Langit di luar jendela perpustakaan warnanya kelabu, memenuhi janji hujan April yang sore itu. Raihan menghela napas pelan, mencondongkan tubuhnya sedikit ke arah cahaya lampu baca yang temaram. Jari-jarinya yang panjang membalik halaman novel tua yang hampir rapuh. Dia menyukai kesunyian di sini, di sudut paling sepi lantai tiga, di mana hanya suara gesekan kertas dan napas yang terdengar.
Kesunyian itu pecah oleh langkah terburu-buru.
Seorang pemuda dengan rambut ikal basah oleh rintik hujan muncul dari balik rak buku. Jaket denimnya belekan, dan matanya yang berwarna madu melirik ke sekeliling dengan panik, seperti mencari perlindungan. Dia melihat Raihan, dan kemudian melihat kursi kosong di seberang meja Raihan.
"Boleh?" suaranya terengah, rendah namun jernih.
Raihan hanya mengangguk singkat, kembali memusatkan perhatian pada bukunya. Tapi konsentrasinya sudah buyar. Dari sudut matanya, dia bisa melihat pemuda itu mengelap rambutnya dengan sapu tangan, lalu mengeluarkan laptop dari tasnya. Ada semacam energi gelisah yang dipancarkan pemuda itu, membuat udara di sekitar mereka bergetar halus.
Beberapa menit berlalu dalam diam, sebelum hujan mulai turun dengan deras, mengetuk kaca jendela seperti musik perkusi yang tak beraturan.
"Astaga, lupa bawa payung," gerutu pemuda itu lirih, lebih kepada dirinya sendiri.
Raihan menoleh. "Ini hujan April. Selalu mengejutkan."
Pemuda itu tersenyum, dan untuk pertama kalinya Raihan benar-benar melihatnya. Senyumannya hangat, mampu mengusir hawa dingin yang dibawa hujan. "Aku Alvaro. Baru pindah jurusan sastra. Lagi cari referensi untuk tugas tentang puisi-puisi Chairil."
"Raihan," balasnya. "Rak di ujung, sebelah kiri. Tapi koleksi yang lengkap ada di lantai empat."
Percakapan singkat itu menjadi pembuka. Pertemuan mereka di perpustakaan menjadi ritual. Setiap Selasa dan Kamis sore, Alvaro akan muncul dengan wajah penuh semangat dan segudai pertanyaan. Raihan, yang biasanya menjauhi interaksi, justru menemukan ketenangan baru dalam obrolan mereka. Dia yang pendiam, belajar untuk mendengar. Alvaro yang cerewet, belajar untuk diam sesekali, terpikat oleh cara Raihan menganalisis sebuah karya sastra dengan kalem dan mendalam.
Raihan mulai menyadari sesuatu yang aneh. Dadanya berdebar kencang setiap kali Alvaro tertawa lepas. Matanya selalu mencari sosok Alvaro di antara rak-rak buku sebelum mereka benar-benar bertemu. Dia menemukan dirinya tersenyum sendiri, mengingat cara Alvaro menggigit ujung pulpennya ketika sedang berpikir keras.
Suatu Kamis, hujan turun lebih lebat dari biasanya. Perpustakaan hampir kosong. Mereka berdua masih duduk di sudut biasa, berhadapan.
"Ran," panggil Alvaro tiba-tiba, memecah kesunyian. Raihan menoleh. Panggilan akrab itu, yang hanya Alvaro yang berani gunakan, selalu membuatnya merasa hangat.
"Apa?"
"Kamu tahu kenapa aku selalu memilih tempat duduk di seberangmu?" tanya Alvaro, suaranya lebih lembut dari biasanya. Matanya, yang biasanya penuh cahaya, sekarang terlihat serius.
Raihan menggeleng, jantungnya berdetak tak karuan.
"Karena dari sini," Alvaro melanjutkan, "aku bisa melihat pantulan cahaya lampu di matamu setiap kali kamu membaca kalimat yang kamu sukai. Dan... aku bisa memandangimu, tanpa harus terlihat jelas."
Udara seketika berhenti. Raihan bisa mendengar detak jantungnya sendiri, berdebar kencang, bersaing dengan deru hujan. Dia melihat langsung ke mata Alvaro, dan di dalamnya, dia melihat kejujuran yang sama dengan yang dia rasakan selama ini—sebuah ketertarikan yang pelan-pelan tumbuh, seperti tunas di musim semi.
"Al," desis Raihan, suaranya serak. "Aku... aku juga."
Dia tidak perlu berkata lebih. Dua kata itu sudah cukup. Alvaro tersenyum, senyuman yang lebih cerah dari mentari mana pun. Tangannya yang berada di atas meja bergerak maju, jari-jarinya menyentuh ujung jari Raihan dengan hati-hati, seperti menyentuh sayap kupu-kupu.
Sentuhan itu sederhana, tapi terasa seperti sengatan listrik yang hangat. Mereka tidak berpegangan tangan, hanya ujung jari yang saling bersentuhan, sebuah pengakuan diam-diam di antara tumpukan buku dan nyanyian hujan.
"Bagus," bisik Alvaro, matanya berbinar. "Aku khawatir aku satu-satunya yang merasakan ini."
Raihan membalikkan tangannya, dan kali ini, dia dengan berani menggenggam jari Alvaro. "Kamu tidak sendirian."
Hujan di luar mulai reda, meninggalkan rintik-rintik terakhir yang menempel di kaca. Di dalam perpustakaan yang sunyi, di sudut sepi lantai tiga, sebuah cerita baru saja dimulai. Sebuah cerita tentang dua anak muda, buku-buku tua, dan keberanian untuk mengakui perasaan yang lahir di antara rintik hujan April. Mereka mungkin belum tahu bagaimana cerita mereka akan berlanjut, tetapi untuk saat ini, genggaman tangan yang hangat di antara mereka terasa seperti sebuah awal yang sempurna.