Zura (Cinta Luar Biasa)
Awal Perjumpaan
Malam itu, grup chat “Saung Kopi” sedang ramai seperti biasa. Grup berisi macam-macam orang—teman lama, kenalan baru, bahkan orang yang nggak terlalu akrab tapi ikut nimbrung. Notifikasi nyaris nggak berhenti, membuat layar ponsel penuh deretan pesan.
Indra, cowok supel dan gampang akrab, sudah seperti “host” tidak resmi di sana. Kalau obrolan mulai sepi, dia pasti datang dengan pertanyaan absurd. Kadang nanya, “Kalau ayam bisa ngomong, kira-kira mereka bakal protes nggak tiap kita bikin ayam geprek?” atau lempar meme receh yang sukses bikin semua orang ngakak.
Di tengah keramaian itu, ada satu akun yang jarang sekali muncul. Zura. Cewek ini cenderung pasif, kalau pun menjawab selalu singkat, dingin, kadang malah terdengar galak.
“Zura ini kayak AC. Ada tapi dingin,” celetuk Indra sekali waktu.
Grup langsung pecah tawa. Zura melirik layar, hendak mengabaikan, tapi jarinya bergerak mengetik.
“Daripada kamu kayak kipas angin—berisik tapi nggak jelas arahnya.”
Balasan itu bikin grup makin riuh. Sejak saat itu, interaksi kecil antara Indra dan Zura jadi semacam tontonan. Semakin hari, semakin banyak yang menunggu adu komentar keduanya.
Mulai Dekat
Awalnya Zura hanya ingin membalas seperlunya. Tapi Indra punya cara unik: dia bisa bikin siapa pun, termasuk si cewek cuek itu, ketawa.
“Kalau kamu hidup di dunia anime, pilih jadi siapa?” tanya Indra di grup.
“Villain,” jawab Zura singkat.
“Pantesan galaknya minta ampun,” balas Indra, disertai emotikon ketawa.
“Hati-hati. Kalau aku jadi villain, kamu yang pertama aku habisin.”
Obrolan itu jadi jembatan. Dari sekadar komentar di grup, mereka mulai berlanjut ke chat pribadi. Awalnya cuma karena salah kirim stiker, Indra minta maaf, lalu percakapan melebar ke hal-hal lain.
Di ruang privat, Zura yang biasanya kaku berubah. Indra selalu punya cara untuk bikin suasana ringan. Saat Zura lelah oleh pekerjaan, Indra mengirim pesan, “Tarik napas dulu. Jangan kasih drama kantor ngalahin kamu.”
Lama-lama Zura merasa nyaman. Ia mulai curhat soal keluarganya, masa lalunya, bahkan ketakutannya. Indra mendengarkan dengan sabar, kadang menimpali dengan guyon, tapi nggak pernah menyepelekan.
Awal Hubungan Virtual
Sampai suatu malam, Indra memberanikan diri.
“Zura, aku ada ide. Gimana kalau kita bikin film? Judulnya: Pacaran Virtual, Cinta Imajiner yang Nyata. Tapi biar ceritanya seru, kamu harus jadi lawan mainku. Jadi… mau nggak kamu jadi pasanganku?”
Zura terdiam. Ia tahu Indra supel dan kocak, tapi kalimat itu terasa lain.
“Film kayak gitu pasti gagal di episode pertama,” jawabnya dingin.
“Kecuali pemeran utamanya mau nerima aku. Jadi, gimana?”
Butuh beberapa menit sebelum Zura mengetik, “Ya sudah. Tapi jangan bikin aku nyesel.”
Hari itu mereka resmi jadian—meski hanya lewat layar.
Hari-hari berikutnya penuh warna: video call larut malam, main game online bareng, sampai kode-kode rahasia yang cuma mereka berdua pahami. Indra sering memberi kejutan kecil—voice note nyanyi fals, foto konyol, atau quotes random yang bikin Zura tersenyum.
Zura, yang biasanya dikenal dingin, berubah jadi hangat. Setidaknya di hadapan Indra.
Namun, jalan cinta tidak selamanya mulus.
