Bab I: Kedatangan yang Keliru
Malam itu seharusnya sunyi. Hanya suara gemerisik daun-daun pinus yang dilecut angin dingin bulan November yang menjadi melodi kesendirianku. Aku mengemudikan mobil tuaku, 'Si Tua Berisik,' menyusuri jalanan sempit yang hampir tak terlihat di peta, menuju Desa Cemara Tunggal. Aku seorang penulis lepas yang mencari keheningan total untuk menyelesaikan draf akhir novel misteriku, dan seorang teman merekomendasikan sebuah pondok sewaan murah di sana.
Namun, yang kualami malam itu bukanlah keheningan.
Kabut, tebal dan putih pucat seperti kain kafan, mulai turun tak lama setelah aku berbelok dari jalan utama. Awalnya hanya samar, tapi dengan cepat ia memeluk seluruh hutan, menelan cahaya lampu mobilku, mengubah dunia menjadi kanvas monokrom yang mencekam. Jarak pandang turun drastis, membuatku harus merangkak pelan, berpegangan pada harapan samar bahwa jalanku benar.
“Ini aneh,” gumamku, menyeka embun dari kaca depan. Aku sudah sering berkemah, tapi kabut ini terasa berat, hampir berwujud. Seolah-olah bukan hanya air yang menguap, melainkan sesuatu yang bernapas dingin.
Setelah apa yang terasa seperti berjam-jam—padahal mungkin hanya dua puluh menit—aku melihatnya. Siluet. Bukan pondok yang kusewa, yang seharusnya kecil dan dari kayu, tapi sebuah rumah besar. Bangunan kolonial tua yang menjulang, dengan atap genteng hitam yang tajam dan jendela-jendela tinggi, kusam dan gelap seperti mata buta. Cat putihnya sudah mengelupas, menampilkan bercak-bercak cokelat dan abu-abu, seperti kulit yang berpenyakit.
Di depan gerbang besi berkaratnya, tergantung sebuah plakat kayu kecil. Aku memarkir mobil, menyipitkan mata untuk membaca tulisan yang nyaris hilang dimakan usia dan lumut.
“Wisma Senyap”
Bukan Cemara Tunggal. Alamat pondokku jelas bukan ini. Aku seharusnya mencari pondok nomor tujuh, bukan rumah angker abad ke-19 yang menjulang dari kabut seperti tugu peringatan kesedihan.
Aku meraih ponsel, siap menelepon agen sewa, tapi layar ponselku hanya menampilkan garis-garis silang pada indikator sinyal. Nihil.
Aku mendesah, lelah dan kesal. Aku perlu istirahat. Aku perlu tidur. Aku akan menginap di mobil dan mencoba mencari jalan saat matahari terbit.
Saat itulah aku melihatnya lagi.
Bukan di jendela, tapi di gerbang. Sesuatu bergerak dalam kegelapan di balik jeruji besi yang berkarat. Sebuah bayangan.
Mulanya kupikir itu adalah seekor anjing liar atau mungkin seekor rusa. Tapi bayangan itu tegak, dan tingginya melebihi rata-rata manusia. Ia hanya berdiri di sana, tak bergerak, terbungkus kabut. Aku tidak bisa melihat wajahnya, atau bahkan fitur apa pun, hanya siluet hitam pekat yang menyerap cahaya.
Jantungku mulai berdetak tak keruan. Rasa lelahku menguap, digantikan oleh adrenalin yang dingin dan pahit. Aku menyalakan lampu jauh, menyorotkannya tepat ke arah gerbang.
Bayangan itu tidak bergerak. Tapi setelah lampu mobil meneranginya selama beberapa detik, aku menyadari gerakan yang jauh lebih halus. Bukan gerakan fisik, melainkan sesuatu yang terjadi pada udara di sekitarnya. Kabut di dekatnya seolah menciut, ditarik masuk.
Aku menarik napas tajam dan cepat-cepat mematikan lampu jauh, kembali ke lampu kota yang redup. Ketika kulihat lagi, bayangan itu hilang.
