(Judul : 32 & 25)
Bab 1.
"Ma, Dila angkat heula. Doakeun Dila betah di Jakarta cing di tarima ku dunungan, cing ka pake ku dunungan, dunungan cing nyaah ka abdi. Cing gancang menang gajih gede." ucap Dila sambil cium tangan ibunya yang duduk di kursi bambu depan rumah kayu sederhana.
Neneknya, Bu ikah, cuma mendecak sambil sesekali batu kecil.
"Kade ucu sing hati-hati, komo di kota mah teu kebeh jelema nu balener. Kudu bisa jaga diri tong gampang wauh jeng batur nu can kenal," ucap Neneknya dengan khas logat sunda-nya, mengingati sang cucu yang akan merantau.
"Mun aya nu nyapa, tong asal ngajawab. Mun aya nu mere permen tong di dahar, bisi di guna-guna, hipnotis. Bisi di kumaha-kumaha, jaga diri awewe mah boga beteng." Ucap mamanya yang ikut menimpali dan menasehati. Membuat Dila menghela nafas panjang sambil senyum ketir. Baginya itu hal wajar antara ibu dan anak, sudah sewajarnya orang tua memang mengkhawatirkan anaknya mau sesalah apapun itu anaknya.
Hari itu, langit Cipongkor mendung tapi suasana hati Dila justru terang.
Setelah 3 tahun jadi pengangguran dengan ijazah SMK jurusan Keperawatan, ia dapat panggilan kerja. Bukan rumah sakit besar, bukan klinik, tapi jadi asisten perawat pribadi untuk seorang ibu lansia di Jakarta.
Gajinya? Cukup buat bantu adiknya sekolah dan bayar utang di warung grosir tetangga.
*
*
Perjalanan panjang dan ... Kesasar
Setelah naik travel sialnya malah diturunkan di Kampung Rambutan.
Niat naik Elf malah berkendala, jadinya ia naik bus. Ganti Transjakarta, terus... nyasar.
"Permisi, Pak, ini bener nggak arah ke daerah pondok candrawasih elite?" tanya Dila sambil ngeluarin kertas lecet berisi alamat.
Bapak ojol itu melirik dan jawab setengah geli. "Dek, Itu mah udah jauh ke sana. Kamu nyasar ini."
Dengan modal nekat dan recehan di kantong, Akhirnya sampai di daerah itu, Dila sampai juga di gerbang rumah megah berpagar tinggi, dengan kamera CCTV yang ngintip dari segala arah.

*
Rumah besar, Aura misterius
Setelah masuk dan dipersilahkan oleh satpam, seorang wanita paruh baya membuka pintu utama. Ia mengenakan seragam suster dan menyambut dengan senyum tipis.
"Kamu Hadilah, ya? Panggil saya mbak Reni. " ucapnya. "Ikut aku, Bu Astri udah nunggu. "
Langkah Dila pelan masuk ke rumah yang lantainya kincelong banget sampai bisa ngaca.
Di ruang tamu, seorang wanita tua berwajah teduh duduk di kursi roda. rambutnya sudah memutih, tapi matanya penuh Wibawa. "ini Hadilah? Wajahnya manis. Sopan. Kamu bisa tinggal di sini. Kamar di lantai dua," katanya hangat.
Dila menunduk, tersenyum. "Iya, Bu. Terima kasih sudah menerima saya kerja di sini. Saya bakal kerja keras, janji. "
Malam itu, Dila tidur di kamar luas ber-ac untuk pertama kali seumur hidupnya. Tapi satu hal yang mengganjal di pikirannya: Kenapa mbak Reni bilang "kalau anak ibu datang, jangan macam-macam? "
Tiga hari berlalu. Pekerjaan Dila berjalan lancar. Tapi mbak Reni mulai buka suara tentang sang 'tuan muda' misterius.
"Kamu pasti belum lihat anaknya Bu Astari, ya?" berisik mbak Reni saat mereka sedang menyiapkan makan malam.
