Sandwich Tanpa Rasa
Adnan adalah seorang akuntan pajak yang sangat menghargai rutinitas. Ia percaya pada angka, jadwal, dan sandwich kalkun yang ia bawa setiap hari kerja. Tepat pukul 12.00, tidak kurang tidak lebih, ia akan duduk di bangku taman yang sama, di bawah pohon beringin yang sama, dan mengeluarkan bekalnya dari kotak makan plastik hijau.
Suatu hari, pada hari Rabu yang cerah, Adnan merasakan keanehan. Saat ia menggigit sandwich kalkunnya, ia menyadari rasanya tidak ada. Bukan hambar, tapi kosong. Seperti mengunyah konsep makanan, bukan makanan itu sendiri.
"Ah, mungkin aku sedang flu," pikir Adnan sambil menyeruput air putih dari botol.
Keesokan harinya, Kamis. Pukul 12.00. Bangku yang sama. Sandwich yang sama. Rasanya nihil.
Ia mulai khawatir. Ia mencoba mencium aroma kalkun, mustard, dan roti gandum. Aromanya ada, tapi saat masuk ke mulut, sensasi rasanya hilang total.
Di hari Jumat, ia membawa sandwich isi ayam kari yang super pedas. Ia menggigitnya, mengunyahnya, menunggu ledakan rasa. Tidak ada apa-apa.
"Ini gila!" gumam Adnan. Ia mencoba menyentil dirinya sendiri dengan garpu. Sakit. Ia mencoba mencubit lengannya. Sakit. Tapi makan? Tidak ada rasa.
Lalu ia menyadari hal yang lebih aneh. Selama seminggu ini, tidak ada satu pun rekan kerja yang menanyakan tentang laporan pajak yang seharusnya ia selesaikan. Bahkan bosnya, Bapak Wirawan yang terkenal galak, hanya tersenyum samar setiap Adnan berpapasan dengannya di koridor.
weKomedi Tiga Menit yang Berulang
Kecurigaan Adnan mencapai puncaknya pada hari Senin berikutnya.
Tepat pukul 11.57, di mejanya, ia melihat selembar kertas memo yang aneh. Tertulis: “Selamat menikmati jam makan siang Anda, Tuan Adnan. Ingat, mustard di sisi kiri.”
Adnan yakin ia tidak menulis itu. Siapa yang tahu detail mustard kecilnya?
Tepat pukul 12.00, ia keluar dan menuju bangku taman. Ia melihat ada yang berbeda hari ini. Ada seorang kakek tua dengan anjing poodle yang sedang bermain frisbee di lapangan. Hal yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.
Saat Adnan duduk, ia membuka kotak makan hijau. Di dalam, sandwich kalkun dengan mustard di sisi kiri. Ia menggigitnya. Tentu saja, hampa rasa.
Saat ia sedang mengunyah, adegan di lapangan terjadi. Poodle itu gagal menangkap frisbee dan malah menabrak tong sampah. Tong sampah itu terguling, mengeluarkan bunyi "Bruk!" yang konyol, dan kakek itu tertawa terbahak-bahak.
Adnan tersenyum. Itu lucu.
Tepat pukul 12.03, Adnan selesai makan. Ia kembali ke kantor. Bosnya, Bapak Wirawan, menyambutnya. "Adnan, bagaimana sandwich-nya hari ini? Pastikan kau siap untuk rapat sore ini."
Adnan mengangguk.
Keesokan harinya, Selasa. Adnan duduk di bangku yang sama. Pukul 12.00. Saat ia menggigit sandwichnya (hampa rasa lagi), adegan itu terulang: Kakek yang sama, poodle yang sama, menabrak tong sampah yang sama persis, dengan bunyi "Bruk!" yang identik. Kakek itu tertawa persis sama.
Rabu, Kamis, Jumat. Semuanya sama. Memo di meja. Sandwich tanpa rasa. Dan tepat pukul 12.01 hingga 12.03, komedi poodle menabrak tong sampah yang sama persis terulang tanpa cacat.
"Aku gila," bisik Adnan, mencoba menusuk lengannya lagi. Sakitnya terasa nyata. Jadi ia tidak gila. Tapi ia jelas terjebak dalam putaran waktu jam makan siang yang konyol.
Garis Akhir Waktu yang Lezat
Adnan kini tahu. Ia terjebak di suatu tempat. Bukan di dunia nyata, tapi di suatu simulasi atau pengulangan. Pertanyaannya, mengapa?