Tapi gerbangnya, yang tadinya tertutup rapat dan terkunci oleh rantai tebal yang berkarat, kini terbuka sedikit. Cukup untuk dilewati seseorang.
Jangan. Suara naluriku menjerit. Putar balik. Pergi.
Namun, rasa lelah, dingin yang menusuk, dan—harus kuakui—rasa penasaran seorang penulis misteri, mengambil alih. Aku harus tahu apa itu. Lagipula, jika itu hanyalah orang iseng, aku bisa minta tumpangan.
Aku mematikan mesin, mengambil tas ransel kecil berisi laptop, senter, dan sebotol air, lalu melangkah keluar dari mobil. Udara dingin langsung memukul paru-paruku. Bau tanah basah, pinus, dan... sesuatu yang lain. Sesuatu yang manis dan busuk pada saat yang bersamaan, seperti bunga yang membusuk di kuburan.
Aku mendorong gerbang besi yang berat itu, dan ia berderit dengan suara yang memekakkan telinga, menembus keheningan malam. Langkah kakiku di kerikil terasa sangat keras, seperti palu yang memukul.
Bab II: Menyambut Kesunyian
Pintu depan Rumah di Ujung Kabut, terbuat dari kayu jati hitam tebal, memiliki pengetuk pintu berbentuk kepala singa yang sudah menghitam. Aku mengangkat tangan dan mengetuk.
Tok. Tok. Tok.
Suaranya tumpul, seperti memukul kayu mati. Tidak ada jawaban.
Aku mengetuk lagi, sedikit lebih keras.
Tok. Tok. TOK.
Keheningan yang mengikuti adalah keheningan yang sempurna, bukan hanya tidak ada suara, tapi seolah-olah suara itu telah disedot keluar dari dunia.
Aku mencoba kenop pintu. Ajaibnya, ia tidak terkunci.
Melawan setiap naluri survival yang kumiliki, aku mendorong pintu itu. Ia bergeser terbuka dengan erangan panjang, mengungkapkan sebuah lorong masuk yang gelap dan panjang. Bau apak yang bercampur dengan bau manis-busuk yang kucurigai di luar, kini lebih kuat, lebih dominan.
Aku menyalakan senterku. Cahaya kuning pucat memantul dari lantai marmer abu-abu yang kotor dan dinding berlapis kayu gelap. Di tengah aula, tergantung lampu gantung kristal besar yang diselimuti sarang laba-laba, seperti sebuah mahkota yang terlupakan.
“Permisi?” panggilku, suaraku terdengar kecil dan rapuh di ruangan yang begitu besar. “Apakah ada orang di rumah? Saya tersesat.”
Hanya gema yang menjawab, dingin dan mencibir.
Aku melangkah masuk. Begitu kakiku sepenuhnya melewati ambang pintu, sesuatu yang luar biasa terjadi. Aku mendengar klik yang lembut dan final. Aku berbalik, dan pintu itu tertutup dengan sendirinya.
Aku panik, mencoba menarik kenop, tapi pintu itu kini terkunci. Kenopnya bahkan tidak bergerak.
Tenang. Aku menarik napas dalam-dalam. Mungkin tertutup karena ditiup angin. Tapi tidak ada angin di dalam.
Aku menelan ludah. Sekarang aku terperangkap, setidaknya sampai pagi. Aku harus mencari tempat untuk bermalam, dan—yang lebih penting—mengetahui siapa pemilik rumah ini.
Aku mulai menjelajahi. Di sebelah kiri adalah ruang tamu formal. Sofa-sofa besar dengan kain beludru merah yang telah memudar, meja-meja kecil dengan kaki-kaki berukir, dan rak buku tinggi yang diisi buku-buku bersampul kulit yang tebal, semuanya tertutup lapisan debu yang tebal.
Saat senterku menyapu salah satu dinding, aku melihatnya. Sebuah lukisan besar.
Lukisan itu adalah potret seorang wanita muda. Ia cantik, dengan rambut hitam panjang yang bergelombang dan mata biru yang menusuk. Tapi ada yang aneh pada ekspresinya. Itu bukan senyum, tapi juga bukan cemberut. Itu adalah semacam kepasrahan yang menyakitkan. Dan di antara rambut-rambutnya, aku bisa melihat samar-samar, seperti pantulan cahaya dari rambutnya, sesuatu yang tampak seperti garis tipis kemerahan.