Zura mulai cemburu. Indra terlalu ramah pada semua orang di grup, termasuk cewek-cewek lain. Zura merasa posisinya tidak spesial.
“Kenapa sih kamu harus segitunya sama mereka?” tanya Zura lewat chat.
“Aku cuma ramah. Nggak ada maksud lain, Zura,” balas Indra.
“Tapi aku nggak suka. Rasanya kayak aku cuma salah satu dari banyak orang yang kamu bikin ketawa.”
Indra menghela napas. Buatnya, sikap supel itu alami. Tapi bagi Zura, itu menyalakan rasa was-was.
Salah paham kecil mulai sering muncul. Indra telat balas karena sibuk, Zura merasa diabaikan. Indra merasa dituduh, Zura merasa tak diprioritaskan.
Masalah makin pelik karena Zura belum berani mengakui hubungan mereka di grup. Mantannya masih ada di sana, kadang menyapa. Zura takut kalau semua orang tahu, akan terjadi drama besar.
Sampai akhirnya, pertengkaran meledak.
“Kenapa kamu nggak bisa sedikit aja berubah buat aku?” suara Zura terdengar serak di voice note.
“Kalau aku berubah, itu bukan aku lagi, Zura,” jawab Indra.
“Aku capek harus curiga terus. Aku pengin merasa aman. Aku nggak mau terus mikirin kamu sama siapa lagi.”
Pesan itu menggantung. Indra memilih diam. Baginya, penjelasan apa pun akan terdengar sia-sia.
Beberapa jam kemudian, Zura mengetik pesan yang berat:
“Mungkin lebih baik aku mundur. Aku nggak kuat kalau harus begini terus.”
Indra membaca berkali-kali. Dadanya sesak. Ia ingin menolak, ingin berteriak kalau ia masih sayang. Tapi jarinya tak bergerak.
Hari-hari setelah itu sepi. Obrolan mereka dingin. Grup pun tak seramai dulu tanpa perang komentar Indra dan Zura.
Akhir: Cinta Luar Biasa
Minggu-minggu berlalu. Indra mencoba menutupi kosongnya hati dengan candaan biasa, tapi tak pernah sama. Zura pun merasakan hampa, meski ia sendiri yang memilih mundur.
Sampai suatu malam, Indra memberanikan diri mengirim voice note pendek.
“Zura… aku masih di sini. Aku ngerti, aku terlalu supel bikin kamu nggak tenang. Tapi aku juga ngerti kamu butuh kepastian. Aku nggak janji berubah jadi orang lain, tapi aku janji bakal usaha lebih ngerti kamu.”
Zura membaca lama. Hatinya berperang. Akhirnya ia membalas pelan.
“Aku juga salah. Aku terlalu takut kehilangan sampai lupa nikmatin apa yang kita punya. Aku cuma… nggak mau jadi bayangan dari orang-orang di sekitarmu.”
“Buat aku, kamu bukan bayangan. Kamu cahaya. Tanpa kamu, aku cuma orang rame tanpa arah,” balas Indra.
Sunyi. Lalu Zura mengetik, “Jadi… kita masih bisa lanjut?”
“Kalau kamu siap hidup sama MC terheboh se-grup, tentu bisa,” jawab Indra, menambahkan stiker konyol.
Zura tersenyum, untuk pertama kali setelah sekian lama. Malam itu mereka bicara panjang. Tak lagi menuntut kesempurnaan, tapi belajar saling memahami.
Hubungan mereka memang masih virtual, tapi kali ini terasa lebih nyata. Mereka mulai merencanakan pertemuan pertama di dunia nyata.
“Nanti kalau ketemu, jangan kaget ya. Aku bisa lebih cerewet daripada di chat,” kata Indra.
“Aku juga bisa lebih galak daripada yang kamu kira,” balas Zura.
Di balik gurauan itu, keduanya tahu: cinta yang lahir dari layar bisa tetap luar biasa, selama ada usaha untuk saling percaya.
Teruntuk My special one 💞
Terimakasih,cintamu sungguh luar biasa
"“Cinta virtual, rasa yang tetap nyata.”
" Cinta bukan soal jarak, tapi keberanian untuk tetap percaya.”