Hallo semua!
Sebelum mulai membaca ceritanya. Aku ingin mengucapkan terima kasih banyak sudah sempatkan waktu sebentar untuk membaca cerpen ini^_^ komen pendapat kalian tentang cerpen ini di comment ya...aku penasaran dengan riview kalian
Hehe(^^)
Selamat membaca.....
Mungkin untuk sebagian orang perjodohan di usia dini cukup tabu dilakukan. Tetapi untuk keluarga berkelas atas, perjodohan itu adalah hal lumrah terdengar di telinga mereka. Demi selalu menjaga reputasi perusahaan sekaligus kerjasama antar bisnis. Orang-orang berduit tersebut akan menjalinkan ikatan keluarga antara anak-anak mereka untuk menyatukan kedua perusahaan menjadi satu bisnis besar. Tentu itu sangat menguntungkan.
Oleh karena itu, Keluarga Cassandra tidak akan sembarangan memilih pasangan hidup untuk Putri mereka. Walaupun saat itu usia Putrinya barusaja beranjak delapan tahun. Ego Cassandra dan istrinya, Emily Cassandra, menerima tawaran ikatan pertunangan dengan keluarga Daniella.
Bukan pertunangan yang bagaimana, hanya sebatas terikat janji di antara kedua keluarga. Anak-anak mereka akan di nikahkan nantinya setelah usia kedua mempelai sudah siap. Intinya, terlebih dahulu di atur sedemikian rupa perfect demi masa depan cerah dari perusahaan ataupun bisnis mereka.
Terdengar egois bukan?
Apa boleh buat? Gadis kecil itu tidak mengerti makna pertunangan ataupun semacamnya.
Ia hanya melihat seorang anak laki-laki bermata belo menatap lekat. Mungkin sejengkal tinggi darinya. Itu pertama kalinya mereka bertemu sekaligus menjadi awal keakraban kedua anak itu.
"Hallo, Nama saya Luca."
Senyuman manis pertama yang diberikan saat itu benar-benar membekas didalam memori Gadis kecil berambut sebahu tersebut.
Apa dia harus membalas sama cerianya dengan anak laki-laki itu?
"Vancia."
"Senang bertemu denganmu, Ancia."
Waow...Apa barusan itu nama panggilan yang diberikan oleh bocah itu?
Sebelumnya Vancia belum pernah berinteraksi dengan anak sebayanya. Seingatnya Ia sudah terkurung didalam rumah besar ini sejak memorinya mulai mencetak detail-detail kehidupanya.
Sehari-hari Vancia melakukan rutinitas yang tidak pernah berubah, Les private dirumah kemudian mengisi waktu luang dengan bermain sendirian didalam ruangan khusus miliknya, sarapan dan makan malam sendirian diatas meja makan persegi luas dengan kursi-kursi kosong yang tidak pernah diisi seorangpun disana.
Orang tuanya tidak pernah mengajak Anak itu keluar melihat dunia ataupun menghirup udara kota. Lebih tepatnya ia tidak pernah diperhatikan. Asal hidup, itu sudah cukup bagi Ego dan Emily yang sibuk berpergian sekaligus jarang pulang kerumah.
Mungkin bisa dikatakan Vancia tumbuh dari tangan orang lain. Ia hanya dilahirkan untuk dibesarkan menjadi benda yang tidak disediakan kasih sayang dari kedua orang tuanya.
Oleh sebab itu, tepat hari ini. Vancia Cassandra, mencetak memori didalam benak kecil miliknya sebagai tanggal sekaligus tahun dimana ia mendapatkan hadiah berupa teman anak laki-laki dari kedua orang tuanya.
Luca Daniella selalu mendatangi Vancia ketika hari Minggu tiba. Anak laki-laki itu seketika menjadi pensil warna didalam hidup Gadis kecil itu, untuk mengwarnai setiap minggunya.
"Ancia suka warna apa?" Tanyanya ketika melihat Ancia mengores krayon didalam buku gambar.
Tanpa menoleh, Vancia menjawab pelan. "Lilac."
"Bagus! Itu warna yang elegan. Aku juga suka warna Lilac sama sepertimu." Nada bicara Luca selalu berhasil menghibur kesepian anak perempuan itu.