Aku memajukan senterku. Garis kemerahan itu bukan pantulan. Itu adalah bekas luka, sehalus benang, memanjang dari pelipisnya hingga ke garis rambut.
Saat aku menatap mata birunya yang seolah mengikutiku, aku mendengar suara.
Kriek.
Suara itu datang dari atas. Lantai dua.
Jantungku berdebar lagi. Bukan lagi detak ketakutan, melainkan detak yang dipercepat oleh antisipasi horor.
Aku memutuskan untuk naik.
Tangga kayu ek tua itu berderit di bawah setiap pijakan kakiku, suaranya memekakkan telinga. Setiap langkah adalah pengumuman keberadaanku.
Lantai dua adalah labirin koridor gelap. Udara di sini terasa jauh lebih dingin, seolah aku baru saja melangkah ke dalam freezer. Aroma manis-busuk itu juga semakin kuat.
Aku berjalan pelan, mengarahkan senter ke pintu-pintu kayu tertutup. Pintu pertama, kamar tidur. Kasur kanopi besar dengan tirai robek-robek. Pintu kedua, ruang kerja. Meja tulis antik dengan tumpukan kertas berserakan.
Pintu ketiga. Aku berhenti. Pintu ini berbeda. Tidak ada debu di kenop kuningan. Dan aroma manis-busuk itu paling kuat di sini.
Aku ragu sejenak. Jika ada seseorang di rumah ini, kemungkinan besar mereka ada di balik pintu ini.
Aku mengumpulkan keberanian, memegang kenop kuningan yang dingin. Aku memutarnya pelan.
Pintu itu terbuka tanpa suara.
Ini adalah kamar tidur, tapi bukan kamar tidur yang normal. Di tengah ruangan, diletakkan sebuah dipan besi tua. Di atasnya, tergeletak apa yang tampak seperti setumpuk kain kusam.
Namun, di samping dipan, terhampar karpet Persia tua. Dan di karpet itu, ada noda besar, hitam kecokelatan yang tampak basah di pinggirannya.
Aku mengarahkan senterku ke noda itu. Itu bukan lumpur. Aromanya, manis dan memuakkan, tiba-tiba menjadi sangat jelas. Darah.
Aku bergidik, mundur selangkah. Saat itulah senterku menyapu kain kusam di dipan.
Kain itu bukan kain.
Itu adalah seonggok pakaian wanita. Rok panjang beludru, blus renda, dan sepotong selendang. Semuanya kusam dan berlumuran noda kering yang sama dengan yang ada di karpet. Dan di tengah-tengah lipatan pakaian itu, tergeletak sebuah boneka porselen tua.
Boneka itu mengenakan gaun putih compang-camping, dan wajahnya dihiasi dengan senyum yang mengerikan, terukir dengan cat retak. Tapi yang membuatku benar-benar membeku adalah matanya. Matanya yang dicat biru terang sama persis dengan mata wanita di lukisan di bawah. Dan di pelipis porselennya, ada garis retakan tipis kemerahan, meniru bekas luka yang kulihat pada lukisan.
Aku merasakan hawa dingin yang tak tertahankan menusuk tulang, jauh lebih dalam dari suhu malam.
Krek.
Aku mendengar suara itu lagi. Lebih dekat. Lebih jelas. Suara yang berasal dari kayu tua yang menahan beban. Tapi kali ini, ia datang dari belakangku.
Aku berbalik dengan cepat, mengarahkan senter ke koridor yang gelap.
Koridor itu kosong.
Namun, di ujung lorong, di mana gelap benar-benar menyelimuti, aku melihat sesuatu. Sebuah pantulan.
Bukan pantulan cahaya senterku, karena ia terlalu rendah. Itu adalah pantulan dari dua titik kecil, berkilauan dalam kegelapan. Mereka hanya ada di sana selama sepersekian detik, lalu menghilang, seolah-olah ditelan oleh kegelapan yang lebih pekat.
