Author : Lux Mundi
---
Di balik kabut ungu yang menyelimuti Hutan Elvara, seorang gadis berdiri di tepi danau kristal. Rambutnya berkilau bagai perak yang disentuh cahaya bulan, sementara matanya memantulkan sinar lembut, laksana bintang jatuh yang singgah di bumi.
Namanya Lira—penjaga terakhir dari Sumpah Cahaya, janji kuno yang sanggup menyatukan dua dunia: dunia manusia dan dunia sihir.
Malam itu, bulan purnama menggantung sempurna di langit, lebih terang dari malam-malam sebelumnya, seolah ikut mengawasi takdir. Dari sela pepohonan, muncullah seorang pemuda berjubah gelap. Tatapannya tajam, namun menyimpan kerinduan yang tak terucap. Lama ia menatap Lira, sebelum bibirnya bergetar lirih:
“Sudah seratus tahun lamanya aku mencarimu...”
Lira terdiam. Jemarinya refleks menggenggam liontin di lehernya, yang tiba-tiba memancarkan cahaya hangat.
“Kau... manusia yang terikat janjiku?”
Pemuda itu melangkah perlahan, seolah takut membangunkan mimpi yang rapuh. “Namaku Arion. Dahulu aku adalah pangeran dari dunia manusia, dan aku bersumpah untuk melindungi Cahaya bersamamu.”
Lira menatapnya nanar. “Seratus tahun...? Itu mustahil. Manusia tak hidup selama itu.”
Senyum pahit mengembang di wajah Arion. “Sumpah Cahaya memberiku keabadian, Lira. Tapi ia juga kutukan. Aku melihat dunia berganti musim, menyaksikan orang-orang yang kucintai menjadi abu, sementara aku tetap ada... hanya demi menepati janji ini. Dan demi menemukanmu kembali.”
Air mata menggenang di pelupuk mata Lira. Selama ini, ia percaya dirinya sendiri hanyalah penunggu kesepian—namun kini, di hadapannya berdiri jiwa yang pernah bersumpah untuk memikul beban bersamanya.
“Kenapa... kenapa kau tetap mencariku?” bisiknya nyaris patah.
Arion mengangkat tangannya, ragu sejenak, lalu menyentuh pipi Lira dengan lembut. Ada sengatan halus, seperti benang cahaya yang merangkai dua jiwa.
“Karena kau adalah Cahaya itu sendiri,” ucap Arion, suaranya bening. “Dan aku... aku hanyalah bayangan yang tak bisa hidup tanpamu.”
Bulan purnama menyingkap wajah mereka dalam cahaya suci. Lira melihat ketulusan yang begitu dalam di mata Arion—kerinduan, luka, sekaligus cinta yang bertahan melewati waktu.3 Tanpa sadar, ia merapat, membiarkan pelukan Arion merengkuhnya, hangat bagai janji yang lahir kembali.
“Aku takut,” bisik Lira lirih.
Arion mengeratkan pelukannya. “Tak perlu takut. Apa pun yang menunggu di depan, kita akan menghadapinya bersama. Seperti janji kita dahulu.”
Namun danau kristal tiba-tiba beriak, memecah keheningan. Dari pusaran air bangkit sosok berjubah hitam, matanya merah membara bagai bara neraka. Suaranya mendesis, menggema di seluruh hutan:
“Kalian tidak akan pernah bersatu. Cahaya itu akan padam, dan dunia ini tenggelam dalam kegelapan!”
Arion segera berdiri di depan Lira, tubuhnya menjadi perisai. “Siapa kau?”
Sosok itu tertawa, suaranya menggigilkan tulang. “Aku adalah masa lalu, masa kini, sekaligus masa depan kalian. Aku adalah kegelapan yang lahir dari janji kalian sendiri.”
Liontin di dada Lira bergetar, memancarkan cahaya menolak bayangan. Ia tahu, inilah awal pertempuran sesungguhnya. Tapi kali ini, ia tidak sendirian. Ada Arion. Ada cinta. Ada janji.
---
Pertarungan pun bergulire—antara cahaya dan bayangan, antara cinta dan kehancuran. Pedang Arion berkilauan di bawah cahaya bulan, setiap tebasannya dipenuhi energi yang mengalir dari Lira. Sementara itu, mantra-mantra kuno dari bibir Lira menjelma jadi perisai bercahaya, menangkis cakar-cakar kegelapan yang mencoba merenggut jiwa mereka.
“Kalian bodoh!” desis bayangan. “Cinta hanyalah ilusi. Sumpah Cahaya hanyalah rantai yang mengikatmu, Lira!”
Lira menjawab dengan suara yang bergetar namun berwibawa:
“Tidak! Sumpah ini adalah jembatan, bukan rantai. Dan cinta kami... adalah fondasinya!”
Kegelapan menyerang pikiran mereka, menyusup dengan bisikan ragu: “Arion, kau tak cukup kuat. Lira, kau sendirian selama seratus tahun. Apa yang membuatmu yakin kini berbeda?”
Arion menepisnya dengan teriakan lantang. “Aku tidak sendirian! Dia bersamaku!”
Lira tersenyum, mata bercahaya. Ia merasakan kekuatan Sumpah Cahaya bukan lagi sekadar warisan kuno, melainkan lahir dari ikatan cinta mereka.
“Cinta adalah api yang tak bisa kau padamkan!” serunya.
Liontin Lira menyala terang bagai mentari, pedang Arion berkilau keemasan. Bersama, mereka meluncurkan serangan terakhir—gelombang cahaya murni, seperti komet menembus malam.
Kegelapan itu menjerit panjang, terurai oleh cahaya, lalu sirna ke dalam kehampaan.
Hutan Elvara terdiam kembali. Hanya ada hembusan angin, dan dua jiwa yang berdiri dengan tangan saling menggenggam.
---
Epilog
Fajar menyingsing, membelai Hutan Elvara dengan sinar keemasan. Lira dan Arion berdiri di tepi danau kristal, menatap matahari yang lahir dari balik cakrawala.
“Dunia manusia dan dunia sihir mungkin berbeda,” bisik Arion, jemarinya mengunci tangan Lira. “Tapi cinta kita... adalah jembatan yang akan menyatukan keduanya.”
Liontin Lira berkilau lembut, seakan menyetujui. Gadis itu tersenyum, suaranya tenang:
“Sumpah Cahaya bukan hanya tugas, tapi harapan. Bersama, kita akan menjaga dunia ini—untuk mereka yang percaya pada cinta, untuk mereka yang percaya pada cahaya.”
Mereka tahu perjalanan belum usai, bahwa masih banyak misteri dan ujian menanti. Namun dengan cinta yang telah melewati waktu, mereka tak lagi gentar.
Dan di balik cakrawala, matahari bangkit—menyambut era baru di mana dua dunia berusaha bersatu, dengan cinta sebagai pelita yang abadi.
---
TAMAT