⚠️⚠️ Agak sensitif ⚠️⚠️
Tangannya yang kokoh menahan lenganku agar tidak beranjak.
“Kamu mau kemana?” suaranya rendah, nyaris berbisik di telingaku. Jarak kami begitu dekat hingga aku bisa merasakan hangat napasnya. Aku menunduk, gugup, tak sanggup menjawab.
Genggamannya semakin erat.
“Jangan lari dari aku,” ucapnya lagi. Tatapannya tajam, namun ada sesuatu di sana yang membuatku tak mampu menolak.
Ia menarik ku sedikit lebih dekat. Dunia seakan berhenti berputar. Dada bidangnya menjadi sandaranku, dan aroma maskulinnya membuatku kehilangan kata.
Dia menunduk perlahan, menatapku seolah meminta izin. Hanya sejengkal jarak memisahkan wajah kami. Jantungku berdebar kencang. Tepat sebelum bibir kami bersentuhan, ia tersenyum tipis.
“Kamu sadar ini bukan mimpi, kan?”
"I-iya," jawabku tergagap.
Bibirnya menyentuh bibirku, lembut tapi pasti, seolah menegaskan bahwa aku benar-benar miliknya. Tubuhku seakan kehilangan kendali saat ia merengkuh pinggangku, menarik ku lebih dekat.
“Kenapa kamu selalu bikin aku gila?” bisiknya di sela bibirku, suaranya parau. Aku hanya bisa menggenggam bajunya erat, takut ini hanyalah bayangan yang akan hilang begitu saja.
Dia menunduk lagi, kali ini bibirnya menelusuri pipi, lalu berhenti di leherku. Sensasi hangat menjalari seluruh tubuhku, membuatku gemetar.
“Kamu bahkan nggak tahu seberapa dalam aku menginginkanmu,” katanya dengan nada menahan sesuatu yang lebih liar di dalam dirinya.
Aku menutup mata, membiarkan diriku larut dalam pelukannya. Dunia luar seakan hilang; yang tersisa hanyalah aku… dan dia.
Pelukannya semakin menjerat, seolah takut aku pergi. Tubuhku ditekan lembut ke dinding, jarak di antara kami nyaris lenyap. Napasnya hangat membelai kulitku, membuatku tersentak kecil.
“Lihat aku,” katanya lirih. Aku mendongak, menatap matanya yang gelap penuh hasrat. Tatapan itu membuatku tak berkutik, seakan seluruh jiwa sudah telanjang di hadapannya.
B1b1rnya kembali menempel, kali ini lebih dalam, lebih menuntut. Tangannya menyusuri punggungku perlahan, membuatku merinding. Aku hampir kehilangan kendali ketika ia berbisik di telingaku, suaranya rendah, penuh getar.
“Kamu tahu aku nggak akan berhenti hanya di sini… kan?”
Aku terdiam, jantungku berdetak begitu cepat hingga rasanya ingin meledak. Namun alih-alih menjawab, aku membiarkan tubuhku merespons pelukannya.
Dia tersenyum tipis, penuh kemenangan, lalu menarik ku semakin rapat—membiarkan api di antara kami berkobar, panas tapi memikat.
Tepat saat momen itu nyaris melahap ku seluruhnya—
DUG! DUG! DUG!
Suara ketukan keras di pintu membuatku terlonjak. Mataku terbuka lebar. Nafasku terengah-engah, keringat dingin membasahi pelipis.
Tak ada dia di sana. Hanya kamar tidurku sendiri… dan pintu yang masih terdengar diketuk.
“Bangun! Udah siang!” suara itu membuyarkan sisa-sisa mimpi.
Aku menutup wajah dengan bantal, wajah panas terbakar malu. “Ya ampun… mimpi apa barusan itu…”
"Gila! Gila!" pekiknya dari luar.
Suara ketukan di pintu terdengar lagi.
“Aureli, bangun! Kamu mau telat kerja, hah!” seru sang Ibu.
"I-iya, ini udah bangun kok!" balas Aureli.
Dia menarik napas dalam-dalam, bersiap bangkit dan mandi sebelum terlambat.
"Akh! Sial, gara-gara bos nyebelin," gumamnya kesal, masih membayangkan mimpi yang baru saja menghantuinya.