Udara di kantor polisi Sektor 18 berbau kopi dingin dan keputusasaan. Detektif Arya menatap papan tulis putih, tempat dua foto bersanding di bawah tulisan tebal: KASUS HILANGNYA KELUARGA PRATAMA.
Sudah tiga hari. Tiga hari sejak Bapak Harun Pratama, istrinya Lidya, dan putri tunggal mereka yang berusia tujuh tahun, Karin, menghilang tanpa jejak dari rumah mereka di pinggiran kota yang sepi.
Tidak ada tanda-tanda perampokan, tidak ada pintu yang didobrak, dan tidak ada catatan perpisahan apapun. Rumah itu terasa seperti ditinggalkan tergesa-gesa di tengah rutinitas normal.
Arya dan rekannya, Bima, kembali ke lokasi kesekian kalinya untuk mengusut kasus rumit ini. Rumah keluarga Sanjaya adalah bangunan kuno bergaya Belanda yang terawat baik, dikelilingi taman yang rimbun. Akan tetapi keheningan di dalam rumah itu terasa berat, seolah udara pun menolak bergerak.
Di dapur, ada piring sarapan yang belum dicuci—roti panggang yang mengeras di atas meja. Di ruang tamu, laptop Harun masih terbuka, menampilkan suatu gambar aneh tentang penelitiannya yang belum sempat ditutup. Di kamar Karin, boneka beruangnya diletakkan rapi di atas tempat tidur, seolah Karin baru saja keluar untuk bermain sebentar.
"Semuanya... terlalu normal, Bim," ujar Arya sambil mengamati gantungan kunci mobil Harun yang masih tergantung di dinding dekat pintu depan. "Jika mereka diculik, penculik pasti mengambil kuncinya. Jika mereka pergi tergesa-gesa, Harun tidak akan meninggalkan kuncinya."
Bima mengangguk sambil menyorot senter ke karpet di ruang tengah. "Tidak ada bekas seretan, tidak ada jejak kaki asing. Mereka seolah menghilang begitu saja ke udara."
Arya perlahan mulai berjalan menuju ruang kerja Harun di lantai dua. Harun dikenal sebagai seorang sejarawan yang sangat fokus pada mitologi-mitologi aneh dan sejarah lokal. Ruangan itu dipenuhi rak yang berisi buku-buku tebal dan peta-peta tua. Saat Arya memeriksa mejanya, ia menemukan sebuah buku harian kecil yang tersembunyi di bawah tumpukan kertas. Buku itu ternyata adalah milik Lidya, istri Harun.
Arya perlahan mulai membuka setiap lembaran dari buku harian tersebut dan mulai membacanya. Sebagian besar isinya adalah catatan harian biasa tentang Karin dan pekerjaan rumah tangga. Namun, sepuluh hari sebelum menghilang, setiap kata dari tulisan Lidya mulai terlihat benar-benar aneh.
(11 Agustus. Aku merasa ada yang aneh pada Harun. Dia sering bangun tengah malam dan berbicara sendiri di taman belakang. Saat kutanya, dia hanya bilang sedang meneliti 'batas waktu' yang sangat penting). Lalu Arya, mulai kembali membuka lembaran baru dari buku harian tersebut dan membaca setiap tulisan yang tertera pada lembaran berikutnya.
(15 Agustus. Ada suara aneh dari bawah tanah. Seperti... gesekan batu. Aku tidak berani memberitahu Harun. Dia semakin kurus dan matanya selalu merah. Karin mulai menggambar sesuatu yang aneh—pintu tanpa pegangan).
Halaman terakhir yang ditulis Lidya pada hari hilangnya keluarga Pratama:
(18 Agustus. Aku melihatnya. Aku melihat apa yang Harun temukan. Sebuah... lubang. Di tengah lantai gudang bawah tanah. Dia tersenyum, mengatakan 'Kita akan pulang, Sayang. Rumah sejati kita telah memanggil.' Aku takut. Saat itu, aku tahu bahwa aku harus membawa Karin pergi).
"Gudang bawah tanah," gumam Arya. Ia dan Bima bergegas menuruni tangga menuju pintu kecil yang tersembunyi di balik lemari penyimpanan. Gudang itu gelap, lembap, dan berbau lumut. Di tengah lantai semen, persis seperti yang Lidya tulis, ada sebuah pintu kayu persegi yang tampak kuno, tidak menyatu dengan lantai modern.
"Itu pasti tambahan Harun," kata Bima, menyentuh kayu tebal itu. Pintu itu tidak memiliki gagang atau engsel yang terlihat.
Arya menemukan sebuah linggis tua di sudut ruangan. Mereka berdua berusaha mencongkel pintu itu. Setelah beberapa kali hentakan kuat, pintu itu terbuka, memperlihatkan lubang gelap yang menganga di bawahnya, dan udara dingin yang keluar terasa seperti embusan napas dari gua.
Lubang itu bukan mengarah ke ruang bawah tanah normal. Itu hanyalah kegelapan vertikal yang tidak berdasar.
"Ini aneh. Harun pasti turun ke sini," kata Bima.
Arya menyorotkan senternya ke dalam lubang itu. Sinar senter tidak mencapai dasar. Namun, ia melihat sesuatu di tepi lubang: jejak kaki kecil. Jejak kaki Karin. Tiba-tiba, mata Arya terpaku pada sisi dalam pintu kayu yang baru saja mereka buka. Ada ukiran halus di balik pintu itu, sebuah ukiran yang tidak terlihat dari luar. Itu adalah ukiran rumit yang terlihat seperti pintu tanpa pegangan—persis seperti yang digambar Karin.
Dan di bawah ukiran itu, tergores kalimat dalam bahasa yang kuno:
'Ketika batas waktu terbuka, rumah sejati akan menelanmu.'
Arya dan Bima saling pandang. Mereka menyadari, keluarga Pratama tidak diculik. Mereka tidak melarikan diri. Mereka telah menemukan atau mungkin telah membuat sebuah pintu, sebuah celah dimensi yang Harun yakini sebagai 'rumah sejati' bagi keluarga mereka.
"Jadi, kemana hilangnya mereka?" bisik Bima. Arya menggenggam buku harian Lidya erat-erat. Ia melihat ke lubang gelap yang seolah memanggil. Di tengah kegelapan itu, ia mendengar suara samar yang sangat pelan, seperti tawa riang seorang anak kecil yang bergema dari kedalaman tak berujung. Tawa Karin.
"Mereka tidak hilang, Bim," kata Arya, suaranya pelan dan dingin. "Mereka pulang. Dan kita tidak akan pernah menemukan jalan ke tempat yang mereka tuju."
Dengan gemetar, Arya mendorong pintu kayu itu kembali ke tempatnya, menutupi lubang gelap itu. Mereka meninggalkan gudang, meninggalkan bau lumut disana, dan meninggalkan misteri yang akan terukir abadi sebagai 'Kasus Keluarga Pratama yang Pulang ke Tempat yang Salah.'
Saat mereka mengunci pintu rumah itu dari luar, Arya bersumpah mendengar suara debu-debu tua di dalam rumah yang berderak, seolah rumah itu sendiri menghela napas lega, puas karena rahasianya telah tertutup kembali.
~TAMAT~
Maaf, kalau terkesan aneh atau biasa aja. Soalnya saya cuma penulis baru yang tidak berpengalaman.
#Cerpen #Misteri