Pengkhianatan dan kematian kini berdiri di hadapan Luna. Ia menatap suaminya-pria yang begitu ia cintai-dengan mata penuh benci.
'Aku bersumpah... jika ada kesempatan kedua, aku akan membencimu dan melepaskan diriku darimu, Adrian,' bisiknya lirih. Pandangannya tak lepas dari Adrian yang tengah sibuk menolong sahabatnya, seolah melupakan keberadaan Luna.
Kesadarannya perlahan memudar. Rasa sakit kian menekan, membuat tubuhnya tak berdaya. Dengan sisa tenaga, Luna menatap langit malam yang tak berbintang, sebelum akhirnya menutup mata... untuk selamanya.
Gelap. Hanya itu yang ia rasakan. Namun, di tengah kegelapan, waktu seakan diputar mundur. Kenangan-kenangan menari di hadapannya-hari pernikahan, tawa sederhana, genggaman tangan yang pernah hangat. Semuanya kembali seperti film yang diputar terbalik.
Dan saat Luna membuka mata lagi, bukan kematian yang menyambutnya... melainkan sebuah awal baru. Tepat beberapa bulan setelah pernikahannya dengan Adrian.
Namun kali ini, hatinya tidak sama. Senyum yang dulu begitu mudah ia berikan sirna sudah, berganti tatapan dingin. Sebab ia tahu, cinta yang pernah ia jaga... telah mati bersama dirinya yang lama."
*
*
*
Hah! Luna terengah, matanya membelalak ketika melihat sekeliling. Ia berada di kamarnya.
"Aku... kenapa? Aku di kamar? Harusnya aku masuk surga," gumam Luna, bingung.
Pintu kamar terbuka. Luna menoleh dan nyaris tak percaya saat melihat sosok yang sudah lama tak ia jumpai. Bi Saras, pembantu yang dulu ia pecat karena kesalahan yang tak pernah dibuatnya.
"Loh! Bibi? Bibi masih di sini? Bukannya bibi sudah aku... pecat," lirih Luna.
Bi Saras terkekeh kecil. "Pecat? Nyonya, apa jatuh ke kolam membuat anda hilang ingatan?"
Luna terdiam. Pikirannya berusaha mencerna apa yang sedang terjadi. Dengan tangan gemetar, ia meraih ponsel di meja. Dan betapa terkejutnya ia ketika mendapati tanggal, bulan, dan tahun-masa di mana ia baru menikah dengan Adrian, tiga bulan yang lalu.
"Aku... aku kembali ke masa di mana aku baru menikah," pekiknya dalam hati. Senyum tipis terukir di wajahnya. Kali ini, ia bertekad akan lebih mencintai dirinya sendiri daripada siapa pun.
"Bibi!" seru Luna spontan. Ia berlari kecil dan langsung memeluk Bi Saras erat-erat, membuat wanita paruh baya itu terkejut.
"Nyonya?"
"Bi, mulai sekarang, apa pun yang terjadi, Bibi harus ikut aku." Suaranya tegas namun lembut. Walau tak mengerti, Bi Saras hanya mengangguk pelan.
Seperti baru mengingat sesuatu, Luna menatap Bi Saras. "Bi, kemana dia?"
"Siapa?"
"Adrian."
"Oh, Tuan Adrian? Belum pulang, Nyonya," jawab Bi Saras.
Luna mengangguk, lalu memilih duduk di sofa. Malam itu ia menyantap makan malam yang disajikan Bi Saras.
"Selamat makan, Nyonya. Makan yang banyak, ya. Akhir-akhir ini lambung anda sering bermasalah karena terlalu sering menunggu Tuan. Jangan menyiksa diri," ucap Bi Saras lirih.
Luna tertegun. Kata-kata itu... sama persis dengan yang diucapkan Bi Saras lima tahun yang lalu. Bibirnya melengkung, senyum tipis mengembang. "Iya, Bi. Terima kasih."
Keesokan paginya, Luna bangun dengan perasaan ringan. Sudah lama ia tak merasakan tidur malam yang tenang. Biasanya ia selalu terjaga, menunggu Adrian pulang hingga dini hari-dan selalu berakhir dengan kecewa.
Kali ini berbeda. Ia sudah segar dan cantik dalam balutan dress hitam bermotif bunga. Selama ini ia selalu mengenakan putih, warna kesukaan Adrian. Warna yang juga disukai Feli-sahabatnya.
"Selamat pagi, Bi," sapa Luna ceria.
"Selamat pagi, Nyonya," jawab Bi Saras.
"Bi, bisakah jangan memanggilku Nyonya? Panggil saja... Luna."
