🌙
Langit sore itu berwarna jingga, indah tapi menyakitkan. Aku berdiri di tepi jembatan, menatap sosok yang sudah tidak lagi bisa kugapai.
“Kamu janji… kita bakal terus bareng, kan?” tanyaku lirih, mencoba menahan gemetar suaraku.
Dia tersenyum, senyum yang selalu membuatku merasa aman. “Iya. Aku janji, selama aku masih bisa bernapas, kamu nggak akan sendirian.”
Aku ingin percaya. Tapi dada ini sudah tahu, kata-kata itu hanya akan jadi janji yang tertinggal.
Beberapa detik kemudian, suara rem mendecit memecah senja. Aku menoleh terlambat—mobil itu melaju terlalu cepat.
“NOOO!!” teriakku, namun tubuhnya sudah lebih dulu mendorongku ke pinggir jalan. Ia terhempas keras, sementara aku hanya bisa jatuh terduduk, gemetar, tak percaya dengan yang kulihat.
Darah mengalir, membasahi aspal. Nafasnya tersengal. Dia menatapku—mata itu masih sama, hangat, bahkan ketika hidupnya sedang terkuras.
“Lihat aku…” bisiknya. “Kamu harus tetap hidup… untuk kita. Jangan biarkan janjiku sia-sia.”
Air mataku tumpah. Tanganku bergetar memegangnya, tapi tubuh itu semakin dingin.
Senyumnya pudar perlahan, dan di detik terakhir… ia menutup mata dengan tenang.
Aku menjerit. Senja hari itu, jadi saksi bahwa kebahagiaan kami berakhir di tengah jalan.
Dan aku tahu, janji yang dia tinggalkan… akan terus menghantui sisa hidupku.
---
🥀 Ending: dia berkorban supaya orang yang dicintainya selamat, tapi justru dirinya yang pergi.