Pekanbaru, 25 Mei 2025 - 08.30 WIB
Dunia seakan diam membisu. Hanya detak jam dinding yang berani bersuara, menandai berjalannya waktu yang kini terasa begitu kejam bagiku. Satu menit berlalu, ku pikir dia hanya tertidur dalam pangkuanku, ternyata dia telah pergi meninggalkanku.
Ku genggam tangannya yang tak lagi membalas genggamanku. Tangan yang dulu sehangat mentari pagi itu, kini mulai dingin. Ku lihat wajahnya yang tenang dalam pangkuan, namun kelopak matanya sudah terpejam untuk selamanya. Pelan, kusisir rambutnya yang telah memutih dengan jemariku yang gemetar. "Selamat tidur, Sayang," bisikku dengan suara serak menahan kesedihan. "Aku di sini. Seperti yang selalu ku janjikan."
Kenangan pun menerjang bagai film yang diputar cepat. Awal kami bertemu di rumahnya, saat aku bertanya alamat kepadanya yang sedang menyapu halaman rumah. Pertengkaran-pertengkaran kecil kami soal baju apa yang akan kami gunakan ke kondangan. Lelahnya kami membesarkan lima anak yang kini telah berkeluarga. Tawa kami di teras rumah setiap sore sambil menikmati secangkir teh hangat buatannya.
Lamunanku terhenti ketika kamar sudah dipenuhi oleh anak dan cucuku. Mereka menangis, memelukku dan memeluk tubuh dingin di panguanku. Mereka sedih karena kehilangan seorang ibu dan seorang nenek. Sedangkan aku sedih karena kehilangan separuh jiwaku. Separuh hidupku.
"Sudah, Yah. Ummi sudah tidak sakit lagi, Ummi sudah tenang sekarang." kata anak sulungku, meletakkan tangannya di bahuku. Aku hanya mengangguk pelan. Aku tahu dia benar. Tapi bagaimana caranya menerima bahwa peta hidup yang telah kami jalani berdua selama lima puluh tahun lebih ini, kini harus kulanjutkan sendirian?
"Tunggu aku sayang, perpisahan ini bukanlah selamanya. Ini hanya sampai kita bertemu lagi di surga-Nya, insyaallah." Bisikku di telinganya sebagai pesan terakhir sebelum akhirnya ku lepaskan genggamanku perlahan. Ku kecup dahinya untuk terakhir kalinya. Lalu, dengan langkah yang tiba-tiba saja terasa sangat tua dan berat, aku beranjak mempersilahkan anak cucuku untuk memberikan perpisahan terakhir kepadanya.
Pekanbaru, 25 Juni 2025 - 17.30 WIB
Sebulan setelah kepergiannya adalah sebulan terlama dalam hidupku. Sebulan yang amat menyiksa karena harus berenang di lautan rindu yang tak bertepi. Duniaku terasa kosong, hampa, dan sunyi, meski di rumahku ramai dengan canda tawa cucu-cucuku.
Di teras rumah, aku duduk sendirian di kursi tua tempat biasa kami duduk menghabiskan senja. Dia sudah tak ada di sampingku, namun aku masih mendengar jelas tawanya dan merasakan hangat pelukannya. Dia memang sudah pergi, namun tidak dengan kenangannya. Ada satu hal yang ku yakini, bahwa perpisahan kami bukanlah akhir segalanya dan bukan pula terputusnya cinta kami berdua, ini hanya jeda persiapan untuk hidup yang lebih lama di surga-Nya. Dan ku pastikan, cinta kami tidak akan ada ujungnya.