Pada hari Senin minggu ketiga, Adnan memutuskan untuk mengubah alur. Pukul 11.59, ia tidak menuju taman. Ia berlari ke meja Bos Wirawan.
"Pak! Ada apa dengan sandwich saya? Ada apa dengan tong sampah itu?" teriak Adnan panik.
Bapak Wirawan menoleh, senyum samarnya lebih lebar dari biasanya. "Ah, Tuan Adnan. Waktunya makan siang."
Saat itu juga, tubuh Adnan terasa tertarik ke arah bangku taman. Ia tiba-tiba terteleportasi, duduk di bangku, dengan kotak makan sudah terbuka. Ia kehilangan satu menit. Waktu di sekelilingnya bergerak lagi. Pukul 12.00.
Adnan mencoba berteriak pada kakek dan poodle itu, tetapi suaranya tidak keluar. Ia hanya bisa mengunyah sandwich tanpa rasa.
Pada hari Kamis minggu ketiga, Adnan punya rencana terakhir. Saat pukul 11.58, ia mengeluarkan selembar kertas pengembalian pajak yang harusnya sudah ia tanda tangani.
Tepat pukul 12.00, ia menggigit sandwichnya. Saat komedi poodle dimulai, ia mengambil pena dan mencoret-coret lembar pajak itu dengan gambar kartun kalkun yang sedang tertawa.
Pukul 12.03. Adnan selesai makan. Ia kembali ke kantor.
Kali ini, Bapak Wirawan tidak tersenyum. Wajahnya pucat pasi. Ia memegang kertas pajak yang dicoret-coret itu.
"Adnan... kau... kau merusak data. Kau merusak kode."
Dunia di sekeliling Adnan mulai bergetar. Lampu kantor berkedip-kedip, dan dinding-dinding kaca mulai retak seperti glitch komputer.
"Aku tahu rasanya hampa, Pak," kata Adnan, suaranya kembali normal. "Aku tahu aku tidak nyata."
Tiba-tiba, suara Bapak Wirawan berubah. Itu menjadi suara seorang wanita, tenang dan otoritatif.
"Selamat, Subjek 46. Percobaan berhasil. Ilusi telah runtuh."
Semuanya gelap.
Adnan membuka mata. Ia terbaring di tempat tidur yang nyaman. Di sampingnya, seorang wanita berjas lab tersenyum.
"Akhirnya sadar, Eko," kata wanita itu. "Kau sudah tidur selama dua tahun."
"Adnan? Sandwich?" tanya Eko bingung.
"Adnan adalah identitas yang kami programkan dalam alam bawah sadarmu untuk studi 'Kecanduan terhadap Rutinitas'," jelas wanita itu. "Kau berada di fasilitas simulasi. Kami harus mengulang satu jam hidupmu selama 21 kali agar kau menyadari bahwa makananmu tidak memiliki data rasa."
Wanita itu tertawa kecil. "Kami hampir frustrasi. Kami bahkan harus menambahkan adegan komedi poodle agar kau punya sesuatu untuk diperhatikan di waktu yang berulang itu."
Eko (Adnan) masih bingung. Ia melihat ke arah meja kecil di sampingnya. Ada sepiring penuh makanan lezat: steak, pasta, dan kue cokelat.
"Silakan makan," kata wanita itu, "Ini yang nyata."
Eko ragu. Ia mengambil pisau dan garpu, lalu memotong sepotong steak, membawanya ke mulut.
Saat ia mengunyah, mata Eko membelalak. Rasa umami yang kuat, gurih, dan lezat itu menghantam lidahnya. Rasa nyata yang belum pernah ia rasakan selama bertahun-tahun ilusi.
Ia tertawa. Lalu menangis.
"Jadi... apakah aku bisa mendapatkan sandwich kalkun?" tanya Eko, air mata masih membasahi pipinya.
"Tentu," jawab wanita itu. "Tapi kali ini, kami pastikan rasanya nyata. Dan ingat, kau harus memasukkan mustard di sisi kiri."
Eko tersenyum. Ia akhirnya tahu bahwa meskipun ia seorang mantan subjek percobaan yang terjebak dalam loop jam makan siang, setidaknya ia tidak akan pernah lagi meremehkan nikmatnya sepotong kalkun dan mustard yang berani.
TAMAT.