Cody ingat sebuah perkataan, bahwa jika kita membuat permohonan saat bintang jatuh, permohonan itu terkabul. Ucapan yang hadir di masa kecilnya sekarang terdengar bodoh dan remeh. Mana mungkin semudah itu permohonan terkabul, apalagi jika permohonan tersebut berhubungan hidup atau mati seseorang.
Cody mengusap rambut hitamnya yang terasa basah dan lengket. Seluruh tubuhnya kecuali tangan kanan terasa remuk dan berat untuk digerakkan. Napasnya yang begitu tenang sekaligus meringis menemaninya di antara tumpukkan kantung sampah. Bau sampah basah, anyir, dan debu memang menjijikan serta menusuk penciuman yang terasa mati rasa. Bau anyir itu berasal dari tubuhnya yang mungkin jika dilihat orang seperti boneka usang.
Laki-laki itu menyadari betapa menyedihkan hidupnya yang selalu berakhir di tempat sampah dalam keadaan tubuh penuh luka, darah, dan bau tidak menyenangkan. Setidaknya Cody saat ini berada pada tempat di mana orang lain tidak tahu keberadaannya saat ini. Mengingat bagaimana beberapa kejadian ia dibiarkan di lapangan sekolah, di jalanan, atau di lorong kelas, terasa begitu memalukan dan bagaimana wajah-wajah iba orang-orang memuakkan.
Cody tidak ingat secara jelasnya mengapa ia terus-terusan dirundung seperti ini. Sekilas dia dulu hanya memberanikan diri melawan sebuah geng dan seketika hidupnya berubah. Dunia sekolahnya mendadak menjadi panggung pertunjukkan bagi geng itu untuk menyiksanya tanpa akhir. Cody bisa mendengar bagaimana siswa-siswa di sekolah membicarakannya dibalik dinding sudut sekolah, mempertanyakan siksaan apalagi yang geng itu lakukan padanya.
Cody saat ini hanya bisa diam dan mencari cara agar sisi kemanusiannya masih hidup. Malam ini, di mana seharusnya Cody bisa melihat gemerlap lampu-lampu cantik dan siswa-siswa yang berbusana memukau di acara prom harus berakhir di tempat sampah yang terkumpul di belakang sekolah. Setelan jas hitam miliknya yang biasa digunakan saat kerabat atau keluarga dekatnya wafat sudah compang-camping.
30 menit yang lalu Cody menjadi pusat perhatian di lantai dansa, bersama geng perundung yang menginjak tubuhnya dengan sepatu pantofel berat dan dingin. Pisau kecil yang 5 hari lalu menyabetnya hadir kembali menusuk asal agar suara-suara kesakitan bodohnya terdengar. Cody seharusnya diam, tapi dirinya terus berusaha mengeluarkan ringisannya, sedikit berharap ada secercah harapan.
Malam sepi ditemani suara burung gagak memang terasa biasa saja. Cody hanya dapat melihat bintang di langit berserakkan indah. Dirinya ingin menikmati bintang itu setelah ia pulang dan mandi untuk menghilangkan kotoran busuk di badannya. Namun, Cody tidak bisa, tubuhnya terasa lumpuh mendadak. Ia tidak bisa menyusup ke rumah dan bertindak baik-baik saja di hadapan keluarganya.
Kekhawatiran Cody menguar, tapi terhentikan ketika sebuah bintang jatuh melesat jatuh. Cody yang berada di dalam keputusasaan mencoba ide bodoh itu, yaitu membuat permohonan pada bintang.
"Aku harap geng itu mati dan tidak bisa menyentuhku lagi." Lirih Cody sambil memejamkan matanya.
Laki-laki itu merasakan tubuhnya yang berat mulai ringan. Rasa pedih dan nyeri juga perlahan memudar. Reaksi tubuhnya yang menyerangnya tiba-tiba memaksanya untuk membuka mata. Cody memucat. Ia berharap apa yang dilihatnya saat ini hanyalah mimpi alam bawah sadar paling gelapnya. Saat ini dia ada di ruang prom yang sangat sepi dan lampu-lampu warna-warni masih menyala di sana.
Di hadapan Cody berjejer satu persatu anggota geng perundungnya. 5 orang dihadapannya duduk terikat dengan penampilan paling buruk yang pernah Cody lihat dan bayangkan. Genangan darah bagai karpet merah berada di antara 5 orang itu. Tubuh bagian atas mereka toples dan menyisakan celana serta rok sekolah. Bagian toples tersebut penuh dengan darah akibat ukiran dalam dan rapi. Tulisan itu terkumpul dari beberapa huruf yang begitu ngeri di mata Cody.
MA AF CO DY ♡
Cody merasakan tubuhnya merinding hingga kakinya terasa dingin. Bagaimana salah satu mulut itu menganga hebat hingga pipi? Kenapa mata mereka berceceran seperti kelereng? Ada apa dengan beberapa tubuh mereka yang termutilasi acak? Cody bisa pastikan semprotan kental dan amis itu di lantai dan sekitarnya akibat histeris serta ketakutan menghadapi maut, mati penuh tidak hormat.
Apa mereka memang layak mendapati itu?
"Layak, kok, Cody..."
Cody tersentak dan menoleh ke asal suara. Di sampingnya ternyata ada seorang perempuan seumuran dengannya. Dia memakai seragam sekolah yang berbeda dengannya dan sekujur tubuhnya penuh cipratan darah. Perempuan itu tersenyum tipis menatap Cody dengan tatapan paling gelap yang pernah laki-laki itu rasakan.
"K-kau... kau yang membunuh mereka? Ke-kenapa?" Gagu Cody yang 100% merasakan sesuatu yang lebih memyeramkan dari apa yang bisa di lihat oleh perempuan tersebut.