"Belum. Kenapa emangnya?" tanya Dila sambil cicipin kuah sop( Nggak tahan laper)
"Dulu ... Dia bukan orang biasa. Pernah hidup di dunia gelap. Mafia. "
"M-mafia?" Dila hampir nyembur.
Mbak Reni mengangguk serius. "sekarang udah berubah. Dia tinggal sendiri di rumahnya cukup dekat untuk ke kantor. Jarang pulang ke sini. Tapi kalau datang ... Ya, hati-hati aja. Dia itu ... Nggak bisa disentuh. "
"Gimana maksudnya?" Dila bengong.
"Kalau kulitnya kena kulit orang, dia bisa gatal parah. Bintik-bintik sekujur tubuh. Makanya ke mana-mana selalu pakai sarung tangan. Jadi kalau kamu ketemu dia nanti, jangan nyentuh, ya. Serius."
*
Malam kelima, hujan turun deras. Dila sedang beresin lemari obat saat suara pintu depan terbuka.
Langkah kaki berat, sepatu pantofel mahal. Aroma parfum maskulin langsung menyebar di lorong. Dila mengintip dari balik rak.
Laki-laki tinggi menjulang dengan jas hitam rapi, rambut tersisir, dan ... Sarung tangan hitam.
Tatapannya tajam. Dingin. Bikin bulu Kuduk berdiri.
Dia hanya mengangguk sekali pada ibunya, lalu melirik sekilas ke arah Dila.
Mata mereka bertemu seperkian detik Dila terdiam.

"Ini asisten baru?" tanyanya pendek, suara dalam, tanpa ekspresi.
"Iya, tuan. Hadila. Dari Bandung, " jawab dari mbak Reni cepat.
Feiden hanya menatap, lalu berbalik ke arah ruang kerja sang ibu. Ia duduk sebentar, bicara seperlunya, lalu pamit kembali ke rumahnya dengan cara yang tenang.
*
Tiga minggu berlalu, Feiden datang kembali ke rumah ibunya. Kali ini, dia tidak langsung pergi ke ruang yang dituju, tapi malah menuju ke arah Dila yang sedang membersihkan ruang tamu.
"Hadila, kamu sudah terbiasa dengan pekerjaan di sini? " tanya Feiden dengan suara yang masih dingin, tapi sedikit lebih ramah dari sebelumnya.
Dila menoleh, sedikit terkejut karena Feiden langsung mengajaknya berbicara. "Iya, tuan. Saya sudah terbiasa." jawabnya dengan sopan.
Feiden mengganggu, lalu memandang sekitar ruangan. "Ibuku senang dengan kamu. Kamu kerja keras dan sopan," katanya.
Bila tersenyum, sedikit mengangguk tanda hormat. "Terima kasih Tuan."
Feiden pun mengangguk, "Kalau gitu saya keruangan kamar ibu saya." Ucapnya pamit. Dila hanya mengangguk dan fokus pada kerjanya.
*
Malam itu, rumah besar itu sunyi, Feiden yang biasanya hanya mampir sebentar, kali ini memutuskan menginap. Katanya, ingin menikmati waktu bersama ibunya di sela-sela jadwal perusahaan yang padat.
Ia turun ke dapur dengan pakaian santai. Tanpa jas, tanpa sepatu formal, hanya kaos abu gelap dan celana training. Tapi sarung tangan hitam tetap melekat di tangannya. Kebiasaan. Proteksi. Trauma.
Di dapur, Dila sedang membersihkan gelas dan peralatan makan yang baru dicuci. Ia tidak tahu akan ada seseorang yang turun malam-malam.
Ia berdiri dari jongkok, membalikan badan sambil mengangkat baskom berisi alat makan. Dan—
Bruk!
Tubuh mereka bertabrakan.
Baskom jatuh ke lantai. Bunyi logam dan plastik berserakan.
