7 Maret 2014 - 22.00 waktu Beijing.
“Mei Ling, tunggu aku di rumah. Dua jam lagi pesawat ku akan berangkat dari Kuala Lumpur. Aku akan sampai di Beijing besok jam 06.30.” Ucap Jian Li sebelum menutup telepon. Mei Ling bahagia, akhirnya besok dia bisa bertemu dengan suaminya. Dia mulai beranjak tidur setelah memasang alarm, berharap besok bisa bangun lebih cepat agar bisa menyambut suaminya pulang.
Malam itu disaat Mei Ling sedang tertidur lelap, dunia justru sedang heboh. Pesawat MH370 yang mengangkut 227 penumpang dan 12 awak kabin dari Kuala Lumpur hilang kontak pada pukul 01.21 waktu Malaysia. Beberapa jam ke depan, menghilangnya pesawat MH370 menjadi berita utama di seluruh dunia.
8 Maret 2014 - 05.30 waktu Beijing.
Mei Ling terbangun dari tidurnya, bukan karena alarm yang dia pasang namun karena ada panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Dia angkat panggilan itu, panggilan yang lima menit kemudian meruntuhkan dunianya. Mei Ling tidak percaya dengan apa yang disampaikan oleh seseorang di seberang sana, tidak mungkin pesawat yang ditumpangi oleh suaminya menghilang. Ini pasti mimpi. Mei Ling mencoba menghubungi Jian Li, namun nomornya tidak aktif. Dia coba berulang kali, tetap tidak aktif. Mei Ling mulai panik dan cemas.
Pukul 06.00 waktu Beijing
Sebuah hotel yang tidak jauh dari Bandar Udara Internasional Ibu Kota Beijing dijadikan tempat pertemuan langsung antara keluarga korban pesawat MH370 dengan pejabat Malaysia Airlines. Pihak Malaysia Airlines menyampaikan secara langsung berita itu, meminta maaf kepada seluruh keluarga korban, dan berjanji akan terus mencari pesawat MH370 sampai ketemu. Namun setulus apapun kata maaf yang disampaikan, semeyakinkan apapun janji yang diungkapan tetap tidak bisa meredakan tangis ratusan keluarga korban pagi itu. Mei Ling bahkan sudah jatuh terduduk, menangis sambil memegang perut besarnya yang kini terasa sakit.
Hari-hari selanjutnya, tidak ada yang Mei Ling lakukan selain menangis, mencoba menghubungi Jian Li yang nomornya tetap tidak aktif, atau menonton berita menanti kabar ditemukannya pesawat MH370 yang bahkan bertahun-tahun berikutnya tetap tidak pernah ditemukan.
8 Maret 2015 - 01.00 waktu Beijing
Satu tahun telah berlalu, tapi kamar tidur mereka masih sama persis seperti saat Jian Li pergi. Jaketnya masih tergantung di belakang pintu, seolah-olah pemiliknya hanya pergi sebentar untuk membeli kopi. Mei Ling duduk di tepi tempat tidur, tangannya mengelus perutnya yang kini sudah rata. Sebuah album foto terbuka di pangkuannya. Di halaman terakhir, ada foto pertama bayi mereka. "Dia cantik, kan, Li? Aku menamainya Xin Yue." bisiknya pada foto suaminya. Dua bulir air mata melintas di pipinya.
Ketika fajar menyingsing, Mei Ling sudah berdiri di Terminal 3 Bandara Beijing. Dengan setia dia menunggu di balik pagar pembatas, matanya tak lepas dari setiap penumpang yang keluar dari pintu kedatangan internasional. "Suatu hari Ayahmu akan pulang," bisiknya pada Xin Yue dalam gendongannya. "Dia hanya tertunda."
Itu adalah tahun pertama Mei Ling memulai ritual kesedihannya sambil berharap bahwa Jian Li akan pulang. Tahun kedua, 8 Maret 2016, pukul 06.00 Mei Ling sudah kembali berdiri di balik pagar pembatas, melihat setiap penumpang yang keluar dari pintu kedatangan internasional, namun seseorang yang dia rindukan tetap tidak datang. Dia menahan tangis yang menyesakkan dada sambil memeluk erat tubuh Xin Yue yang semakin besar. Tahun ketiga, keempat, sampai tahun kesepuluh, hanya air matanya jatuh tanpa suara sementara seseorang yang dia harapkan kepulangannya tetap tidak ada kabarnya. Xin Yue yang sudah berusia sepuluh tahun menggenggam erat tangan ibunya, memahami bahwa ini adalah ritual kesedihan yang tak bisa ibunya tinggalkan.
8 Maret 2025 - 06.30 waktu Beijing
Seperti biasa, Mei Ling masih berdiri di sana. Kerumunan penumpang sudah berlalu, pintu kedatangan kembali sepi. Yang tersisa hanya dia dan kesedihannya. Xin Yue memegang lengan ibunya, "Mama, ayo pulang."
Mei Ling mengangguk lemah, tapi matanya masih menatap pintu kedatangan yang kosong. Dia tahu Jian Li takkan pernah berjalan melewati pintu itu. Tapi selama dia masih bisa berdiri, dia akan terus menunggu. Karena dengan menunggu, berarti dia belum benar-benar kehilangan.
Dia meninggalkan bandara seperti biasa - dengan hati yang hancur untuk kesebelas kalinya, namun dengan secercah harapan yang tak pernah benar-benar padam untuk tahun depan.