Pernahkah kamu mendengar sebuah cerita… tentang canvas?
Bukan sekadar kain putih yang dibentangkan di atas kayu, melainkan sesuatu yang hidup. Sesuatu yang mampu menyimpan rahasia, menyerap luka, dan menampung kenangan yang datang silih berganti.
Aku adalah canvas itu. Putih, polos, kosong. Tidak ada garis, tidak ada bentuk, tidak ada cerita. Aku hidup seperti lembaran kosong yang tidak punya arah. Aku berjalan dengan kakiku sendiri, tapi langkah-langkahku seakan tak punya tujuan. Tidak ada sahabat, tidak ada warna, tidak ada sentuhan apa pun yang membuatku berbeda dari hari ke hari.
Kosong. Itu kata yang paling tepat menggambarkan diriku.
Namun, hidup selalu punya cara untuk berubah. Kadang tanpa tanda. Kadang tanpa aba-aba. Dan pada suatu hari, sebuah goresan warna tiba-tiba menempel di permukaan canvas ini—di hidupku. Satu goresan kecil, yang ternyata mampu mengubah segalanya.
---
Aku masih ingat hari itu. Hari yang seakan biasa, tak ada yang istimewa. Langit cerah, jalanan penuh dengan rutinitas yang membosankan. Aku hanya berjalan, seperti biasa, menunduk, tak memperhatikan orang-orang di sekitarku. Dunia berjalan terlalu cepat, sementara aku merasa tertinggal jauh di belakang.
Lalu, tiba-tiba, aku bertemu dengannya. Seorang lelaki yang sama sekali tak pernah kuundang hadir dalam hidupku. Kehadirannya bukan sesuatu yang aku rencanakan, bukan pula sesuatu yang aku minta. Tapi entah bagaimana, ia hadir begitu saja—membawa warna yang asing, tapi indah.
Lelaki itu bukan siapa-siapa. Aku bahkan tidak tahu kenapa aku bisa begitu terikat padanya. Namun dari tatapan pertamanya, dari sapaan kecilnya yang sederhana, aku merasakan sesuatu yang baru. Sesuatu yang tidak pernah ada sebelumnya.
Seperti cat yang menetes di atas permukaan putih, ia meninggalkan bekas pada diriku. Bekas yang tidak bisa kuhapus, bahkan kalau aku mau sekalipun.
“Kenapa kau terlihat sendirian?” tanyanya suatu hari.
Aku tidak menjawab. Aku hanya diam, karena aku sendiri tidak tahu bagaimana harus menjelaskan.
Tapi dia tidak menyerah. Dia datang lagi, menyapaku lagi, sampai akhirnya aku sadar… kehadirannya adalah goresan warna pertama dalam canvas putihku.
---
Sejak hari itu, segalanya berubah. Hidupku yang tadinya monoton, mulai dipenuhi warna-warna yang tak pernah aku bayangkan.
Dia mengajakku pergi ke tempat-tempat baru. Ke taman kota, ke kedai kopi kecil di ujung jalan, ke pasar malam yang penuh lampu-lampu berwarna. Setiap langkah yang kuambil bersamanya, seakan menambah warna baru di atas canvas ini.
Tawa kami seperti cat kuning cerah yang menyebar ke segala arah. Obrolan panjang kami, kadang dalam kadang sepele, seperti biru tenang yang mengisi ruang kosong dalam diriku. Bahkan ketika kami bertengkar atau berbeda pendapat, goresan merah itu tetap membuat canvas ini terasa hidup.
Aku mulai belajar banyak hal darinya. Dia memperkenalkanku pada orang-orang yang tak pernah ku kenal sebelumnya. Dia membawaku masuk ke lingkaran sosial yang asing bagiku, membuatku merasa… mungkin aku pantas untuk dilihat, pantas untuk dikenali.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa tidak sendirian lagi. Aku merasa bahwa hidup ini, dengan segala belitannya, bisa menjadi sesuatu yang indah kalau kau punya seseorang yang mau menggambar bersamamu.
---
Hari-hari bersamanya berlalu begitu cepat. Aku bahkan tidak sadar berapa lama kami sudah bersama. Rasanya baru kemarin dia datang, memberikan warna pertama di canvas putihku. Tapi tahu-tahu, canvas itu sudah penuh dengan goresan, dengan percikan, dengan cerita.
Aku mulai takut. Takut bahwa warna-warna itu hanya sementara. Takut bahwa suatu hari, semua ini akan hilang.
“Kenapa kau sering melamun?” tanyanya sekali waktu.
Aku tersenyum kecil, mencoba menutupi ketakutanku. “Tak ada apa-apa.”
Padahal sebenarnya ada. Aku hanya tidak berani mengatakannya.
Aku tahu bahwa dunia ini singkat. Aku tahu bahwa setiap pertemuan pasti ada ujungnya. Tapi aku terlalu menikmati kebersamaan kami, terlalu larut dalam warnanya, hingga aku pura-pura lupa bahwa hujan pelangi selalu berhenti pada akhirnya.
Waktu berlari seperti petir. Satu kilatan yang indah, lalu lenyap ditelan gelap awan.
---
Perlahan-lahan, aku mulai merasakan perubahan.
Dia tidak lagi sering muncul. Pesan-pesan darinya semakin jarang. Pertemuan kami semakin berkurang. Awalnya aku mengira ini hanya sementara, hanya kebetulan. Tapi semakin lama, aku tahu… sesuatu mulai hilang.
Canvas yang tadinya penuh warna cerah, perlahan mulai memudar. Satu per satu warna itu hilang, luntur, lenyap, meninggalkan ruang kosong yang semakin melebar.
Aku mencoba bertahan. Aku mencoba mengingat semua yang pernah dia ajarkan. Aku mencoba tertawa meski sendirian. Tapi aku tahu, canvas ini tidak sama lagi tanpa dirinya.
Hingga akhirnya, dia benar-benar hilang.
Tidak ada kabar, tidak ada pesan, tidak ada pertemuan. Seolah ia menghapus dirinya sendiri dari hidupku.
Dan aku kembali putih. Kosong.
---
Kini aku tahu. Pada akhirnya, setiap warna akan memudar. Setiap cat akan luntur. Setiap goresan punya masanya sendiri.
Aku tidak menyangka kalau kau akan pergi begitu cepat. Aku tidak siap ketika kau menghilang tanpa pamit, tanpa alasan. Aku tidak tahu kenapa kau memilih membawa semua warna itu pergi bersamamu.
Tapi meski aku kembali kosong, meski aku kembali putih, aku tidak akan pernah lupa.
Karena kau pernah membuatku hidup.
Kau pernah menjadi alasan aku tersenyum.
Aku tidak menyukaimu seperti orang yang jatuh cinta. Tapi aku juga tidak akan pernah bisa membencimu. Kau adalah warna yang singkat, tapi berarti.
Terima kasih… untuk semua warna yang pernah kau berikan.
---
"hanya dengan ini aku bisa menceritakan mu, hanya dengan ini juga aku bisa bilang bahwa kamu adalah lelaki yang istimewa kala itu, jika kau melihat cerpen ini suatu hari, ku harap kau tau bahwa ini bukan sekedar cerpen, ini adalah cara ku memperkenalkan mu pada dunia, sama seperti dirimu yang mengenalkan ku pada semua orang hari itu."
📝by.6I4M0ND