Aku menutup pintu kamar itu dengan lembut, diam-diam, seolah aku sedang mencoba mengelabui predator yang sudah tahu aku ada di sana.
Aku memutuskan untuk kembali ke bawah, ke aula. Mungkin aku bisa menemukan jendela yang bisa kubuka untuk melarikan diri.
Aku melangkah cepat di koridor, berusaha agar langkahku tidak berderit. Aku sampai di puncak tangga.
Saat aku hendak turun, aku berhenti total.
Di tengah-tengah marmer gelap di aula bawah, di tempat yang tadinya kosong, kini ada sesuatu.
Itu adalah sandal tua, dari beludru yang usang, seperti sandal yang dipakai di rumah-rumah mewah di zaman dulu. Ia diletakkan dengan hati-hati, tumitnya menghadapku, di tengah-tengah aula, tepat di bawah lampu gantung kristal.
Aku yakin seratus persen, aula itu kosong ketika aku naik. Sandal itu tidak ada di sana.
Dan yang paling mengerikan adalah, di sebelah sandal itu, ada jejak. Jejak air atau kotoran, membentuk bentuk telapak kaki telanjang yang kecil dan ramping. Jejak itu tidak mengarah ke sandal, dan tidak mengarah ke pintu.
Jejak itu mengarah ke arahku.
Bab III: Menghilang dalam Cermin
Aku menuruni tangga dua anak tangga sekaligus, tak peduli dengan suara derit yang dihasilkannya. Aku mengabaikan sandal dan jejak kaki. Pintu depan adalah satu-satunya tujuanku.
Aku meraih kenop pintu, memutarnya dengan sekuat tenaga, mencabutnya, menendangnya. Terkunci. Seolah-olah kayu dan besi telah menyatu, menjadi satu entitas.
Aku berbalik, napas memburu. Aku harus mencari jendela.
Aku berlari ke ruang tamu. Jendela-jendela tinggi, tertutup tirai beludru tebal. Aku menarik tirai. Jendela itu memiliki jeruji besi tebal di bagian luar, yang dipasang ke dalam batu. Rumah ini adalah sebuah penjara yang tersamar.
Aku panik, mencari-cari jalan lain. Dapur. Aku berlari menuju dapur di belakang rumah. Ruangan besar dengan kompor kayu bakar tua dan meja kayu yang panjang. Di sana, setidaknya, ada jendela yang tampaknya tidak berjeruji.
Aku mencoba membukanya. Terkunci. Aku mencari sesuatu untuk memecahkannya. Sebuah penggilingan daging besi yang berat. Aku mengangkatnya, bersiap untuk menghancurkan kaca.
Tiba-tiba, aku mendengar suara nyanyian.
Nyanyian itu lembut, seperti senandung pengantar tidur seorang ibu, tapi nadanya meliuk, fals, dan terdengar seperti berasal dari tenggorokan yang tercekat.
“...Bulan menyinari, tidurlah sayang... Ibunda menanti, dengan belati di pinggang...”
Aku menjatuhkan penggilingan daging itu dengan bunyi 'klang' yang keras.
Nyanyian itu berasal dari lorong tepat di sebelah dapur. Sebuah lorong yang mengarah ke bagian belakang rumah, yang belum kujelajahi.
Aku tahu aku harus lari, tapi kakiku tertanam di lantai. Rasa takut yang murni, seperti hawa dingin yang menusuk, mengunciku.
Nyanyian itu semakin dekat.
Aku mundur, mencari tempat bersembunyi. Hanya ada satu tempat: lemari penyimpanan di sudut dapur, tempat menyimpan peralatan makan dan piring.
Aku membuka pintunya, melompat masuk, dan menutupnya. Ruangan itu gelap gulita, berbau debu, bumbu kering, dan porselen dingin.
Aku berjongkok, menggigil, mencoba menenangkan napasku yang memburu. Aku mendengar suara langkah kaki. Langkah kaki yang ringan, seperti yang seharusnya dimiliki oleh wanita atau anak kecil.
Langkah kaki itu memasuki dapur.
