Malam itu, udara di desa Sembada terasa lebih dingin dari biasanya. Angin melintas pelan, membawa bau tanah basah dan daun kering yang membusuk. Dua pemuda—Arga dan Dion—berjalan menyusuri jalan setapak menuju rumah kosong di ujung desa.
“Lo yakin ini ide bagus?” tanya Dion sambil menyorotkan senter ke arah rumah tua itu.
“Cuma mau buktiin aja. Katanya ada suara nangis dari sumur belakang rumah ini tiap tengah malam,” jawab Arga dengan nada menantang. “Lo takut?”
Dion menelan ludah. “Gue cuma... nggak mau ada yang ngikut pulang.”
Rumah itu berdiri rapuh, dindingnya retak, jendela bergoyang ditiup angin. Papan lantainya berderit saat mereka melangkah masuk. Senter Dion menyorot ke arah dinding penuh lumut, dan seekor tikus melintas cepat, membuat keduanya terlonjak.
“Sumurnya di belakang, kan?” Arga menunjuk ke arah pintu kayu yang setengah terbuka. Di luar, halaman gelap dipenuhi rumput liar.
Mereka mendekat ke arah sumur tua di pojok halaman. Batu-batunya berlumut tebal, tali timbanya sudah putus, dan lubangnya hanya menelan gelap.
Dion berbisik, “Katanya dulu sumur ini tempat mayat-mayat korban banjir dibuang.”
Arga tertawa pelan. “Cerita warga aja itu.” Ia mencondongkan tubuh, mencoba melihat ke dalam. “Halo? Ada orang?”
Tak ada jawaban—hanya gema samar dari suaranya sendiri. Tapi kemudian... sesuatu terdengar. Suara lirih. Seperti isak tangis dari dasar sumur.
Dion menatap Arga, wajahnya pucat. “Lo dengar itu?”
Arga menelan ludah. “Mungkin cuma air.” Tapi tangisan itu makin jelas, berubah jadi rintihan pelan yang terdengar seperti memanggil nama mereka.
“...Arga... Dion...”
Senter Dion bergetar di tangannya. “Gue... gue nggak mau di sini lagi.”
Namun Arga tetap menatap ke dalam sumur, matanya tak berkedip. “Tunggu... ada sesuatu di bawah sana.”
Bayangan samar mulai naik dari kegelapan, perlahan, seperti seseorang yang memanjat dari dasar.
Senter Dion jatuh. Cahaya menyorot ke arah wajah pucat yang muncul dari kegelapan sumur—kulitnya basah, matanya kosong, dan rambutnya meneteskan air hitam.
Sosok itu tersenyum kaku, dan suara lirih berdesis, “Kalian datang juga...
Dion menjerit tertahan, lalu menarik Arga mundur. Tapi kaki Arga seolah terpaku di tanah. Tatapannya kosong menatap sosok yang kini sudah berdiri di tepi sumur—wanita berambut panjang dengan kulit pucat membiru, dan air hitam menetes dari ujung jarinya.
“Arga! Ayo pergi!” Dion mengguncang bahunya keras.
Namun Arga hanya bergumam lirih, “Dia... dia manggil gue...”
Dion mundur beberapa langkah, panik. “Nggak ada siapa-siapa, Ga! Itu bukan orang!”
Sosok itu perlahan melangkah ke arah mereka. Setiap langkah meninggalkan jejak air di tanah kering. Matanya menatap tajam, dan di bibirnya tersungging senyum retak.
“Dulu kalian janji...” suaranya bergetar seperti datang dari bawah air. “Kalian yang dorong aku... tapi kalian kabur...”
Dion membeku. Napasnya tercekat. “A... apa maksudnya?”
Arga menunduk. Air matanya mulai jatuh. “Aku pikir... aku udah lupain.”
“Arga?” Dion menatapnya tak percaya. “Lo... lo tahu dia?”
Arga menggigit bibir, wajahnya hancur oleh rasa bersalah. “Tiga tahun lalu... waktu kita main di sini. Aku dan dua anak lain... dia jatuh ke sumur ini. Aku takut... jadi aku lari.”
Sosok itu menatapnya dengan mata kosong penuh amarah. “Kau biarkan aku mati sendirian.”
Tiba-tiba, tangan basah itu mencengkeram lengan Arga. Kulitnya seketika memucat, urat-urat biru muncul di bawah permukaannya. Dion menjerit dan menarik Arga, tapi cengkeraman itu terlalu kuat.
Arga memandang Dion dengan mata sayu. “Lari, Dion. Gue harus... tanggung jawab.”
Sebelum Dion sempat menjawab, tubuh Arga ditarik ke arah sumur. Satu hentakan kuat—dan keduanya jatuh ke dalam kegelapan. Suara cipratan air bergema panjang, lalu hening.
Dion berdiri terpaku, matanya menatap sumur itu. Airnya yang tadi hitam kini berubah tenang.
“Arga...” suaranya gemetar.
Tiba-tiba, sesuatu bergerak di dasar sumur. Senter yang terjatuh tadi menyala samar—dan dari dalam air, dua sosok tampak berdiri berdampingan, menatap ke atas. Wajah mereka sama-sama pucat, tapi kini Arga tersenyum dengan mata kosong seperti gadis itu.
Air sumur beriak pelan, lalu diam.
Keesokan paginya, warga menemukan senter dan sepatu milik Dion di tepi sumur tua. Tak ada tanda-tanda tubuh siapa pun di dalamnya. Tapi sejak malam itu, setiap tengah malam, dua suara terdengar dari sumur: satu tangisan, dan satu lagi... tawa pelan yang memanggil nama.