"Tapi-"
"Bi," potong Luna sambil menatapnya penuh permohonan.
Bi Saras akhirnya mengangguk. "Baiklah, Luna."
Luna tersenyum puas, lalu menikmati sarapannya-kopi hitam dan roti bakar selai cokelat, favoritnya sendiri.
Tak lama, suara deru mesin mobil terdengar. Adrian pulang. Namun Luna tetap fokus pada sarapannya, tak sedikit pun menoleh.
Adrian masuk dengan wajah kusut, masih mengenakan baju kerja kemarin. Tatapannya jatuh pada Luna.
"Ada apa dengan dia? Cari perhatian lagi?" gumamnya kesal.
Namun hingga ia berdiri di ujung tangga, Luna tetap sibuk dengan ponsel dan sarapannya, sama sekali tak peduli. Adrian menghela napas, lalu memutuskan naik ke kamar untuk membersihkan diri.
Di bawah pancuran, air dingin mengalir, sedikit meredakan pikirannya. Namun bayangan satu wajah terus hadir di benaknya.
"Feli... seandainya kamu datang lebih awal, mungkin semua tak akan seperti ini," gumam Adrian lirih.
Selesai mandi dan berganti pakaian rapi, Adrian turun menuju meja makan. Namun Luna tak lagi di sana.
"Dimana Luna?" tanyanya.
"Nyonya ada di taman belakang, Tuan. Sedang melihat bunga," jawab Bi Saras sopan.
Adrian melangkah ke taman belakang. Dari kejauhan, ia melihat Luna duduk tenang di bangku, menyeruput kopi sambil menatap bunga-bunga yang bermekaran.
Biasanya, istrinya itu akan segera berdiri menyambutnya begitu mendengar langkah kakinya. Tapi kali ini, Luna hanya menoleh sekilas, lalu kembali memandangi bunga tanpa ekspresi.
“Luna,” panggil Adrian, berusaha terdengar tenang.
“Hm?” sahut Luna singkat, bahkan tanpa menoleh.
“Kamu sudah sarapan?” tanyanya lagi, mencoba membuka obrolan.
Luna meletakkan cangkir kopinya, lalu menatap Adrian datar. “Sudah. Aku tidak menunggumu.”
Nada dingin itu membuat Adrian terdiam. Biasanya, Luna akan tersenyum dan memaksa menemaninya makan meski perutnya sendiri kosong. Kali ini, tidak.
“Apa kamu marah sama aku?” tanya Adrian ragu.
Luna tersenyum tipis, tapi bukan senyum hangat yang dulu selalu ia berikan. Senyum itu dingin, seolah ada dinding tak kasat mata di antara mereka. “Untuk apa aku marah? Bukankah kamu selalu punya alasan untuk pulang larut… bahkan tak pulang sama sekali?”
Adrian tercekat. Ada sesuatu yang berbeda dari Luna hari ini, sesuatu yang tak bisa ia pahami.
Luna bangkit, merapikan gaun hitam bermotif bunga yang ia kenakan, lalu menepuk bahu Adrian sekilas. “Aku sudah tidak punya waktu untuk menunggumu. Mulai sekarang, aku akan menikmati hidupku… tanpa harus bergantung padamu.”
Setelah itu, ia melangkah pergi meninggalkan Adrian yang masih terpaku di taman.
*
*
*
Beberapa hari berlalu, sikap Luna tetap sama. Tidak ada lagi kehangatan dan kelembutan yang biasa ia tunjukkan. Ia menjaga jarak, dingin, seolah-olah Adrian hanyalah orang asing yang kebetulan tinggal serumah dengannya.
Hingga suatu hari, Luna memutuskan pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli dress. Tak disangka, dari kejauhan, ia melihat Adrian bersama Feli di sebuah kafe. Kafe yang dulu menjadi favoritnya.
Kenangan lama berkelebat—di tempat itulah ia pertama kali mengenal Feli, lalu menjadikannya sahabat. Tapi kini, Luna sadar bahwa semua itu hanyalah siasat. Feli mendekat bukan untuk bersahabat, melainkan untuk merebut sesuatu yang seharusnya miliknya.
Dulu ia terlalu polos untuk menyadarinya. Sekarang tidak lagi.
Luna menarik napas dalam, lalu mengalihkan langkah. Ia tidak akan mendekati kafe itu.
“Aku tidak peduli. Yang penting, aku bisa menikmati hidup,” gumamnya lirih.
Dengan senyum tipis, ia melangkah masuk ke sebuah butik sepatu dan tas, meninggalkan bayangan masa lalu yang tak lagi pantas ia genggam.
#Cerpen #Kesempatankedua #pengkhianatan