Mungkin ditahun kedelapan ini adalah tahun dimana Vancia mendapat hadiah terbaik didalam hidupnya. Setelah sebelum-sebelumnya tidak ada satupun dari kedua orang tuanya ingat hari peringatan kelahirannya.
Hari demi hari, Luca semakin intens mengunjungi Vancia di kediaman-nya. Tak jarang anak laki-laki itu membawa buah tangan berupa makanan, mainan ataupun pewarna pensil baru kesukaan Gadis itu.
"Ancia, tebak aku bawa apa?"
Vancia melirik kearah belakang punggung Luca. Namun Luca langsung mengeser dan tidak memperbolehkan Gadis itu mengintip.
"Etz...gak boleh ngintip. Ayok tebak."
Sekilas Vancia menatap wajah Luca. "Buah?"
Luca tertawa kecil. "Taadaaa....! Cat pensil..! Ada warna lilacnya disini."
Vancia tertekun menatap sekotak peralatan pewarna cat lengkap. Kotak itu berwarna Lilac sesuai warna favorit Gadis itu.
"Untukmu...lain kali aku akan memberikan yang lebih dari ini."
Hal paling disukai Vancia bukanlah hadiah yang selalu di berikan oleh Luca. Melainkan sebuah senyuman hangat yang selalu terpancar dari wajah penuh tenang tersebut. Gadis kecil itu merasa hidupnya saat itu lebih baik dari sebelumnya.
Berbulan-bulan berlalu begitu tenang nan indah. Vancia perlahan membuka diri untuk mengutarakan perasaannya. Ia menceritakan bagaimana kebahagiaan menghampirinya ketika Luca hadir kedalam hidup abu-abunya.
"Aku akan selalu bersamamu Ancia."
"Benarkah?"
"Tentu saja, kita akan selalu bersama-sama. Aku akan memukul kesedihan jika dia menghinggapi kepalamu." Vancia tertawa melihat Luca bertingkah Lucu.
Ia terdiam setelah tertawa beberapa menit kemudian mengamati karpet halus dibawah kakinya. Vancia terduduk di atas sutra lembut itu merasakan aroma ruangan bermainnya wangi mint sejuk bercampur hembusan AC.
"Apa Luca pernah merasa sedih?" Tanya Vancia tanpa menoleh ke lawan bicara.
Luca terdiam lalu menatap Gadis itu. "Tentu saja. Setiap manusia pasti pernah sedih. Tapi, aku akan lebih sedih jika Ancia tidak bahagia." Ujarnya. Luca mendudukan bokongnya di sisi Vancia.
Entah apa yang harus Vancia jawab saat ini.
Selayaknya pemikiran anak usia delapan tahun tanpa memikirkan kedepannya. Ia merasa hidupnya akan terus-menerus bahagia jika Luca berada di sisinya selalu.
Iya, hidupnya pasti akan selalu baik-baik saja.
Tanpa terasa berbagai moment sudah mereka ciptakan dalam setahun. Vancia belajar banyak hal dari Luca. Anak laki-laki itu memberikan memori terindah yang akan selalu Vancia kenang didalam hatinya.
"Hidup memang tidak akan selalu baik-baik saja. Tetapi kamu harus tetap hidup untuk orang tersayang di sekitar kita Ancia. Aku sangat menyayangimu Ancia. Selamat tahun baru...!" Seru Luca seketika memeluk tubuh Gadis itu.
Di atas balkon itu, Memori indah kembali terbentuk. Langit gelap di penuhi bintang-bintang itu pasti tengah tersenyum memandang kedua anak itu sedang dilanda keceriaan ketika melihat kembang api meledak indah diatas sana.
Vancia merasa ini adalah puncak kebahagiaan. Ia menganggap Luca adalah kakak laki-lakinya selama ini yang telah senantiasa memberikan hal terbaik dalam hari-harinya. Begitupun Luca, ia menganggap Vancia adalah Gadis imut yang begitu ia sayangi sebagai teman kecilnya.
Indah bukan?
