Mentari pagi bersinar memancarkan cahayanya yang indah aku melihat samar samar bayangan pohon dan dedaunan lewat celah jendela, burung berkicau aku bangun dari tidurku cuci muka lalu aku berdoa selesai berdoa aku berdiri, membuka jendela dan melihat keluar dengan senyum yang indah, aku menatapnya sangat lama sembari merenung dan mengingat kembali kenangan indah dahulu sewaktu berada di seminari tinggi.
mataku terkejut ketika melihat jam sudah menunjukkan pukul 07.50 aku bergegas mandi dan siap-siap untuk ke kampus karena hari ini adalah hari pertama aku bekerja sebagai dosen.
Pukul 08.30 aku masuk di satu ruangan kelas semester 7 untuk mengajar mata kuliah Teologi
"Selamat pagi"
sapaku sambil berjalan masuk.
"Selamat pagi Pak"
jawab mereka dengan kompak.
Aku duduk sambil menyiapkan peralatan kuliah ku, karena aku dosen baru jadi sebelum memulai perkuliahan aku memperkenalkan diri
"Selamat pagi teman-teman"
sapaku sekali lagi, lalu aku mulai memperkenalkan diri
"sebelum saya mulai kuliah, saya memperkenalkan diri dulu ya teman-teman, atau ada yang sudah kenal saya?"
Basa-basiku kemereka.
"Belum pak"
jawab mereka.
"Nama saya Alexander Rifandus Kurniawan, biasa disapa Romo Rifan, saya seorang rohaniawan dan sekaligus dosen mata kuliah Teologinya kalian".
"Tok..tok..tok"
tiba-tiba terdengar suara ketokan pintu dari luar
"masuk"
polosku menjawab.
Mataku tertuju pada pintu, masuklah seorang mahasiswi yang sangat cantik aku seakan membisu saat melihatnya, mataku seakan-akan ingin keluar, namanya adalah Elisah aku mengenalnya karena dia adalah sahabat ku saat aku lifein.
Aku sejenak terdiam dan tidak disadari pikiranku kembali ke masalalu, masa dimana perhatian, cinta yang tulus dari aku ke Elisah sewaktu aku masih calon imam, dan Elisah masih OMK di paroki tempat lifein ku, kami berdua selalu bersama, sehingga perasaan yang tumbuh dalam perjalanan kami semakin kuat.
dalam pikiranku hanya dia seorang, hari-hari kami berjalan semakin baik.
Tawa, candaan, sedih dan senang kami menjalani bersama selama satu tahun.
Sehingga suatu hari, yaitu tepat satu Minggu sebelum aku kembali ke seminari tinggi aku memintanya untuk menemui aku. Kami duduk dibawah pohon Cemara disamping gereja, di situ saya mulai berbicara serius dengannya,
"Ell sebenarnya aku mengajak kamu mengobrol disini karena ada yang mau aku sampaikan kepadamu"
ucapku dengan nada sedikit sedih, "ada apa?" Tanyanya.
"Saya akan kembali ke seminari tinggi Minggu depan dan mungkin saya tidak akan kembali ke tempat ini lagi"
jelasku
"terus"
jawab Elisah dengan nada sedih, aku tau dia sedih mendengar itu aku melihat matanya ingin menangis namun ia berusaha untuk menahan air matanya itu, namun ia tidak kuat lagi untuk membendungi air matanya itu, ia menangis, lalu aku merangkulnya dan air mataku juga ikut keluar
"jangan sedih Lis"
hiburku, namun dia tidak menghiraukan ucapanku dia terus menangis
"sebenarnya bukan itu yang penting yang ingin aku sampaikan Lis"
sambung ku, aku juga tidak kuat untuk mengatakannya lagi, Elisah hanya mendengarkan aku sambil menangis
"kalau boleh jujur Lis sebenarnya aku mencintai kamu bukan hanya sebagai sahabat tetapi lebih dari itu"
ucapku, aku legah karena perasaan yang terpendam ku selama ini akhirnya aku bisa ucapkan langsung kepada Elisah, entah apa saja yang Elisah jawab aku terima.
Elisah menatapku, lalu ia memelukku dengan erat sembari menangis
"aku juga mencintaimu lebih dari sekedar sahabat Fan"
jawab Elisah sambil menangis dipelukanku, dia menatapku
"Lalu bagaimana sekarang? Bukankah kamu ingin kembali ke seminari Fan?"
Tanya Elisah sedih, aku diam sejenak memikirkan jalan mana yang seharusnya aku pilih,sempat aku bimbang dengan panggilan ku
"bagaimana menurutmu Lis? Apakah aku bersamamu atau aku bersama Tuhan"
tanyaku pada Elisah, aku tau kalau itu adalah pertanyaan yang susah buat Elisah jawab.
