Episode 1: Kutukan Tengah Malam
Maya, Riko, dan Lina duduk di dalam studio kedap suara yang suram, dihiasi tengkorak plastik dan lilin hitam yang tidak pernah dinyalakan. Mereka adalah trio selebgram horor di balik podcast mingguan populer, "Kutukan Tengah Malam". Malam itu adalah episode ke-13, dan viewers membludak.
"Oke, viewers! Malam ini kami punya sesuatu yang spesial," ujar Maya, si moderator berambut ungu yang terkenal berani. "Kami akan menceritakan kisah yang kami sebut 'Kisah Terlarang'—kisah yang konon membawa teror langsung."
Riko, si skeptis yang suka menyela, menyeringai. "Santai, itu cuma bumbu. Siapa takut? Kita mulai dari ratu trauma kita, Maya. Cerita Rumah Sakit Tua."
Maya menghela napas, matanya menatap kamera dengan intensitas yang tidak biasa. Ia mulai bercerita tentang pengalamannya menyelinap ke rumah sakit terbengkalai, tentang ruangan kamar mayat yang dingin, dan sebuah insiden foto.
"Aku memotret mayat yang seharusnya tidak difoto," bisiknya, suaranya diproses untuk menambah efek seram. "Saat aku keluar, ponselku bergetar. Ada notifikasi suara yang masuk. Hanya bisikan. Aku masih ingat bunyinya..." Maya menarik napas dalam-dalam. "Kau telah memanggilku..."
Ganti giliran Riko. Dengan gaya kocak yang dipaksakan, ia menceritakan tentang Suster Ngesot yang bergentayangan di jembatan tua, sebuah urban legend. Ia bahkan menirukan suara seretan kaki yang khas di lantai studio. "Kalau dia beneran datang, aku siap-siap kasih dia kursi roda!" candanya, meski ada sedikit getaran di suaranya.
Terakhir, Lina. Ia adalah yang paling pucat di antara ketiganya. Ia bercerita tentang perjalanan mistisnya ke sebuah desa, di mana ia ceroboh mengambil sehelai rambut dari boneka sesajen di bawah pohon beringin. "Setelah itu, aku merasa tulangku sakit. Ada yang mendesak dari belakang, bisikan yang marah, meminta rambut itu kembali. Aku lari, tapi aku tahu, penunggu pohon itu tahu aku..."
Saat Lina menyelesaikan kalimatnya, lampu studio mulai berkedip liar. Monitor live mereka menampilkan glitch statis yang masif. Suara desisan melengking menusuk dari speaker.
"Wah, efeknya keren!" seru Riko, mencoba menahan tawa gugup.
"Itu bukan efek, Riko," balas Maya, matanya membesar saat ia melihat sekilas bayangan hitam pekat bergerak di balik punggung Lina pada layar monitor yang glitch.
Mereka buru-buru memutus siaran. Keheningan tiba-tiba menyelimuti studio, terasa lebih berat dan dingin dari biasanya. Mereka tahu, malam itu, mereka tidak hanya menceritakan sebuah kisah. Mereka telah memanggil sesuatu.