Dila spontan tersentak mundur, matanya melebar.
Tangan kirinya ... Menyentuh kulit tangan Feiden yang tampak sarung tangan di sisi kanan. Kulit langsung bertemu kulit.
Dila panik. “A-Astaghfirullah! M-maaf, Tuan! Saya nggak sengaja! Saya nggak tahu—saya—saya nggak tahu Tuan turun!”
Feiden mematung. Ia menatap tangannya. Tidak ada ruam. Tidak ada bintik. Tidak ada rasa panas atau gatal yang biasanya muncul dalam beberapa detik.
tidak ada apa-apa.
Dila makin panik melihat ekspresi diam pria itu. Ia membungkuk, memunguti sendok dan piring yang berserakan. "saya ... Saya bersihin! Saya Sumpah nggak sengaja! T-tolong jangan pecat saya ..."
"Diam," ucap Feiden pelan.
Dila membeku di tempat.
Feiden menatapnya dengan pandangan dalam. "Aku tidak merasakan apa-apa, " katanya.
Dila mengangkat wajah, bingung. "Hah?"
Feiden mengangkat tangan kirinya, memperlihatkan tempat kulit mereka tadi bersentuhan. "Biasanya aku langsung gatal. Sekujur tubuh merah. Tapi sekarang ... Tidak. "
Dila masih bergetar, namun kini rasa takutnya bercampur rasa heran.
Feiden memiringkan kepala, sedikit memandangnya dengan tatapan menganalisis. "Kamu... Menyentuhku. "
Dila menelan ludah. "Iya ... Saya, saya panik. Saya beneran nggak tahu tuan—"
*
Ini novel terbaru author. 😘
Jangan lupa kasih like di setiap bab, komen dan Vote serta hadiah juga ya.
Terima kasih Sayangku 😘.
(Kalau kalian pengen tahu lanjutannya mampir ke novel nya dgn judul yg sudah tertera 👆 jangan lupa follow 💐♥️♥️)
(Judi novel: Tahta Dari Dosa)
Bab 1.
Hujan baru saja reda, meninggalkan aroma tanah basah yang menusuk hidung. Di pinggir jalan kota yang selalu sibuk, seorang wanita muda berdiri di halte tua, tubuhnya dibalut jaket usang yang sudah kehilangan warna aslinya. Dialah Kiseai—nama itu singkatan dari Kirana Septiani Aina, nama panjang yang kini terasa asing baginya. (Di baca kisey, yah.)
Usianya baru 27 tahun, tapi wajahnya tampak lebih tua dari umurnya. Bekerja sebagai karyawan restoran kecil di pusat kota, gajinya selalu habis sebelum sempat dinikmati. Kontrakan yang sempit, listrik, kebutuhan sehari-hari, belum lagi uang kiriman untuk orang tuanya di kampung semua menunggu untuk dilunasi.
Hidupnya terasa jalan di tempat. Pagi berlari ke restoran, siang bekerja dengan senyum palsu, malam pulang dengan tubuh remuk. Kiseai sering merasa, hidupnya hanya sekedar mengulang tanpa arah.
Sebelumnya, ia pernah bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit Jiwa. Pekerjaan itu lebih stabil, tapi Suasananya yang mencengkram teriakan pasien, aroma obat penenang, tanda tatapan kosong penuh luka—membuatnya jengah. Ia memilih keluar. Ironisnya, setelah itu justru terserah dalam kemiskinan lebih baik.
Sore itu, di bawah langit mendung, Kiseai berdiri sendirian. Pandangannya kosong menatap jalan, sementara pikirannya terus berputar.
'Hidupku nggak akan pernah berubah kalau begini terus. Sampai kapan aku harus jadi budak gaji kecil? Sampai kapan aku harus pura-pura kuat padahal nggak punya apa-apa?'
Suara itu bergema di dalam kepalanya. Menghela nafas panjang, hampir putus asa.
Namun, tiba-tiba pantangannya tertarik pada sesuatu.