Meskipun kedepannya Vancia akan tahu jika Luca bukan hanya sekedar teman, Tetapi melainkan tunangannya. Ia pasti tidak akan menyesal harus hidup bersama anak laki-laki itu. Cukup Luca saja, Vancia tidak meminta lebih.
Hanya dalam dua tahun, Vancia memiliki kepribadian ceria sama seperti bocah laki-laki itu. Luca benar-benar memberikan dampak positif pada Vancia.
Tahun ini Luca sudah memasuki SMP kelas satu.
"Hahaha...muka mereka lucu banget di olesin spidol sama Kakak kelas." Luca tertawa nyaring menceritakan hal lucu ketika ia ikut MOS di sekolah.
Vancia ikut tertawa kecil. "Apa mereka marah?"
"Tidak, mereka tertawa melihat wajah masing-masing. Aku tidak sabar melihat Ancia memakai seragam SMP juga. nanti aku akan membawa Ancia ke kantin sekolah, nasi kuning disana enak-enak."
"Mungkin aku akan terus homeschooling__"
"Tidak! Ancia akan masuk sekolah tahun depan."
Alis gadis itu menurun. "Kamu tahu dari mana?"
"Aku meminta papaku untuk berdiskusi dengan papamu dan membiarkan Ancia bersekolah seperti anak-anak lainya." Ucap Luca menyeringai kearahnya.
Kedua kelopak mata Vancia perlahan melebar dengan pupil mata didalam membesar. "Benarkah?!" Vancia tidak bisa menyembunyikan ekspresi senang diwajahnya.
Benar, mungkin ini saatnya kesuram sudah berakhir dalam hidupnya.
Selama coin keberuntungan tetap ia pegang, maka hidup Vancia akan selalu di hinggapi kebahagiaan. Tetapi, Gadis itu lupa kalau coin kecil tersebut bisa terjatuh dan lenyap di dalam saku celananya.
Luca terlalu dewasa untuk anak seusianya. Ia terlihat sempurna dari segi karakter dan pengendalian emosi. Vancia tidak pernah sekalipun melihat bocah laki-laki itu marah ataupun tantrum.
Semua kesulitan hiruk pikuk kehidupan Vancia serta sifat orang tua Gadis itu, Luca tahu. Ia sangat mengerti kondisi Vancia. Termasuk Salah satu alasan membuat Luca semakin berusaha membahagiakan Gadis itu, selalu.
Pernahkah kalian mendengar, bhawa seseorang yang sangat baik tidak terlalu lama tinggal didalam dunia kotor berisik ini?
Tepat ketika beberapa hari lagi Vancia akan mengenakan seragam sekolah SMP.
Ia mendapatkan kabar yang sangat mengguncang jiwa anak perempuan itu.
"Non, Tuan muda Luca meninggal dalam kecelakaan."
Kata-kata tersebut mampu membuat keseimbangan kedua kaki Vancia lemas terjatuh di atas permukaan lantai. Tubuhnya gemeteran parah. Dadanya sesak sekaligus panas menjalar keseluruhan kepalanya seolah merasakan AC dikamarnya sudah tidak terasa dingin.
Perasaan itu adalah hal pertama paling menyiksa yang Vancia rasakan. Apa maksudmu Luca? Semua kesan pertama ada padamu.
Ia sudah tidak sanggup menahan kesedihan yang tiba-tiba melanda dirinya. Dunianya terasa kembali berwarna abu-abu. Pensil warnanya telah habis dan pudar.
Ego Cassandra sekaligus Emily Cassandra pulang saat itu mendapati tunangan putri mereka telah wafat. Mereka bertiga menghadiri rumah duka Daniella dengan mengenakan pakaian serba hitam.
Untuk pertama kalinya juga, Vancia melangkah keluar rumah. Bukan untuk bermain bersama Luca, melainkan untuk melihat keadaan anak laki-laki itu yang terakhir kalinya.
Vancia benar-benar linglung. Ia tidak makan apapun selama dua hari saking frustasinya. Mata merah kembang miliknya terlihat jelas.
Ketika langkah kaki Vancia menginjak marmer putih itu memasuki ruangan tempat peti Luca terletak dengan tamu-tamu di sekelilingnya. Gadis itu sungguh tak sanggup menahan air mata yang kini kembali membasahi kedua pipinya.
