Raka adalah seorang pria yang hidupnya selalu terukur, seperti denyut jam tangan Rolex yang melingkar di pergelangan kirinya. Ia seorang manajer investasi, dan bagi Raka, setiap risiko harus diperhitungkan, termasuk risiko dalam pernikahannya.
Dia menikah dengan Maya, seorang wanita yang cantik dan stabil, seperti portfolio investasi yang aman. Mereka punya dua anak, sebuah rumah besar dengan pemandangan kota, dan jadwal yang tersusun rapi hingga lima tahun ke depan. Semuanya sempurna, dan kesempurnaan itu, anehnya, justru melahirkan rasa hampa yang perlahan mematikan.
Kekacauan memasuki hidup Raka dalam bentuk seorang barista di kafe dekat kantornya, namanya Luna. Luna bukan tentang stabilitas; ia adalah seni yang kacau, selalu mengenakan vintage dress dan punya tato naga kecil di belakang telinganya. Raka jatuh cinta pada aroma tembakau dan kopi yang pekat yang selalu melekat pada Luna—aroma yang sama sekali tidak ada di rumahnya yang wangi lavender.
Perselingkuhan mereka adalah sebuah kontradiksi. Itu terjadi di ruang-ruang tersembunyi: kamar hotel yang disewa per jam, gang-gang sempit di belakang gedung tua, atau bahkan di mobil Raka saat jam makan siang. Luna adalah rahasia yang ia simpan di balik dasi sutra mahalnya.
Malam itu, Raka kembali ke rumah setelah seharian bersama Luna. Mereka baru saja merayakan ulang tahun Luna di sebuah lounge remang-remang. Raka merasa hidup, berdenyut, tetapi juga dihantui rasa bersalah yang menusuk.
Ia langsung menuju kamar mandi, mencuci tangannya berkali-kali, berusaha menghilangkan sisa-sisa aroma Luna. Namun, ketika ia membuka cufflink di pergelangan tangannya, matanya terpaku pada jam tangan Rolex yang merupakan hadiah ulang tahun dari Maya.
Di pinggiran kristal safir jam tangan mewah itu, tepat di antara angka 7 dan 8, ada noda samar berwarna merah menyala. Noda itu kecil, nyaris tak terlihat, namun bagi Raka itu sejelas pengkhianatan. Itu adalah bekas lipstik Luna.
Jantungnya berdebar kencang. Ia buru-buru menyeka noda itu dengan ujung kemejanya. Ia berhasil membersihkannya, tetapi ia tahu bahwa noda itu sudah tercetak di ingatannya.
Saat Raka keluar dari kamar mandi, ia mendapati Maya sudah berada di kamar. Ia sedang duduk di meja rias, menghapus make-up malamnya.
"Lembur lagi, Sayang?" tanya Maya, suaranya terdengar netral, tapi mata di cermin itu tampak tajam dan dingin.
"Ya. Proyek baru. Sedikit rumit," jawab Raka, mencoba terdengar santai sambil berjalan ke lemari.
"Oh, tentu. Proyek rumit," ulang Maya. Ia menggeser wadah kapas di mejanya.
Raka menahan napas saat melihat apa yang ada di bawah wadah kapas itu: sebuah buku jurnal kecil. Itu adalah jurnal yang biasa digunakan Raka untuk mencatat ide-ide bisnis, tetapi Luna pernah mencoret-coret bagian belakangnya dengan puisi acak.
"Tadi aku menemukan ini di saku jasmu," kata Maya, mengambil jurnal itu. Ia tidak membukanya. Ia hanya memegangnya dengan dua jari, seolah itu adalah benda kotor.
"Aku lupa mengeluarkannya. Itu catatan rapat," dalih Raka, suara seraknya terdengar memaksa.
Maya tersenyum, senyum yang tidak mencapai matanya. "Tentu. Aku tahu. Hanya saja... aku melihat sesuatu yang aneh."
Maya menyentuh bagian belakang jurnal itu dengan ujung kuku. "Ada bekas. Bekas yang sangat samar, seperti tinta yang merembes. Aku penasaran, tinta apa yang bisa merembes hingga ke kertas, padahal seharusnya tidak ada tulisan di sana?"
Raka kini berdiri membeku di depan lemari. Ia tahu maksud Maya. Ia ingat, kemarin Luna menggunakan pena berujung tebal untuk mencoret-coret jurnal itu. Pena yang tintanya terkenal mudah merembes.
"Aku tidak tahu," kata Raka. Ia merasa seperti seorang terdakwa yang kehabisan alibi.
Maya bangkit. Ia berjalan mendekat, tangannya kini memegang jurnal itu dan matanya terpaku pada jam tangan Raka.
"Kau tahu, Ra," bisik Maya, suaranya begitu pelan hingga nyaris tak terdengar. "Aku selalu menyukai jam tangan ini. Rolex yang sempurna. Tapi aku baru menyadari, benda sempurna seperti ini... seharusnya tidak punya cacat. Begitu ia terkena satu noda yang membandel, fungsinya sebagai penunjuk waktu yang presisi akan hilang, karena semua yang dilihat mata hanyalah noda itu."
Maya lalu meletakkan jurnal itu di dada Raka, seolah itu adalah sebuah stempel.
"Kau menghapus noda lipstik itu, Ra. Tapi sayangnya, noda tinta di jurnal itu tidak bisa dihapus. Dan yang paling parah, noda itu sudah ada di dalam ingatan kita berdua."
Raka merasakan tubuhnya dingin. Ia tahu, Maya tidak hanya menemukan lipstik di jamnya atau tinta di jurnalnya. Maya telah menemukan pola di balik ketenangan palsunya.
Maya mengambil napas panjang. Ia sama sekali tidak menangis. "Aku sudah menghubungi pengacara. Aku akan mengambil anak-anak. Kau boleh mengambil jam tanganmu, jurnalmu, dan semua proyek rumit-mu itu."
Maya berbalik dan berjalan menuju pintu kamar. Sebelum ia benar-benar pergi, ia berhenti sejenak.
"Satu hal lagi, Ra. Aku tahu di mana apartemen Luna. Aku tidak akan bilang padanya. Tapi aku hanya ingin kau tahu... aku adalah seorang istri yang memilih untuk tidak lagi hidup dalam kepura-puraan. Sedangkan kau, selamanya akan menjadi seorang pria yang terus-menerus mencari noda untuk menutupi kesempurnaan yang ia benci."
Pintu kamar tertutup pelan, meninggalkan Raka sendirian di kamar yang kini terasa kosong dan dingin. Ia menatap jam tangan Rolex-nya, kini terasa berat seperti pemberat. Ia adalah seorang manajer risiko yang gagal total, karena risiko terbesarnya—rasa bosan—justru menghancurkan seluruh kehidupannya.
TAMAT.