Nyanyian itu berhenti.
Keheningan yang mencekik. Aku bisa merasakan telingaku mendengung, menunggu sesuatu.
Kemudian, aku mendengar suara gesekan. Suara logam yang diseret melintasi lantai marmer dapur.
Krrrrkkk. Krrrrkkk.
Suara itu berhenti.
Aku mendengar napas. Napas yang berat, tersengal-sengal, seperti seseorang yang baru saja berlari sangat jauh. Dan suara itu berada tepat di luar lemari penyimpanan.
Aku menahan napas. Pikiranku berputar-putar. Siapa itu? Wanita di lukisan? Atau hantu yang menjadi sumber kengerian rumah ini?
Tiba-tiba, aku mendengar suara yang jauh lebih mengerikan daripada nyanyian.
Gumam.
Bukan kata-kata yang jelas, tapi semacam bisikan tercekik, penuh amarah dan kesedihan yang mengerikan. Bisikan itu terdengar seperti bergumam pada dirinya sendiri, atau pada sesuatu yang ia pegang.
Lalu, terdengar suara air. Seolah ada wadah yang berisi cairan yang diaduk-aduk.
Aku mengintip melalui celah kecil di antara dua panel lemari.
Di tengah-tengah dapur, diterangi samar-samar oleh cahaya bulan yang mencoba menembus kaca jendela kotor, berdiri sosok itu.
Itu adalah seorang wanita. Tinggi, ramping, dan rambut hitam panjangnya tergerai tak beraturan menutupi sebagian besar wajahnya. Ia mengenakan gaun malam putih panjang yang sudah kusam dan kotor, dan di tangannya, ia memegang sebuah baskom besi tua.
Ia sedang mengaduk-aduk sesuatu di dalam baskom itu dengan sepotong kain.
Saat ia mengangkat kepalanya sedikit, aku melihatnya.
Wajahnya pucat pasi, seperti porselen, dan matanya... matanya hilang. Hanya ada lubang gelap yang dalam. Tapi di pelipisnya, tampak jelas, tergores bekas luka tipis berwarna merah, persis seperti yang ada di lukisan dan boneka itu.
Dia buta. Tapi dia tahu aku ada di sana.
Dia mengangkat tangannya yang lain, dan aku melihat apa yang dia pegang. Bukan senjata, tapi boneka porselen yang kulihat di kamar atas.
Boneka itu kini bersih. Semua noda keringnya sudah hilang.
Wanita itu perlahan-lahan merendam boneka itu ke dalam baskom. Aku menyipitkan mata, mencoba melihat apa isi baskom itu. Cairan di dalamnya berwarna merah tua dan keruh.
Lalu, dia berbisik lagi, suaranya kini lebih jelas, lebih mengerikan.
“...Kotor. Sangat kotor... Mereka mengotoriku... Tapi aku akan membersihkanmu, Anakku. Aku akan mencuci noda mereka... mencuci noda darah mereka...”
Aku menyadari. Baskom itu berisi darah. Darah yang manis-busuk itu. Dia tidak membersihkan boneka itu. Dia mencucinya dengan darah.
Aku ingin berteriak, tapi suara hanya menjadi benjolan keras di tenggorokanku.
Tiba-tiba, wanita itu berhenti. Dia menoleh, kepalanya miring sedikit, seolah dia baru saja mendengar dengungan nyamuk yang mengganggu. Tepat ke arah lemari penyimpanan.
Aku menutup mata. Jantungku berdetak begitu keras, aku yakin dia bisa mendengarnya.
Kemudian, sebuah suara.
Gesek.
Aku membuka mata. Melalui celah sempit, aku melihat.
Dia tidak datang ke lemari. Dia berbalik, dan dengan gerakan yang anehnya gesit, dia mendorong sebuah cermin berbingkai kayu tua yang terletak di salah satu dinding dapur. Cermin itu bergerak, memperlihatkan sebuah pintu rahasia di baliknya, yang tersembunyi dengan sempurna.
Dia melangkah masuk, memegang boneka dan baskomnya, dan pintu rahasia itu tertutup, cermin itu kembali ke tempatnya, seolah-olah tidak pernah ada.