Di seberang jalan, duduk seorang wanita muda seumurannya. Rambut kusut, pakaian compang-camping, wajah kotor, dan tatapan kosong ke arah langit. Orang-orang lewat begitu saja, mengabaikannya. Jelas sekali: wanita itu ODGJ—orang dengan gangguan jiwa.
Kiseai terdiam. Matanya tak bisa berpaling. Ada sesuatu yang berdenyut di dalam dadanya, bukan iba, melainkan... Rencana.
'Orang ini... Nggak ada yang peduli. Kalau dia hilang, siapa yang akan mencarinya?'
Tanpa sadar, kakinya melangkah. Ia mendekat, lalu duduk di sebelah wanita itu.
"Halo..." ucapnya pelan, Seperti dulu saat menenangkan pasien. Wanita itu hanya melirik sebentar, lalu terkekang kecil, tanpa alasan.
Kiseai tersenyum sabar. "Kamu lapar, ya?"
Meraih tangan wanita itu, mengajaknya bangkit. Tak ada perlawanan berarti. Dengan sabar, ia menggantinya berjalan jauh menuju kontrakan.
Beberapa menit. Sesampainya di sana, Kiseai segera menyiapkan makanan seadanya. Semangkuk mie instan hangat ia letakkan di depan wanita itu, yang langsung melapnya dengan rakus. Kiseai hanya menatap dalam diam.
Kalau aku bisa memanfaatkan dia... Kalau aku bisa menjadikan dia alat... Hidupku bisa berubah.
Pikiran itu berputar-putar, makin kuat. Ia Ingat masa kerjanya dulu di rumah sakit jiwa: semua jenis obat penenang, pil tidur, dosis suntikan, masih ia hafal di kepalanya. Pengetahuan itu bisa ia gunakan sekarang.
Setelah itu, wanita ODGJ tersebut tertidur pulas di lantai, Kiseai berdiri. Dengan cepat, ia mengenakan masker dan kacamata hitam, lalu melangkah keluar. Sebelum malam langit masih menjingga, namun hujan masih menetes pelan saat ia sampai di sebuah apotek.
"Selamat sore, Mbak. Ada yang bisa saya bantu? " tanya penjaga apotek.
Kiseai tersenyum kecil, selalu menyebut daftar belanjaan dengan tenang: pil kontrasepsi (KB) dalam jumlah banyak, obat kuat, obat tidur, gambar penenang.
Penjaga apotek mengerutkan kening. "Banyak sekali ya, Mbak... Buat apa? takutnya—"
"Oh, Ini pesanan bu bidan di ujung jalan. Saya diminta ambilin dan beli stok," potong Kiseai cepat, menambahkan senyum meyakinkan.
Ragu-ragu, penjaga itu akhirnya memberikan semua obat. Kiseai membayar kontan, lalu meninggalkan apotek tangan hati berdebar.
Di perjalanan pulang, langkahnya ringan. Di kepalanya, rencana itu semakin jelas. Sesampainya di kontrakan, ia menyiapkan semua barang: obat, pakaian seksi, eh nggak peralatan tambahan. Ia bahkan mencari informasi tempat hiburan lewat ponselnya.
Waktu malam pun tiba. Dengan riasan secukupnya dan gaun ketat yang menempel di tubuhnya, Kiseai dampak berbeda. Rambutnya ia Tata, wajahnya bercahaya di bawah lampu redup. Di sebelahnya, wanita ODGJ itu ia Pakaikan gaun serupa setelah sebelumnya ia beri pil tidur, kontrasepsi, dan obat penenang, Ia pun mengangkat sebelah bibirnya dengan rencana tertentu.
Ia pun keluar bersama wanita odgj mengunci dan meninggalkan kontrakannya. Tak lupa dia pun menggunakan masker kacamata dengan wanita odgj tersebut, agar tidak ada yang melihatnya serta orang lain yang curiga.