Tepat di atas meja itu, Foto Luca tersenyum berwarna abu-abu. Senyuman itu tidak lagi terasa hangat seperti sedia kala.
Tiga tahun lamanya Luca menemani Vancia tumbuh perlahan menyembuhkan innerchild anak perempuan itu. Vancia merasa semakin tersiksa pada dadanya ketika mengingat moment-moment indah tengah berputar didalam benaknya.
Luka, sama seperti namanya Luca. Luca memberikan kebahagiaan paling indah sekaligus luka paling menyakitkan.
Andai saja Vancia tahu akhirnya bakal seperti ini. Mungkin dia akan menolak untuk berkenalan dengan Luca pada saat itu.
Sekarang ia harus bagaimana? Apa Vancia harus menyesal telah mengenal Luca? Atau bersyukur telah menghabiskan banyak waktu bersama Luca? Ia benar-benar tidak tau!!
Didalam aula itu hanya terdengar Isak tangis Vancia paling menyakitkan dari semuanya. Bhakan kedua orang tua Luca sekalipun tidak menangis sebegitu pilu dari Gadis itu.
Emily berpura-pura menenangkan Vancia yang tengah menangis tanpa henti.
"Cup,cup,cup...sudahlah sayang. Luca sudah tenang disana, sayang."
Kesempatan bagi Emily untuk menciptakan topeng sebagai seorang ibu penuh kasih bagi anaknya di depan publik. Vancia terus menangis tanpa menghiraukan perkataan mamanya.
Setelah beberapa saat. Vancia mulai tenang dengan sendirinya. Ia terduduk bengong di samping mamanya, melihat orang-orang tengah merangkai bunga untuk altar di samping foto Luca.
Tanpa sengaja tatapan Vancia terkunci sebentar ke arah bangku panjang di seberang. Ia melihat sosok anak laki-laki terduduk lemah menatap lurus dengan kaki kiri sekaligus kepala diperban.
Anak laki-laki itu mirip sekali dengan Luca.
Flashback....
Pada saat Luca bersama kembarannya, Louis, berangkat sekolah. Sebuah truk minyak tiba-tiba saja mengerem mendadak di depan mobil mereka. Sialnya sang supir tidak sempat mengelak di kecepatan cukup melaju.
Setelah itu mobil Luca menghantam cukup keras kebelakang truk tersebut kemudian menewaskan dua orang yang duduk didepan, yaitu Luca di bangku samping penumpang dan supir dibangku penyetir.
Tabrakan itu cukup keras. Sehingga membuat beberapa mobil menepi untuk langsung mengevakuasi kejadian barusan.
Kaca depan mobil pecah berhamburan di aspal.
Krumunan manusia disana sekilas melihat orang di bangku depan sudah pasti tidak terselamatkan. Salah satu bapak-bapak membuka paksa pintu tengah pada mobil, untuk mengecek apa seseorang di belakang masih bernafas.
Bapak itu bernafas lega lalu berteriak meminta seseorang untuk cepat-cepat memanggil ambulance, karna anak laki-laki di bangku belakang itu masih menunjukkan pergerakan walaupun terlihat sangat lemah.
"Cepat! Cepat! Angkat tubuhnya kedalam ambulance!"
"Kasihan sekali."
"Astaga, syukurlah masih ada yang selamat dari kecelakaan maut ini"
•°•°•
Sebelumya Vancia belum pernah melihat langsung wujud asli Louis. Ia hanya mendengar Luca menceritakan kembarannya sekali. Tetapi ia tidak tahu kalau mereka berdua benar-benar sangat mirip.
Tetapi, melihat wajah Louis, membuat Vincia merasa itu adalah sosok Luca terduduk disana. Vancia membuang pandangannya ketika Louis menyadari seseorang memperhatikan-nya.
Namun entah mengapa setelah melihat Louis, Vancia merasakan sedikit ketenangan didalam hatinya.
Ditengah ia sesekali memandang wajah Louis lantaran masih penasaran, Tiba-tiba Emily berbisik di telinga putrinya.
"Adiknya akan menggantikan posisi tunanganmu."
