Lampu-lampu berkelap-kelip memenuhi ruangan hotel yang dipenuhi dentuman musik. Orang-orang menari, tertawa, dan mengangkat gelas berisi minuman berwarna-warni.
Aku duduk di sudut sofa, merasa asing.
Ini bukan duniaku.
“Ayo, Lin… sekali-sekali nggak apa-apa lah,” bujuk Rani, temanku, sambil menyodorkan segelas minuman. “Santai aja, cuma soda campur sirup kok.”
Aku ragu, tapi akhirnya menerima.
Sekali teguk, cairan itu terasa manis di lidahku. Anehnya, beberapa menit kemudian tubuhku mulai terasa panas. Jantungku berdegup kencang, kepalaku ringan, pandangan mengabur.
“A-apa ini… Ran?” tanyaku dengan suara bergetar.
Rani tersenyum tipis. “Udah, nggak usah banyak mikir. Nikmatin aja.”
Aku mencoba berdiri, tapi lututku lemas. Dunia di sekitarku berputar. Tiba-tiba lengan seseorang meraihku, menahan tubuhku yang hampir jatuh.
“Udah, sini sama gue aja,” bisik seorang pria asing yang tiba-tiba muncul. Tanpa bisa melawan, aku dibopongnya keluar dari pesta.
Aku meronta, tapi tenagaku habis. “Lepas… aku mau pulang…” suaraku hanya keluar lirih.
Lorong hotel terasa panjang, lampu-lampu redup membuat semuanya kabur di mataku. Sampai akhirnya… sebuah pintu kamar terbuka. Pria itu menyeretku masuk, lalu meninggalkanku begitu saja di ranjang, tubuhku masih goyah.
Aku mencoba fokus. Pandanganku jatuh pada seseorang yang baru saja keluar dari kamar mandi.
Dengan handuk di leher, tanpa mengenakan kaus yang menampilkan roti sobek kotak-kotak dan juga rambutnya yang sedikit basah.
Aku terpaku. Dunia serasa berhenti.
Pandangan mataku buram, lampu-lampu kamar terlihat berbayang dua. Nafasku berat, seakan ada sesuatu yang menekan dadaku. Kulitku panas, tapi telapak tanganku dingin dan gemetar.
Ada rasa aneh merayap di tubuhku, rasa asing yang tak pernah kualami sebelumnya. Seolah aku kehilangan kendali atas diriku sendiri.
Aku mencoba membuka mulut, ingin berteriak, tapi yang keluar hanya bisikan lirih yang nyaris tenggelam. “Tolong…”
Dan ketika fokusku sedikit kembali, bayangan seorang pria berdiri tak jauh dariku.
Siluet itu terlalu familiar.
Mataku membelalak, meski berat.
Pak Vino.
“Alina?!” suara Vino terdengar terperanjat. Matanya membelalak begitu mendapati muridnya terbaring lemah di ranjang hotelnya.
Gaun yang melekat di tubuh Alina tipis dan terbuka di beberapa bagian, membuatnya terlihat tak pantas—apalagi bagi seorang siswi yang masih di bawah umur.
“Apa yang kamu lakukan di kamar saya?!” bentaknya, suara beratnya menggema di ruangan. Rahangnya mengeras, tangan kirinya mengepal, dan langkahnya cepat menghantam karpet ketika ia mendekat.
Alina hanya bisa mengerang pelan, tubuhnya lemah tak berdaya. Pandangannya buram, sementara Vino semakin mendekat dengan tatapan campuran marah dan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Alina, murid pintar yang tak pernah membuat onar kini ada di depan matanya dengan pakaian tak pantas.
Alina menggeliat lemah di atas ranjang. Napasnya memburu, pipinya memerah, keringat membasahi pelipis. Matanya sayu, seolah tak benar-benar sadar dengan apa yang sedang terjadi.
“A-aku… panas…” bisiknya lirih, tangannya meraba udara kosong, mencari pegangan.
Vino menegang. Jantungnya berdegup keras, wajahnya semakin memucat.
“Ya Allah… ini apa-apaan…” desisnya marah, sekaligus panik.
Ia meraih selimut, buru-buru menutup tubuh Alina yang terbuka tak pantas.
“Alina! Sadarlah!” suaranya meninggi, mengguncang pundaknya.
Namun Alina hanya meringis, tubuhnya seperti melawan kendali. Sesekali ia menggumam kata-kata tak jelas, membuat dada Vino semakin sesak.
Amarah, kaget, dan rasa tak percaya bercampur jadi satu di wajahnya.