Keduanya berjalan kaki menuju pusat hiburan malam. Kiseai tak berani memesan kendaraan; terlalu beresiko ada orang yang mengenali.
Setelah menemukan sebuah hotel dekat tempat hiburan, ia menyewa dua kamar dengan identitas palsu.
Wanita itu ia sembunyikan di kamar, lalu pergi dari hotel itu, dan Kiseai pun melangkah masuk ke dalam klub malam, melepaskan kacamata hitam dan maskernya lalu mencari target.
Tak Butuh waktu lama, seorang pria paruh baya dengan jas mahal dan wajah setengah mabuk menjadi sasarannya. Kiseai merayunya dengan senyum manis dan tetapan genit. Lelaki itu, tarbius oleh Pesona dan alkohol, langsung setuju ketika Kiseai mengajaknya "Lanjut di hotel."
Di kamar, lagi itu semakin larut. Ia minum minuman keras yang Kiseai sodorkan—sudah bercampur obat kuat. Tubuhnya mulai memanas, gairahnya meledak-ledak. Saat itulah Kiseai dengan cekatan mengikat tangannya ke sisi ranjang, pura-pura menggodanya.
"Tenang... Aku ganti sebentar, ya. Kau akan suka nanti," bisiknya di telinga pria itu.
Lelaki itu hanya tergagah puas.
Kiseai lalu masuk kamar mandi. Di sana, wanita odgj sudah siap dengan pakaian seksi. Dengan beberapa sentuhan terakhir dan tambahan obat yang belum di masukkan ya itu obat kuat, Kiseai membawanya keluar. Lampu kamar ia padamkan, menyisakan kegelapan total.
Lalu ia serahkan wanita odgj ini kepada pelukan lelaki itu dengan sedikit dorongan. Dan... Rencananya berjalan.
Kiseai segera bersembunyi di sudut kamar, hanya mendengar suara yang ia butuhkan. Detik demi detik, menit demi menit. Hingga akhirnya, suara itu mereda.
Dengan hati-hati, ia menghampiri. Kedua tubuh di ranjang sudah terkulai lelah. Kiseai Segera menyuntikkan obat bius ketemu wanita odgj itu, lalu menyeretnya perlahan keluar ke kamar sebelah yang sudah ia siapkan. Wanita itu ditidurkan, disembunyikan.
Setelah itu, Kiseai masuk ke kamar tadi lalu berganti pakaian, mengenakan gaun serupa, lalu berbaring di samping pria kaya itu.
Pagi pun tiba. Lelaki itu bangun, berpakaian, dan mengetik sejumlah uang besar yang akan di kirim, tanda sebuah bayaran. Senyum puas terlukis di wajah Kisea, meski semalam bukan dirinya yang melayani.
Transfer elektronik, konfirmasi instan yang membuat rencana-rencananya berjalan lebih cepat dan rapi. Di zaman serba digital, segalanya jadi mudah: bukti transaksi, riwayat pembayaran, akun bank digital, dompet elektronik. Semua itu memudahkan jalannya permainan.
Itu adalah uang pertama dari rencana gilanya.
Dia mengecek notifikasi lain: pemberitahuan dompet daring, riwayat pembayaran hotel, notifikasi kartu — semuanya tercatat rapi. Dalam sekejap ia bisa memastikan uang sudah aman, tanpa perlu berhadapan langsung dengan pria itu lagi. Hanya satu ketukan, dan nominal itu berpindah; hanya satu geser, dan bukti itu tersimpan untuk dirinya sendiri.
“Cepat. Praktis. Tanpa jejak sosial yang mencolok,” pikirnya. Teknologi memberi dia jarak sekaligus perlindungan — sesuatu yang tak dimiliki orang-orang di masa lalunya.
(Kalau kalian pengen tahu lanjutannya mampir ke novel nya dgn judul yg sudah tertera 👆 jangan lupa follow 💐♥️♥️. Dukung selalu setiap update ceritanya)