Rambut panjang perempuan itu bergerak saat memiringkan kepalanya dihadapan Cody dengan senyuman menahan tawa. Tangan kurus perempuan itu mencubit kedua pipi Cody gemas seraya berkata, "Kok kamu bingung? Kamu kan meminta permohonan agar mereka mati, kan? Oh, ya... namaku Sylvia."
Cody menggertakan giginya. Ia tidak suka pipinya di cubit seakan dirinya lelucon bagi Sylvia. Laki-laki itu menepis cubitan itu dan berusaha menatap lurus perempuan itu. Ia berkata, "Mana mungkin bintang permohonan akan mengabulkan doa paling berbahaya dan menyesatkan? Aku tidak percaya sama sekali ini ada hubungannya dengan permohonanku"
Sylvia cemberut dengan wajah dibuat-buat. Perempuan itu berlari kecil menuju mayat-mayat dan mengeluarkan sebuah botol vial kaca. Perempuan itu mengambil tetes demi tetes darah dari mayat-mayat tersebut, sedangkan Cody menatap mual adegan tersebut.
"Keputusasaanmu dan kebencian yang membuat doa itu terkabul. Bintang permohonan tercipta penuh dengan harapan murni dan kepercayaan yang di dasari rasa bahagia, yang berbeda adalah permohonan paling berbahaya yang kau dapatkan ada harganya." Sylvia kembali ke hadapan Cody, begitu senang tanpa berpikir untuk membersihkan wajah kotornya terlebih dahulu.
"Tidak, ini pasti salah... mana mungkin doaku membawa perempuan itu... untuk melakukan hal keji..." Gumam Cody berusaha menenangkan kepalanya yang berisik menyalahkannya.
Sylvia bergumam bingung dan mengatakan, "Kau tidak bisa menyalahkan bintang permohonan. Kamu gak usah bingung, aku juga sama sepertimu. Aku dulu berharap keluargaku yang melebihi iblis mati pada bintang permohonan. Itu terkabul! Kau senang juga, kan sekarang?"
Cody bergerak mundur dan menatap ngeri perempuan itu. Napasnya tersengal, menahan rasa takut dan menyesal. Ya, Cody berterima kasih karena para pembully sudah berhenti. Tapi, Cody ingat apa yang Sylvia katakan sebelumnya. Ada harga yang perlu di bayar.
"Berhenti!"
Suara bergema Sylvia menghentikan pergerakan Cody. Perempuan itu menghampiri laki-laki itu dan memeluknya. Cody sangat bingung, apa yang harus ia lakukan, tapi rasa hangat menjalar di dadanya. Pelukan Sylvia begitu hangat dan sangat dirindukan oleh tubuh Cody yang selama ini terasa kosong. Pelukan orang tuanya bahkan kalah dengan pelukan Sylvia, seakan terasa membebaskan jeratan dan Cody menikmati sekujur tubuhnya hidup kembali tanpa kesakitan lagi.
"Te-terima kasih... aku... aku sebenarnya senang semua ini berakhir..." Lirih Cody sambil memeluk balik Sylvia.
"Aku tahu. Aku bisa merasakan alam bawah sadarmu yang paling mematikan dan dingin di sana. Aku adalah bintang permohonan khusus untuk orang-orang seperti kita. Kau puas, kan dengan mahakaryaku?" Bisik Sylvia sambil mengusap rambut Cody lembut.
Cody berusaha menahan sisi kemanusiaannya hadir di saat seperti ini. Namun, saat mimpi alam bawah sadarnya yang menginginkan geng perundung itu binasa bersama seluruh rasa sakitnya, Cody tidak tahan ingin memuji Sylvia. Ia sangat sangat puas dan tidak akan menahan apapun lagi karena ini adalah keinginan satu-satunya atau ia lebih baik mati.
Sylvia melepas pelukannya. Cody sedikit terkejut melihat penampilan perempuan itu bersih tanpa darah. Sylvia memberikan botol isi darah kepadanya dan Cody mengeriyitkan keningnya.
"5 menit lagi polisi akan datang. Jika kau meminum darah ini, maka kamu akan menjadi bintang permohonan sepertiku, abadi, dan menunggu permohonan gelap lain memanggil. Jika tidak, kamu akan mendekam di penjara dan mendapat siksaan sampai kamu mati." Sylvia tersenyum lebar, menunggu pilihan Cody.
Cody menelan ludah kasar, "Aku ingin ikut denganmu karena aku tidak punya harapan lagi selain mati. Tapi... aku mual melihat darah itu"
Sylvia mencubit gemas Cody, "Kamu ini... darah ini akan terasa nikmat karena kamu bukan mengecap rasa pahitnya, tapi kepuasan karena balas dendammu sudah terbalas, sayang..."
Suara sirine polisi sayup-sayup terdengar. Ketukan sepatu yang beruntun mulai mendekat menuju ruang prom. Tak lama beberapa polisi muncul, dengan wajah penuh ketakutan dan pucat memandangi mayat-mayat tersebut.
Namun, mereka tidak melihat keberadaan orang lain. Tidak ada Cody maupun Sylvia di sana. Polisi-polisi itu mulai menyebar penuh waspada, tanpa melihat sebuah botol kaca kosong di lantai, menyisakan setitik darah dan perlahan hilang layaknya debu.
Langit malam yang dingin penuh bintang seakan menyaksikan kejadian sakral itu. Antara keajaiban atau tragedi, sepertinya alam semesta sedang berpihak pada kegelapan. Dari bintang-bintang itu, terdapat 2 bintang yang berdekatan, menunggu seseorang penuh kebencian memanggil dan kembali merasakan balas dendam yang terpuaskan.