperti sedang membicarakan PR.
"Anak kelas sebelah, namanya Tania. Dia asyik banget, Ris. Lucu. Lo harus kenalan sama dia. Kayaknya, gue suka banget sama dia," jelas Elang, matanya berbinar, memancarkan rasa suka yang begitu murni.
Di tengah riuh rendah musik dan tawa, duniaku seolah hening. Semua warna yang sempat Elang berikan, kini luntur. Aku merasa bodoh karena merangkai harapan dari hal-hal kecil: tatapan mata saat berdiskusi, tegurannya di koridor, atau bahkan janji untuk makan bakso bersama. Ternyata, semua itu hanya sebatas teman.
Aku mengangguk, memaksa bibirku membentuk senyum yang kurasa lebih mirip meringis. "Bagus dong, Lang. Semoga lancar ya," kataku, berharap suaraku tidak bergetar.
Elang tidak menyadari apa-apa. Dia terlalu larut dalam dunianya, dalam cerita tentang Tania yang lucu dan menggemaskan. Malam itu, aku pulang dengan perasaan yang hancur. Bukan karena Elang menolakku, tapi karena dia bahkan tidak pernah tahu aku menyukai dia.
Beberapa hari kemudian, kabar itu resmi. Elang dan Tania jadian. Mereka menjadi pasangan paling serasi di sekolah. Aku melihat mereka di kantin, di koridor, dan tentu saja, di tepi lapangan basket. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan terlihat sangat bahagia.
Aku kembali ke bangku tribun paling atas. Kali ini, bukan lagi untuk mengagumi Elang dengan mata penuh harapan, tapi untuk merelakan. Aku melihat punggung Elang yang kini selalu menggandeng tangan Tania.
Aku menyandarkan kepalaku di lutut, mencoba menahan air mata yang mendesak. Rasanya sakit sekali. Sakit yang bukan karena kehilangan, tapi sakit karena menyadari bahwa kisahku ternyata hanya terjadi di dalam kepalaku sendiri. Ini adalah patah hati remaja yang paling klise: patah hati tanpa sempat memiliki.
Aku mengambil ponselku, membuka draft yang berisi ungkapan perasaanku pada Elang yang tak pernah kukirim, dan menghapusnya. Bersama dengan itu, aku berbisik pelan pada diriku sendiri,
"Ini bukan akhir dunia, Risa."
Senja itu, di tepi lapangan basket, aku memang kehilangan mimpi, tapi aku juga belajar satu hal: terkadang, cinta pertama adalah tentang betapa kuatnya kita merelakan kebahagiaan orang yang kita suka, bahkan jika kebahagiaan itu bukan bersamamu.