"Cerpen ini hanyalah sebuah karya fiksi. Jika ada kesamaan nama, tokoh, tempat, atau kejadian, itu murni kebetulan dan tidak disengaja."
Namaku Kalyssa. Aku anak kelas 11 yang bisa dibilang pendiam banget. Di sekolah, aku lebih sering duduk di pojok kelas, nyoret-nyoret buku, atau sekadar dengerin musik lewat headset. Bukan karena aku nggak mau bergaul, tapi emang lebih nyaman sendiri. Rasanya kayak energi aku habis kalau harus ngobrol sama banyak orang.
Tapi, aku nggak sepenuhnya sendirian. Aku punya sahabat namanya Alina. Dari luar, Alina kelihatan sempurna banget: ramah, supel, gampang bikin orang lain suka. Hampir semua anak di kelas manggil dia “si bintang kelas” karena apa aja kayaknya gampang buat dia. Nilai oke, penampilan oke, punya banyak teman juga.
Awalnya, aku ngerasa beruntung punya sahabat kayak dia. Dia yang selalu narik aku keluar dari “dunia sepi” ku. Dia ngajak aku nongkrong bareng, kenalin ke teman-temannya, bahkan sering belain aku kalau ada yang ngeledek.
Tapi makin ke sini, aku mulai sadar ada sesuatu yang nggak beres. Alina nggak sesempurna itu.
Beberapa kali aku denger dia ngomongin aku di belakang. Waktu aku nggak bisa ikut belajar kelompok karena sakit, aku dengar kabar dia bilang, “Kalyssa tuh bener-bener nggak bisa diandelin.” Padahal, dia sendiri nggak pernah nanya kenapa aku absen.
Atau waktu aku pinjam catatan dia, dia ngasih dengan senyum manis. Tapi belakangan aku tahu, dia cerita ke orang lain kalau aku cuma numpang manfaatin dia.
Di depan aku, Alina selalu bilang, “Kita sahabatan selamanya, Lys.” Tapi di belakang? Seolah-olah aku cuma bayangan yang dia butuhin biar dirinya kelihatan lebih bersinar.
Aku tahu semua itu, tapi entah kenapa aku masih diem aja. Mungkin karena aku takut kehilangan satu-satunya “sahabat” yang aku punya.
Hari itu, saat istirahat, aku lagi duduk di kelas sendirian. Alina baru aja pergi sama gengnya ke kantin. Aku buka ponsel dan tanpa sengaja lihat status WA dia. Isinya foto bareng teman-temannya dengan caption:
“Bestie sejati itu selalu ada, bukan yang cuma diem doang dan jadi beban.”
Jantungku berdegup kencang. Aku tahu itu tentang aku. Rasanya kayak ditusuk, tapi di saat yang sama… aku mulai mikir: apa selama ini aku cuma membohongi diri sendiri?
Setelah baca status WA itu, aku cuma bisa bengong. Tanganku gemetar, rasanya pengen marah, pengen nangis, tapi malah kosong. Aku tatap layar ponsel cukup lama, berharap mungkin itu bukan tentang aku. Tapi hati kecilku tahu—itu jelas ditujukan buat aku.
Saat Alina balik ke kelas dengan tawa lebarnya, dia langsung duduk di sebelahku. “Lys, nanti pulang kita bareng, ya?” katanya dengan suara ceria seolah nggak ada apa-apa. Aku cuma angguk pelan. Rasanya aneh banget, duduk di sebelah orang yang di depanmu ramah, tapi di belakangmu menusuk.
Sepulang sekolah, di jalan, aku akhirnya memberanikan diri. “Lin, aku boleh tanya sesuatu?”
Dia menoleh, “Apaan sih? Tumben banget serius.”
Aku tarik napas panjang. “Status WA kamu tadi... itu tentang aku, kan?”
Sejenak wajahnya kaku. Tapi cepat-cepat dia tertawa kecil. “Ya ampun, Lya. Kamu baper banget sih. Itu kan cuma bercanda.”
Aku menatap matanya. “Kalau bercanda, kenapa rasanya sakit?”
Alina mendengus, lalu nada suaranya berubah. “Ya udahlah, Lys. Kamu tuh terlalu sensitif. Aku capek juga, tau nggak? Kamu selalu diem, selalu bergantung sama aku. Aku juga butuh teman yang bisa nyambung sama aku, bukan cuma bayangan.”
Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari yang aku kira. Aku berhenti melangkah, sedangkan Alina terus berjalan beberapa langkah sebelum sadar aku nggak ikut. Dia balik badan. “Lys, jangan lebay. Kita kan sahabatan.”
Aku tersenyum tipis, walau hatiku bergetar. “Sahabat itu saling jaga, Lin. Bukan saling jatuhin. Kalau aku cuma jadi bayangan buat kamu, mungkin lebih baik aku nggak ada di sampingmu lagi.”
Wajah Alina terlihat kaget. Tapi aku nggak nunggu responnya. Aku putar balik, jalan sendiri ke arah rumah. Untuk pertama kalinya, aku merasa lebih ringan meski ada bagian hatiku yang hancur.
Malamnya, aku duduk di meja belajar. Pikiranku masih penuh dengan ucapan Alina. Tapi ada satu hal yang jelas: aku nggak akan lagi pura-pura nggak tahu. Aku memang pendiam, tapi bukan berarti aku harus terus bertahan di samping orang yang nggak benar-benar tulus.
Mungkin aku akan sendirian lagi. Mungkin juga akan ada orang baru yang datang. Tapi kali ini aku janji sama diri sendiri: lebih baik sendiri daripada ditemani seseorang yang bermuka dua.
Dan malam itu, aku tidur dengan senyum kecil. Untuk pertama kalinya, aku merasa bebas.