Keheningan kembali. Tapi kali ini, keheningan itu terasa lebih menindas, lebih jahat.
Aku menunggu selama lima menit yang terasa seperti seumur hidup, sebelum aku berani keluar dari lemari.
Aku berdiri di dapur, gemetar. Aku melihat tempat cermin itu. Permukaannya berdebu, kecuali satu titik, di mana bekas tangan yang kotor meninggalkannya sedikit bersih.
Aku mendekat, mengulurkan tangan. Aku menyentuh bingkai kayu cermin itu. Ia terasa dingin, dan di situ aku mencium bau yang paling mengerikan dari semuanya: logam tua, darah kering, dan air mata asin.
Aku mendorong cermin itu. Ia tidak bergerak. Tampaknya ada mekanisme kunci yang digunakan wanita itu untuk membukanya.
Aku berbalik, mencari jalan keluar yang lain. Sekarang aku tahu ada sesuatu yang terperangkap di rumah ini, dan sesuatu itu berburu di malam hari.
Aku kembali ke aula, senterku menyapu setiap sudut.
Saat aku melewati ruang tamu, aku melihatnya lagi.
Lukisan wanita itu. Wanita dengan bekas luka dan mata biru yang menusuk.
Tapi ada yang berbeda.
Bekas luka di pelipisnya, yang tadinya tipis dan samar-samar, kini tampak lebih dalam, seolah baru saja tergores. Dan di sudut bibirnya yang pasrah, kini ada sesuatu yang tampak seperti noda merah baru.
Aku memundurkan senter, menatap seluruh lukisan.
Aku melihat sesuatu yang tidak kulihat sebelumnya, tertulis dengan gaya kaligrafi kecil di bawah bingkai.
“Elara, Istri yang Menanti”
Aku menarik napas tajam. Lalu aku melihat lagi di samping tulisan itu. Sebuah tanggal.
1899-1929
Dia meninggal. Dia adalah hantu. Hantu yang berjalan di rumah ini, mencuci boneka putrinya dengan darah.
Aku berbalik, berlari menuju tangga, naik kembali. Aku harus menemukan jendela di lantai atas yang bisa dibuka, atau setidaknya memanjat atap.
Aku sampai di koridor lantai dua, langkahku cepat dan panik.
Aku berlari melewati kamar tempat kulihat pakaian itu. Lalu, aku berhenti.
Aku ingat. Boneka itu hilang.
Wanita itu mengambil boneka porselen dari kamar itu.
Aku menyalakan senterku ke arah pintu. Pintu itu sedikit terbuka.
Aku melangkah mendekat, mendorongnya perlahan.
Kamar itu kini bersih. Dipan besi tua itu hilang. Karpet Persia berdarah itu hilang.
Hanya ada satu hal di ruangan itu.
Di tengah-tengah lantai kayu yang mengkilap, berdiri sebuah kursi kayu tua. Dan di kursi itu, duduk seorang anak kecil.
Seorang gadis kecil, mungkin berusia delapan tahun, mengenakan gaun putih compang-camping, rambut hitam panjang menutupi wajahnya.
Di pangkuannya, ia memeluk erat boneka porselen itu.
Aku menyalakan senterku sepenuhnya pada anak itu.
Dia tidak bergerak.
“Nak?” panggilku, suaraku bergetar. “Kamu baik-baik saja? Siapa namamu?”
Gadis itu tetap diam.
Aku melangkah maju. Saat aku mendekat, gadis itu perlahan-lahan mengangkat kepalanya.
Dia menatapku.
Wajahnya seperti porselen, pucat dan tanpa emosi. Matanya hilang, sama seperti wanita di dapur. Hanya ada lubang gelap yang cekung, dan air mata darah kering yang memanjang dari lubang itu.
Tapi yang paling mengerikan adalah senyumnya.
Senyum itu sama persis dengan senyum pada boneka di pangkuannya—senyum yang retak, terukir, dan mengerikan.
Dia mengangkat bonekanya. Dengan suara yang kering dan pecah, seperti daun tua yang diinjak, dia berbicara.