"Rifan kalau aku boleh memilih, aku lebih pilih kamu selalu ada disampingku sebagai pendampingku, tetapi aku iklaskan jika kamu terpilih untuk melayani Tuhan, karena cinta Tuhan lebih besar dari cintaku fan"
ungkapan elisah dengan nada yang sedih
"hanya saja aku harap kamu teguh dalam panggilanmu fan".
Aku tau kalau dalam hati elisah masih tidak merelakan namun dia berusaha untuk melepaskan, aku juga sedih melihat kisah kami tapi dalam hati aku berjanji ketika panggilan ku nantinya gagal aku akan kembali untuk melamar elisah, sekitar 3 jam kami duduk dibawah pohon saat diskusi itu dan elisah pun pamit pulang.
malam harinya saya masih memikirkan elisah, sampai aku tidak bisa tidur sekitar jam 12 malam aku datang ke gereja, berlutut didepan salib Kristus dan depan sakramen maha Kudus aku berdoa
"Tuhan Yesus Engkau adalah maha tau, engkau tahu segala sesuatu tentang aku susah maupun senang dalam hati
engkau pun tau, kini aku datang dengan hati yang penuh dengan keraguan, karena aku merasa terpanggil untuk menjadi pelayanmu namun aku juga merasa cinta dengan seseorang perempuan yang engkau utus untuk menemaniku dalam perjalananku selama ini,
aku memohon pertolonganmu untuk masalahku saat ini, Tuhan aku ini bimbingan dengan pilihan aku, aku mohon kuatkanlah dan tegukanlah hatiku agar aku bisa memilih yang sesuai dengan rencanamu,
Dan berikanlah aku hikmat dan kebijaksanaan untuk membuat keputusan yang tepat.
Jika Engkau memang menghendaki aku menjadi pelayanmu, maka berikanlah aku kekuatan untuk meninggalkan segala keinginan duniawi dan mengikuti panggilan-Mu.
Jika Engkau menghendaki aku untuk berjalan bersama wanita yang engkau pilih , berikanlah aku keberanian untuk menjalani hidup bersama dan membangun keluarga yang sesuai dengan kehendak-Mu.
Aku percaya bahwa Engkau memiliki rencana yang indah untuk hidupku, dan aku menyerahkan diri kepada kehendak-Mu. Amin."
. Setelah berdoa saya pulang, Singkat cerita satu Minggu kemudian tepat ketika hari perpisahanku dari paroki itu, semua orang datang untuk acara perpisahan itu disitu mereka memeluku baik yang bapak-bapak, ibu-ibu dan teman-teman OMK, mereka memeluku sambil menangis, dan tidak lupa juga mereka memberikan pesan dan kesan yang sangat mendalam terhadapku, namun berbeda dengan Elisah dia memberikan sebuah kado, dan kata yang dia ucapkan hanya
"selamat berpisah Fan, semoga setia dalam panggilan"
sebenarnya kata-kata itu biasa namun karena Elisah yang ucapkan aku merasa artinya sangat mendalam
"pak"..
aku langsung kaget mendengar sapaan, itu karena aku masih melamun mengingat masalaluku
" maaf ya...aku tidak fokus." " Maaf pak saya terlambat"
sambung elisah
"silahkan duduk"
jawabku sambil memalingkan wajah singkat cerita kami melanjutkan perkuliahan kami sampai selesai,...
Pukul 12.30 saya pulang ke rumah tapi hatiku masih tidak tenang, aku masih memikirkan elisah, aku pun sempat binggung dengan diriku sendiri padahal aku bisa melewati waktu selama 5 tahun tanpa elisah, aku pikir aku sudah melupakannya, aku pikir perasaanku padanya sudah hilang, tapi kenapa baru sekali ketemu dia, aku seakan-akan bertemu lagi dengan hal yang hilang dalam diriku.aku berpikir lama.
Hari-hariku setelah itu masih berjalan biasa namun aku masih memikirkan elisah, aku, sampai malam hari sebelum elisah wisuda aku mikir dengan matang sembari bertanya pada diriku sendiri.
"bukankah aku sudah melupakannya? Bukankah perasaanku padanya sudah hilang? Tapi mengapa aku susah untuk melupakannya, mengapa?"
Aku menangis sesaat, pikiranku pun kacau antara aku melanjutkan tugasku sebagai pelayan Tuhan atau aku harus balik dan memperbaiki cinta.
