Jatuh cinta, hal yang paling indah dalam hidupku. Karenanya, duka dan pilu yang sempat menganga terlupakan.
Sesaat.
Dia, Miko. Datang padaku, memberi sebuah harapan menjanjikan.
Aku, Hani. Remaja yang beranjak dewasa, hidup sederhana dan hanya ditemani seekor kucing peliharaan ku yang kuberi nama Manis. Orang tuaku bercerai 2 tahun lalu, aku ditinggal di rumah peninggalan nenek. Seorang diri, pastinya.
Miko, tetangga sekaligus teman masa kecilku. Sahabatku juga, yang berganti status menjadi kekasih.
Dia... Selalu mendukung semua impian yang menjadi cita-citaku, layaknya seorang kakak penyayang. Tapi, itu dulu. Ternyata, topeng membuatku tak mengenal wajah aslinya.
"Oh.. Jadi ini ternyata sifat kamu?!" aku nyaris berteriak, nafasku naik turun tak beraturan.
Dua orang menjijikan, Miko dan seorang wanita yang tak ku kenal sedang berc*mbu mesra, di rumahku.
Miko menatapku kesal. Wanita itu setelah kulihat lagi, sepertinya aku pernah mengenalnya. Ah ya, Miko bilang dia sepupu jauhnya.
Aku tertawa miris.
"Jadi selama ini kamu cuma manfaatin aku?! " ucapku penuh penekanan.
Air mata lolos tanpa bisa kutahan, "Aku udah percaya kamu, kasih apa yang kamu mau yang paling berharga dalam diriku. Tapi apa balasanmu?!!"
Dia diam.
Seolah tak merasa bersalah, ia malah tampak baik-baik saja.
"Kan aku gak minta kamu buat percaya! Siapa suruh kamu bodoh!" jawabnya.
Dadaku sakit. Setiap kata yang keluar dari mulut busuknya seakan memberhentikan detak jantungku.
"Tega kamu!" kataku. Bibirku hanya mampu berucap dua kata, padahal banyak sekali yang ingin ku ungkapkan padanya.
Janji-janji manisnya membuatku luluh, aku mempercayainya. Kami akan menikah bulan depan, dan katanya dia mau itu lebih dulu. Tampangnya baik-baik, tutur katanya lembut, tak kusangka dia malah berkhianat. Ku korbankan hal yang paling berharga diriku padanya, tapi nyatanya...
Sakit.
Dibohongi, dirusak, dan dibuang.
Oleh yang orang yang paling dicintai.
Aku sengaja mengguyur tubuhku dibawah derasnya hujan sore ini. Seolah langit turut berduka, menemaniku yang bersedih. Kupikir sudah cukup dibuang oleh ibu dan bapakku, tapi takdir Tuhan berkata lain. Lagi, dan lagi aku dibuang. Setelah mereka merampas kebahagiaan dan rasa cinta yang telah ku tanam. Apakah takdir Tuhan memang selalu kejam?
Entah beberapa jam aku dibawah derasnya hujan, tau-tau langit sudah gelap. Aku jijik pulang ke rumahku sendiri, dia juga merampas kenangan yang ada di dalamnya.
Tanpa kusadari kaki ini melangkag kembali ke rumahku. Disana masih terdengar jelas suara tawa mereka, orang-orang seakan tuli. Mereka tak mempedulikanku.
Aku menatap rumah itu sekali lagi, rumah peninggalan nenek yang jadi saksi kebodohanku. Tapi hari ini, aku berjanji, ini akan jadi saksi kebangkitanku.
Aku menggenggam erat tas kecilku yang sudah kubawa keluar sebelum hujan mengguyur. Di dalamnya ada ijazah, tabungan, dan foto Manis, kucingku yang setia menemani. Itu saja cukup. Aku tidak butuh yang lain.
Aku melangkah pergi, meninggalkan Miko dan semua luka di belakang. Langkahku berat, tapi setiap detik hujan yang jatuh ke tubuhku terasa seperti tetesan kecil yang membersihkan semua kotoran yang menempel di hatiku.
“Aku memang dibuang… tapi aku akan kembali berdiri,” ucapku pada diriku sendiri.
Aku menghapus air mata. Untuk pertama kali setelah sekian lama, aku merasa sedikit lega. Langit gelap, tapi aku tahu di baliknya selalu ada pagi. Aku hanya perlu bertahan sampai tiba waktunya.
Aku berjalan makin jauh, meninggalkan kenangan dan memulai lembar baru. Kali ini, aku akan mencintai diriku sendiri lebih dulu.
Love yourself —