“Mama bilang...” suaranya berbisik, “...kamu kotor. Dan aku haus.”
Saat dia mengucapkan kata terakhir itu, aku menyadari. Gadis kecil itu adalah putrinya. Dan aroma manis-busuk yang kurasakan sepanjang malam bukanlah darah kotor, tapi aroma darah segar yang dicampur dengan aroma parfum wanita tua.
Aku berbalik, berteriak. Aku berlari menuju tangga, tapi baru saja sampai di koridor, aku merasakan sesuatu.
Udara di belakangku menjadi sangat dingin. Aku bisa merasakan napas yang berat, tersengal-sengal, tepat di belakang leherku.
Aku mendengar bisikan terakhir yang menusuk, suaranya kini seperti serangkaian goresan kuku pada papan tulis.
“Jangan tinggalkan Anakku sendirian... Dia perlu bermain... Selamanya...”
Aku jatuh. Aku tidak ingat apakah aku didorong, atau hanya terpeleset karena panik. Senterku terbang, memantul, dan mati.
Kegelapan total. Aroma manis-busuk yang memuakkan menenggelamkanku.
Aku mencoba merangkak. Tangan kiriku menyentuh sesuatu. Dingin, berminyak, dan basah.
Aku tahu apa itu. Darah.
Aku berteriak, sebuah teriakan panjang yang serak. Teriakan itu bukan bergema, melainkan diserap oleh rumah itu.
Aku merasakan sentuhan. Sentuhan dingin dan kecil, seperti jari-jari porselen, memegang pergelangan kakiku.
“Mama mencarimu, Teman Baru,” bisik suara gadis kecil itu, suaranya kini terdengar tepat di telingaku.
Aku tersentak, meronta-ronta, tapi genggaman itu kuat, dingin, dan tidak bergerak.
Di kegelapan total, di antara gemuruh darahku sendiri di telingaku, aku mendengar suara terakhir yang akan pernah kudengar.
Krrrrkkk.
Suara logam yang diseret melintasi lantai. Perlahan. Mendekat.
Aku tahu wanita buta itu ada di sana, mencariku. Dan dia membawa baskomnya yang penuh dengan pembersihnya yang mengerikan.
Dan aku, penulis yang mencari keheningan, kini telah menemukan keheningan abadi di Rumah di Ujung Kabut.
Epilog: Satu Tahun Kemudian
Kabut tebal kembali turun di jalanan terpencil itu.
Sebuah mobil tua yang berkarat, 'Si Tua Berisik,' masih terparkir di depan gerbang besi sebuah rumah kolonial yang menjulang. Di kaca depan, embun telah berubah menjadi jamur.
Di dalam rumah, di aula utama yang gelap, seorang penulis baru melangkah masuk. Seorang pria yang mencari tempat peristirahatan untuk menyelesaikan draf novelnya.
Di tengah-tengah lantai marmer abu-abu, sebuah sandal beludru tua diletakkan dengan hati-hati. Dan di sebelahnya, ada jejak kaki telanjang yang kecil, mengarah ke tangga.
Di lantai atas, di kamar tidur yang sunyi, di kursi kayu, sebuah boneka porselen baru diletakkan. Boneka itu adalah boneka laki-laki, mengenakan pakaian compang-camping, dan wajahnya dipulas dengan senyum yang mengerikan, terukir dengan cat retak. Di sampingnya, tergeletak sebuah ransel kecil, berisi laptop dan sebotol air.
Dan di dinding ruang tamu, di bawah lukisan Elara, kini ada lukisan lain.
Lukisan seorang pria, dengan mata terbelalak ketakutan, dan di pelipisnya, sehelai garis retakan tipis kemerahan, seperti bekas luka.
Di bawah lukisan itu, tertulis:
“Penulis, Tamu yang Terperangkap”
2025
Rumah di Ujung Kabut, tempat keheningan yang bernapas dingin, telah menyambut kedatangan barunya. Dan sang penulis, seperti semua orang yang tersesat di sana, telah menjadi bagian dari koleksi, bagian dari rumah, yang terus menunggu, di dalam kabut yang abadi.