Kabut tipis masih bergelayut di puncak Gunung Solvara. Baru saja cahaya portal terakhir meredup, menutup rapat jalan pulang untuk ketiga teman mereka. Kini hanya ada Alya dan Danu, berdiri di bibir tebing yang dikelilingi lautan awan.
Langit sore di dunia itu begitu asing—separuh berwarna ungu pekat, separuh lagi dilukis jingga cair, seperti dua dimensi yang enggan menyatu. Angin pegunungan menusuk tulang, membawa aroma belerang samar bercampur harum dedaunan basah.
Alya merapatkan jaket tipisnya, menatap kosong ke arah langit yang baru saja menelan sahabat-sahabatnya kembali ke dunia asal. Ada lega, tapi juga semacam sunyi yang menggantung.
“Jadi… kita benar-benar tinggal berdua di sini,” Danu akhirnya bersuara, suaranya terdengar lebih pelan dari biasanya, tertiup angin. Ia duduk di atas batu besar, lalu menepuk-nepuk sisi kosong di sebelahnya. “Sini. Anginnya lumayan jahil kalau kau berdiri terlalu lama.”
Alya menurut, meski menunduk sedikit malu. Saat ia duduk, jarak mereka begitu dekat hingga embusan napas masing-masing bercampur di udara dingin.
Danu menoleh sebentar, lalu tersenyum tipis. “Alya… kalau aku jujur, mungkin aku nggak akan kuat naik sampai puncak Solvara ini kalau bukan karena kau.”
Ucapan itu meluncur seperti api kecil di tengah kabut—hangat, tak terduga. Alya hanya bisa menunduk, jemarinya meremas ujung jaket.
Dari kejauhan, sepasang mata mungil mengamati. Lumira, si sugar glider bercahaya, melayang ringan di udara tipis puncak Solvara. Setiap kepakan sayapnya menorehkan kilau samar yang sekejap muncul lalu larut ke dalam kabut senja. Ia terkikik kecil, lalu dengan iseng menebarkan hembusan angin sihir ke arah dua manusia itu.
Angin tiba-tiba berembus kencang, membuat Alya terlonjak dari duduknya, tubuhnya sedikit terangkat seolah siap terhempas.
“Alya!” seru Danu spontan. Ia meraih tangan gadis itu, genggamannya erat, lalu menarik dengan sigap. Tarikan itu terlalu kuat hingga Alya terjerembab langsung ke dalam pelukannya.
Sejenak dunia berhenti. Detik jam di dunia asal seakan tak berlaku; yang terdengar hanya degup jantung keduanya, berpacu melawan dinginnya angin gunung.
Perlahan, Alya memberanikan diri mendongakkan kepala. Degup jantungnya seperti berlari maraton, tapi rasa penasaran lebih kuat daripada rasa gugupnya. Di saat yang sama, Danu juga menunduk, matanya mencari-cari wajah Alya.
Dan tanpa sengaja, tatapan mereka saling mengunci.
Sejenak dunia berhenti. Detik jam di dunia asal seakan tak berlaku yang terdengar hanya degup jantung keduanya, berpacu melawan dinginnya angin gunung.
Alya menelan ludah, bibirnya nyaris bergerak untuk mengatakan sesuatu, tapi suaranya tertahan oleh jarak yang terlalu dekat. Danu juga tak segera melepaskan, seolah ia sendiri terjebak dalam tatapan itu.
Kabut tipis melintas di antara mereka, tapi tak cukup untuk mengaburkan momen yang terlanjur tercetak di ingatan.
Di balik kabut, Lumira melayang sambil menutup wajah mungilnya dengan sayap, menahan tawa puas.
Lalu, seolah gunung itu ikut berbisik, angin mereda. Kabut perlahan terbelah, membuka pemandangan luas yang menunggu di bawah sana—lereng Solvara yang menjuntai bagai samudra hijau, disepuh cahaya senja yang kian merunduk.
Alya dan Danu akhirnya melepaskan diri dari kebekuan momen barusan, saling bertukar tatapan singkat yang lebih banyak diam daripada kata. Keduanya lalu berdiri, menarik napas panjang, seakan sepakat tanpa suara: perjalanan masih harus diteruskan.
Langkah mereka mulai menuruni jalur bebatuan Solvara. Kabut makin menipis, berganti udara segar yang membawa aroma pepohonan lembab di bawah sana.
Alya berjalan sedikit di belakang, masih sibuk menata degup jantung yang belum sepenuhnya stabil. Sesekali ia melirik punggung Danu, siluetnya tegas diterpa cahaya senja yang menyelinap di sela awan.
“Kau selalu jalan terlalu cepat,” gumam Alya, setengah protes.
Danu menoleh dengan senyum miring. “Atau mungkin kau saja yang masih gemetar setelah hampir terbang tadi?”
Alya mendengus, pipinya kembali hangat. “Itu salah angin gunung, bukan salahku.”
Angin kembali berhembus, kali ini lebih lembut. Daun-daun kering beterbangan, menari di sekeliling mereka seperti hujan tipis cahaya. Alya spontan meraih lengannya agar tidak tergelincir di batu licin.
Danu berhenti sejenak, menatap tangan Alya yang bertengger di lengannya. Ia tak berkata apa-apa, hanya membiarkan gadis itu bertahan. Ada sesuatu yang tak lagi perlu dijelaskan.