Setelah berpikir lama aku masuk kamar berlutut dan berdoa.
*Ya Allah Bapa Tritunggal maha Kudus Bapa putra dan Roh Kudus, Bapa yang penuh kasih,
Engkau yang mengenal hati dan isi jiwaku lebih daripada diri pada diriku sendiri.
pada malam hari ini
Aku kembali datang dengan kepadaMu dengan kerendahan hati, membawa perasaan yang masih hidup dalam diriku, yaitu
cinta kepada seorang perempuan yang Engkau hadirkan dalam perjalananku.
Tuhan, aku bersyukur atas anugerah cinta, yang engkau berikan
karena melalui perasaan ini aku belajar bahwa aku adalah manusia
yang mampu mncintai dan dicintai.
Namun aku juga sadar, bahwa Engkau telah memanggilku dan mengutusku untuk melayani umatMu dengan hati yang bebas, dan untuk menyerahkan seluruh hidupku bagi-Mu dan bagi Gereja-Mu.
Tuhan Yesus, aku mohon terang Roh Kudus,
agar cinta ini tidak menjadi beban, melainkan persembahan yang murni bagi-Mu.
Ajarilah aku mencintai dalam doa, dalam pengorbanan,
dengan cara yang tidak melukai, tidak mengikat, tetapi membebaskan.
Jika memang Engkau berkenan,
semoga perempuan yang aku cintai selalu Kau lindungi,
Kau sertai dalam hidupnya, dan Kau penuhi dengan berkat-Mu.
Biarlah ia bahagia dalam jalan yang Kau pilihkan baginya.
Tuhan, kuatkanlah aku dalam panggilan ini,
agar cintaku semakin murni,
ditransformasikan menjadi kasih yang lebih besar,
kasih yang memeluk semua orang yang Kau percayakan kepadaku.
Bunda Maria, Bunda Gereja,
dampingilah aku dalam pergulatan hati ini.
Ajarlah aku setia seperti engkau setia,
agar dalam kelemahan aku selalu menemukan kekuatan dalam kasih Putramu.
Ya Bapa, hanya pada-Mu aku menyerahkan cinta ini.
Terjadilah padaku seturut kehendak-Mu*.
Usai berdoa aku membuka handphoneku aku melihat notifikasi dari elisah
" Selamat malam Romo Rifan, maaf menganggu waktunya, besok kan saya wisuda untuk itu saya mengundang Romo untuk ikut peserta bersama "
Itu adalah isi chat dari elisah, lalu dengan singkat aku menjawab
" Oke, aku pasti datang"
Setelah membaca chat itu aku langsung memikirkannya, sampai sampai aku tidak bisa tidur hanya karena memikirkan wisudanya elisah, aku bahkan mencoba baju yang keren untuk ikut peserta wisuda Elisah, aku menatap foto elisah sambil merem tak terasa waktu sudah menujukan pukul 04.00 aku langsung bangun siap siap untuk pergi doa pagi.
Pagi itu udara terasa berbeda. Setelah doa pagi, aku menyiapkan diri dengan hati yang campur aduk. Aku memilih kemeja putih sederhana dan jas hitam, tak terlalu mencolok namun tetap rapi. Dalam hati aku berbisik:
"Tuhan, kuatkan aku. Jangan biarkan hatiku goyah. Aku datang bukan hanya sebagai seorang lelaki, tapi sebagai rohaniawan yang Kau utus untuk tetap setia."
Sesampainya di aula universitas tempat wisuda dilaksanakan, suasana sudah ramai. Mahasiswa dan keluarga mereka sibuk berfoto, bercanda, dan saling memberi selamat. Aku melangkah perlahan masuk, mencoba menenangkan diriku.
Hingga akhirnya mataku menemukan sosok itu. Elisah.
Ia mengenakan toga hitam dengan selempang biru, wajahnya bercahaya, senyumnya lembut, indah, dan tetap sama seperti dulu. Senyum yang pernah membuat hatiku bergetar di bawah pohon cemara bertahun-tahun lalu.
“Romo Rifan!”
panggilnya sambil melambaikan tangan.
Aku menghela napas, berusaha menyembunyikan debaran hatiku, lalu berjalan menghampirinya.
“Selamat wisuda, Lis,”
ucapku sambil tersenyum.
“Terima kasih, Romo. Saya senang sekali Romo bisa datang,” jawabnya dengan sorot mata yang sulit aku mengartikan.
Kami berbincang sebentar, lalu keluarganya menghampiri. Aku pun ikut menyapa mereka dengan ramah. Semua berjalan wajar, sampai tiba saat sesi foto bersama. Elisah menarik tanganku, “Romo, ayo ikut foto sama saya.”