Vancia sedikit melotot tanpa di sadari oleh Emily. Apa-apaan ini? Apa pertunangan ini tidak berakhir di Luca saja?
Kini Vancia sudah tahu arti kata: tunangan. Luca pernah menjelaskan pada Vancia sebelumnya. Ia tidak ingin terikat apapun lagi. Vancia takut jikalau kedepannya situasi menyakitkan ini terulang.
Benaknya bukan menciptakan memori indah lagi. Melainkan menbentuk sebuah trauma besar akan sebuah keterikatan. Vancia ingin menghapus semua memori indah itu, tetapi ia tidak sanggup melupakan Luca.
Iya, tentu saja. Perasaannya hanya untuk Luca. Walaupun Louis mirip Luca, tetapi ia tetap bukan Luca.
Untuk saat ini bukan waktu yang tepat memikirkan ataupun membahas pertunangan tersebut. Lihatlah tubuh Luca masih terbaring di dalam kotak kubus itu.
Angin di aula tersebut terasa begitu sejuk menembus tulang milik Vancia. Lagi-lagi Tangisannya pecah ketika melihat wajah Luca, setelah memberanikan diri untuk maju bertemu anak laki-laki itu.
Wajah tenang Luca masih terlihat merona aliran darah. Separuh wajah Luca di tutupi kain, lantaran terluka parah oleh benturan. Vincia tidak sanggup membayangkan seberapa takutnya ketika Luca mengetahui dirinya akan menghantam baja keras itu.
Beberapa orang mengelus kepala Luca sembari menangis. Entah itu tangisan asli atau palsu, sudah tidak penting bagi Vancia.
Ia hanya berdiri diam di samping peti Luca. Benaknya bisa merasakan suara Luca terus bergema memanggil lembut namanya didalam kepalanya. Senyuman hangat itu, panggilan manis itu, kata-kata penenang milik Luca disaat Vancia sedih, semua sirna ketika menatap wajah tak berdaya milik Luca.
Ternyata manusia selemah itu ya?
'Luca, beberapa hari lagi aku akan mengenakan seragam baru. Aku harap kamu akan melihatku dari atas sana. Aku harap kamu akan selalu mengawasiku seperti janjimu.'
Tanpa disadari Vancia. Louis sedari tadi memperhatikan wajah kusut anak perempuan itu. Gadis itu terlihat sangat terpukul di banding dirinya yang bhakan sama sekali tidak meneteskan sebutir air matapun untuk kakaknya.
Vancia menepi dari sana ketika penutupan peti akan di laksanakan. Tubuh Luca akan di bakar didalam tabung kremasi.
Bayangkan bagaimana perasaan kalian melihat seseorang yang kemarin masih tersenyum ataupun bercanda ria padamu, tiba-tiba besoknya sudah hilang terbakar menjadi abu.
Sampai kapanpun, hati Vancia terasa berat untuk menerima kepergian Luca. Ia masih menganggap anak laki-laki itu hidup berada di sampingnya.
Kenapa harus Luca?
Kenapa harus satu-satunya lilin cahaya Vancia itu padam?
Kepada siapa lagi ia akan menceritakan lanjutan hidupnya? Siapakah sosok yang akan bersemangat lagi ketika berhadapan dengan Gadis penuh luka ini?
mungkinkah ia memang ditakdirkan hidup dalam kegelapan, kesuraman dan pengabaian. Apakah takdir marah pada Vancia ketika Gadis itu mulai bahagia sampai ia kembali membuat Vancia terjatuh dalam jurang hitam tanpa sedikitpun warna dan cahaya.
Sebelum melihat secara langsung kremasi jenazah Luca. Orang tua Vancia memutuskan untuk meninggalkan tempat itu lantaran mendapat kesibukan mendesak.
Tadinya Vancia ingin tetap tinggal disana. Namun, ia di ancam langsung oleh Emily kemudian meminta Vancia mengikuti mereka pulang.
Ia terlalu takut untuk melawan saat itu. Daripada menimbulkan masalah tak Vancia inginkan, terpaksa ia menuruti perintah kedua orang tuanya.
'terima kasih sudah menjadi pensil warna untukku Luca. Selamat tinggal'