Langkah mereka kembali beriringan. Suara gemericik aliran kecil di sisi jalur menambah kesan hening yang damai. Di kejauhan, Lumira melompat-lompat di dahan pohon, sesekali menebarkan kilau samar, seolah sengaja membuat suasana lebih magis.
Alya akhirnya berbisik, hampir tak terdengar. “Kalau nanti… kita berhasil pulang, apa kau masih akan bilang hal yang sama? Kalau aku alasanmu bisa sampai sejauh ini?”
Danu terdiam. Ia menoleh, menatap Alya sekali lagi. Senyumnya tipis, tapi matanya jujur.
“Ya. Dan mungkin aku akan bilang lebih dari itu.”
Alya menunduk, tapi bibirnya tersenyum kecil tanpa bisa dicegah.
Langkah mereka menuruni jalur Solvara akhirnya membawa ke sebuah dataran rendah yang diselimuti cahaya senja. Dari balik pepohonan, suara gemericik terdengar.
“Lumira,” panggil Alya lirih. “Tolong tunjukkan jalan ke sungai. Aku… butuh menyegarkan diri.”
Si sugar glider mungil itu berputar di udara, meninggalkan jejak cahaya samar lalu meluncur ke arah timur. Tak lama, suara deras air semakin jelas. Sungai itu bukan sembarang sungai—airnya berkilau dalam warna yang berubah-ubah, seakan pelangi dilarutkan ke dalam arusnya.
“Wow…” Alya menahan napas takjub.
Lumira melompat ke sebuah dahan, menjatuhkan sehelai lembaran lebar berpendar lembut—tanaman hutan Grivalea yang sejak dulu dipakai para penjelajah sebagai kain pengering.
“Handuk alami,” bisik Alya, senyum tipis di bibirnya.
Danu sengaja berjalan agak menjauh, memberi ruang. “Aku tunggu di sana. Jangan lama-lama, ya.” Suaranya datar, tapi jelas ada ketegangan yang ia sembunyikan.
Alya lalu menyelinap ke balik batu besar, tetap mengenakan kain Grivalea menutupi tubuhnya. Ia menunduk, membasuh wajah dan lengannya dengan air yang berpendar, merasakan sensasi sejuk yang hampir ajaib.
Namun tiba-tiba, riak air pecah. Dari sisi tebing sungai, sesosok makhluk asimetris muncul—berkulit licin, mata terlalu banyak, dan mulut bergigi tajam.
“AAAH!” teriak Alya spontan, tubuhnya refleks mundur ke batu.
Danu menoleh, wajahnya langsung berubah tegang. “Alya!” teriaknya. Tubuhnya melesat, menjejak bebatuan licin tanpa ragu. Saat ia melompat ke tepian sungai, udara di sekitarnya bergetar—seolah gunung itu sendiri menahan napas.
Dari telapak tangannya, cahaya biru keperakan menyala. Awalnya kecil, seperti bara yang mencari oksigen. Lalu dalam sekejap meledak—panas, pekat, dan hidup. Udara di sekitar mereka mendesis, aroma logam bercampur dengan wangi hujan yang baru jatuh.
Kilau itu mengalir seperti sungai kecil di udara, menyapu makhluk asimetris yang mendesis jijik. Jeritannya pecah, melengking tak wajar, seolah ribuan serangga dipaksa bernyanyi dalam satu nada. Tubuhnya bergetar lalu meledak menjadi pecahan bayangan, serpihan hitam yang langsung larut ke dalam arus sungai berwarna.
Sungai itu memantulkan cahaya Danu, membuat permukaannya berpendar seperti kaca cair. Kabut tipis di sekitarnya ikut terbakar cahaya, membentuk siluet lingkaran cahaya di belakang tubuh Danu. Sejenak ia tampak bukan sekadar manusia, melainkan penanda batas antara dua dunia.
Cahaya meredup perlahan. Napas Danu terengah. Ia menurunkan tangannya, lalu segera berbalik. “Kamu nggak apa-apa, Ly—” ucapnya spontan.
Namun kalimat itu tercekat di tenggorokannya.
Alya berdiri di balik bebatuan dengan nafas memburu, matanya masih terbelalak. Tubuhnya masih terbalut handuk bercahaya dari serat tanaman Grivalea. Butiran air jatuh dari rambutnya, menyusuri bahu pucatnya hingga memantul bagai kristal di cahaya senja. Tatapannya masih panik, tapi ada rona lain yang tak bisa ia sembunyikan—antara syok, lega, dan salah tingkah.
“A-aku… aku baik-baik saja,” jawabnya terbata, buru-buru merapatkan kain bercahaya itu ke tubuhnya.
Tapi sebelum Danu bisa menenangkan, matanya tak sengaja menangkap Alya yang hanya terbalut kain Grivalea bercahaya. Sekejap dunia seperti berhenti lagi. Pipinya menegang, tatapannya reflek beralih ke arah lain.
“Ma-maaf! Aku nggak…” suaranya patah-patah, ia cepat-cepat membelakangi Alya, menutup wajah dengan tangan.
Di atas sana, Lumira duduk di dahan pohon, menutup wajah mungilnya dengan sayap sambil tertawa kecil. Ia tahu, justru momen seperti inilah yang mendekatkan dua hati itu tanpa mereka sadari.
---oOo---
(Halo, ini hanya cerita alternate yaa 🤭🤭, kalau memang penasaran silahkan mampir ke kisah utamanya "Apiya: Sol and Luna" ku tunggu..😊😊)