Aku berdiri di sampingnya, tersenyum ke arah kamera. Tapi dalam hatiku, perasaan yang lama terkubur kembali muncul begitu kuat. Saat kamera mengabadikan momen itu, aku merasa seperti sedang memotret sebuah kenangan yang kelak akan menghantui hatiku lagi.
Setelah acara selesai, Elisah menghampiriku kembali.
“Fan… eh, maksud saya Romo,”
ucapnya gugup. Aku terdiam, menatap matanya, dan seolah waktu berhenti sesaat.
“Lis… tidak apa-apa. Panggil saja apa yang membuatmu nyaman,” jawabku lirih.
Ia menunduk, menggenggam undangan kecil.
“Sebenarnya… setelah acara ini, saya mau syukuran kecil di rumah. Saya harap Romo juga bisa datang.”
Aku menatap undangan itu lama. Dalam hatiku terjadi peperangan sengit. Antara menjaga jarak demi panggilanku, atau hadir sebagai sahabat lama yang ingin ikut berbahagia.
Akhirnya aku berkata,
“Baik, Lis. Saya akan datang sebentar.”
Senyumnya merekah. Senyum yang membuatku sekaligus bahagia dan takut.
Malam harinya di rumah Elisah, suasana syukuran sederhana itu hangat. Keluarganya menyambut ramah, teman-temannya ikut bercanda. Namun ada satu momen yang sulit kulupakan. Saat semua orang sibuk, Elisah mengajakku ke teras rumah.
“Fan… aku bahagia hari ini. Tapi ada yang masih tersisa di hati,” ucapnya dengan suara pelan.
Aku menatapnya dengan penuh tanya.
Ia melanjutkan,
“Aku tidak pernah benar-benar melupakanmu, Fan. Dan ketika aku tahu kau waktu itu jadi dosen di kampusku… aku tidak tahu harus merasa bahagia atau takut. Karena perasaan itu kembali lagi.”
Aku tercekat. Jantungku berdegup kencang. Kata-kata itu menusuk hatiku, seolah membuka kembali luka lama yang sengaja kututup rapat.
Aku menunduk, menarik napas panjang.
“Lis… jangan bicara begitu. Aku ini rohaniawan. Panggilanku sudah jelas. Aku harus setia.”
Air mata menetes di pipinya.
“Aku tahu, Fan. Tapi perasaan ini nyata. Sama seperti dulu, di bawah pohon cemara itu.”
Aku pun ikut berlinang air mata.
“Aku juga masih merasakan itu, Lis. Tapi… justru karena aku masih merasakannya, aku harus berdoa lebih keras lagi agar Tuhan yang menguasai hatiku, bukan perasaanku sendiri.”
Kami terdiam lama. Hanya suara jangkrik yang menemani. Sampai akhirnya aku menengadah ke langit malam, berbisik dalam hati:
"Tuhan, aku tidak kuat kalau harus sendiri. Tapi jika Engkau menghendaki aku setia, maka kuatkanlah aku. Jangan biarkan aku jatuh, jangan biarkan cintaku menjeratku. Jadikanlah cinta ini persembahan, bukan penghalang."
Di sisi lain, Elisah menatapku dengan mata yang penuh luka namun juga kekaguman.
“Fan, apa pun yang kau pilih… aku akan selalu mendoakanmu.”
Setelah sekian lama aku menatap elisah aku tidak kuat lagi menahan diri untuk mencium elisah
" Lis... ijinkan aku menciummu untuk yang pertama dan mungkin yang terakhir kalinya"
Elisah langsung terdiam,
Aku langsung mencium elisah dengan penuh cinta dan memeluknya erat-erat.
Malam itu aku pulang dengan hati yang semakin kacau. Aku sadar, perasaan ini tidak akan mudah padam. Dan aku harus menentukan jalan: setia pada panggilan, atau mengikuti cinta yang masih membara.
Aku kembali ke kamarku, berlutut di hadapan salib Kristus. Dengan suara yang bergetar aku berdoa:
"Tuhan aku minta maaf karena hari ini aku telah berbuat yang salah smpuni aku Tuhan...
Tuhan… sampai kapan Engkau menguji hatiku? Apakah aku harus terus membawa salib ini, ataukah Engkau ingin aku mengambil jalan lain? Berilah aku tanda, ya Tuhan. Aku tidak mau menipu-Mu, dan aku tidak mau menipu hatiku sendiri."
Air mata jatuh deras malam itu. Aku tahu, hidupku tidak akan sama lagi setelah bertemu Elisah kembali.