“Siapa yang berani melakukan ini padamu…?” gumamnya keras, tatapannya berkilat penuh amarah.
Pandangan Alina berkunang-kunang. Bayangan seorang pria di hadapannya tampak kabur, samar-samar. Dalam kepalanya, ia bahkan tak tahu siapa yang sedang berdiri begitu dekat dengannya.
“Jangan… tinggalkan aku…” bisiknya lirih.
Tanpa sadar, tangannya terulur, meraih tengkuk pria itu. Tubuhnya goyah, wajahnya semakin mendekat.
Vino terperanjat. “Alina?!” serunya kaget, tubuhnya menegang saat mendapati muridnya sendiri tiba-tiba mengalungkan lengannya ke leher Vino.
Tangannya terulur, gemetar namun memaksa menggenggam tengkuk Vino. Dalam hitungan detik, tanpa kendali, tubuhnya maju dan bibirnya menyentuh bibir Vino. Alina mencium bibirnya dengan ganas. Vino membeku, dunia seakan berhenti berputar. Meski begitu, ia sempat menikmati ranum merah muda siswinya sebelum akhirnya sadar.
Ia segera menahan bahunya, berusaha menjauh. “Astaghfirullah... sadarlah kamu! Ini tidak benar!”
Tubuh Alina terasa panas, wajahnya memerah, dan napasnya terengah tak beraturan.
Napasnya tercekat, matanya terbelalak. Otot-otot tubuhnya kaku, menolak percaya apa yang baru saja terjadi. Muridnya… Alina Syahira… gadis tujuh belas tahun itu baru saja—
Tapi Alina terus meracau, seakan tak sadar dengan apa yang baru saja dilakukannya.
“Jangan tinggalkan aku… aku nggak kuat lagi…” bisiknya parau. “Aku cuma… ingin seseorang di sisiku.”
Vino merasakan dadanya berdesir aneh—bukan karena godaan, melainkan karena panik dan amarah bercampur jadi satu. Rahangnya mengeras, tangannya bergetar ketika menahan Alina agar tidak kembali menempel padanya. Di satu sisi, ada gejolak aneh yang juga muncul bersamaan.
“Sadarlah, Alina! Kamu tahu nggak apa yang barusan kamu lakukan?!” suaranya meninggi, hampir pecah.
Namun tatapan Alina kosong. Matanya sayu, penuh kabut. Seolah-olah ia tidak benar-benar melihat siapa yang ada di hadapannya. Air matanya menetes perlahan, bercampur dengan senyum tipis yang justru membuat hati Vino semakin tercekat.
“Aku… nggak mau lagi… sendirian,” bisik Alina. “Temani aku, tolong…”
Vino menutup mata, menahan diri. Nafasnya memburu, seolah dadanya terbakar. Ia tahu betul ini bukanlah Alina yang sesungguhnya. Gadis itu tidak sadar, tidak paham apa yang ia lakukan.
Namun fakta bahwa bibir mereka sempat bersentuhan—walau hanya sekilas—cukup untuk menghancurkan segalanya.
Tangannya mengepal kuat, nyaris menimbulkan bunyi sendi yang retak. “Astaghfirullah… ini gila…” gumamnya.
Ia menunduk, menatap Alina yang kini terbaring setengah pingsan di ranjangnya, wajahnya pucat tapi tubuhnya masih panas. Gadis itu tampak rapuh, tak berdaya dan seketika rasa marah Vino berubah menjadi amarah pada orang yang sudah menjebaknya.
“Siapa pun yang melakukan ini padamu, Alina… akan kubuat membayar,” ucapnya dengan suara berat, penuh dendam yang tertahan.
Namun sebelum ia sempat bergerak lebih jauh, suara pintu kamar mendadak terdengar terbuka lebar.
Klek! Brak!
Cahaya lorong hotel menelanjangi keadaan di dalam kamar yang temaram. Alina terbaring lemah di ranjang, Vino sedang mengangkat kepala Alina untuk menaruhnya di bantal, tubuh mereka nyaris bersentuhan.
Klek!
Suara pintu terbuka dari luar, tampak seorang pria berdiri di depan dengan wajah panik.
Keheningan mendadak pecah ketika sebuah suara berat terdengar dari ambang pintu.
Suara yang dingin, sarat dengan keterkejutan sekaligus kekecewaan.
“Astaga, Vino… apa yang sudah kamu lakukan?”
lanjut baca di akun ku yaa!!! 😍😍😍