Hei, biar kuceritakan sebuah kisah.
Pada suatu pagi yang suram, udara terasa menusuk meski musim dingin belum dimulai. Seorang gadis berseragam sekolah berdiri di ujung jembatan. Rambut panjangnya tergerai hingga menutupi separuh wajahnya yang tanpa ekspresi.
Mata cokelatnya yang sembap itu menatap kosong air sungai yang mengalir tenang di bawah jembatan. Segala hal tentang hidupnya mengalir dengan deras di pikirannya.
Dibesarkan tanpa kasih sayang seorang ibu dan tanggung jawab seorang ayah, kehilangan seseorang yang telah membesarkannya, dikhianati oleh orang yang dipercayainya, ia tidak sanggup lagi menjalani kehidupan yang hampa itu.
“Aku akan mengakhiri ini,” gumam sang gadis.
Gadis Itu menguatkan tekadnya, untuk apa yang akan ia lalukan untuk yang terakhir kalinya. Seraya menutup mata, gadis itu melewati pembatas jembatan. Tubuhnya bergetar ketakukan. Entah takut untuk mati, atau takut untuk menjalani kehidupan yang menyedihkan. Pada akhirnya, ia kemudian menjatuhkan dirinya ke bawah sana.
Sebuah perasaan yang ganjil. Tubuhnya seperti menari bersama angin yang sejuk sementara dua neraka menunggu di depan sana. Entah dia akan mati, atau hidup … semuanya tidak perlu dipikirkan lagi.
Air yang tenang membawa dirinya ke dalam peluknya. Namun di kedalamannya yang dingin dan gelap itu …
‘Aku ingin hidup, aku ingin hidup!’
… ia terus meronta untuk kembali ke permukaan. Bahkan saat jiwanya yang lelah menginginkan kematian, raganya terus berusaha untuk hidup.
Namun, semuanya ternyata telah terlambat. Ia merasakan paru-parunya telah terisi penuh oleh air sungai. Dalam keputusasaan dan penyesalan itu, ia merasakan dunianya perlahan memudar dan hidupnya yang menyedihkan kembali terputar di dalam benaknya, sebelum kemudian kegelapan yang pekat menelannya.
Dunia terasa mengerjap. Ketika ia secara ajaib kembali membuka mata, Gadis Itu mendapati dirinya berada di tepi sungai. Matanya menyapu sekeliling. Jembatan tempatnya melompat ada di sana, dan ia tahu bahwa ia tidak berada di alam baka.
“Aku tidak mati …?”
Gadis Itu bangkit berdiri, berjalan sedikit menyusuri tepian sungai, kemudian menemukan jalan untuk kembali ke tempat yang dulu ia sebut rumah.
Pakaiannya yang basah membuat dinginnya udara terasa menusuk hingga ke tulang. Kota yang ramai tidak membuat dirinya merasa damai. Manusia-manusia yang berlalu lalang hanya memikirkan diri mereka sendiri.
Gadis Itu telah berjalan selama 1 jam, 2 jam, 2 hari … atau 2 minggu. Ia tak pernah menemukan tempat yang ia sebut rumah. Sang Gadis memutuskan untuk kembali ke jembatan, menyusuri tepiannya, hingga mendapati kerumunan orang yang menemukan sesuatu yang membuatnya membelalak tak percaya.
Sesuatu itu adalah seonggok mayat seorang perempuan yang wajahnya sudah tak dapat dikenali karena telah membengkak dan sedikit membusuk. Namun, dari pakaiannya, nama yang terukir di kemeja putihnya, tidak salah lagi.
“—itu adalah aku.”
Dengan gejolak perasaan yang meluap-luap, ia menumpahkan air matanya dan memeluk tubuh tak bernyawa yang menyedihkan itu. Tidak ada seorang pun yang menghentikannya. Tidak ada seorang pun dari manusia-manusia itu yang bahkan … melihatnya.
Menyadari bahwa ia telah mati dengan cara yang menyedihkan tak membuat dirinya menghilang atau pergi ke alam baka. Ia terus berjalan menyusuri jalan-jalan kota yang ramai, dengan dingin yang terus menusuk, dan perasaan sepi dan kosong. Tanpa seorang pun melihatnya, atau bahkan menyadari kehadirannya.
Pada akhirnya, ia telah mati, namun juga hidup. Suatu cara yang mengerikan bahwa semenyedihkan apa pun hidupnya, kehidupan itu masih tetap berharga. Dan ia telah menyia-nyiakan hal yang berharga itu, menciptakan nerakanya sendiri.