Hari ini sama seperti kemarin. Aku duduk di trotoar, gitar butut menempel di pangkuan, suaraku menyatu dengan bising kota yang tak pernah tidur. Orang-orang lalu lalang, sebagian menoleh sekilas, sebagian bahkan tak peduli. Uang receh berjatuhan di kotak kecil di depanku—beberapa dari rasa iba, sebagian mungkin sekadar ingin merasa baik setelah melewati pengamen jalanan.
Tapi aku tidak sedang berharap banyak dari mereka. Mataku, seperti biasa, mencari satu wajah. Wajah yang entah kenapa bisa membuat lagu sederhana terdengar seperti simfoni megah di kepalaku.
Dia selalu berjalan dengan langkah pelan, membawa buku di pelukannya. Rambutnya jatuh ke bahu, dibiarkan bebas menari bersama angin sore. Aku tidak tahu siapa namanya. Tidak tahu rumahnya di mana. Tidak tahu apa kesukaannya selain membaca. Tapi aku tahu satu hal—dunia terasa lebih indah setiap kali aku melihatnya.
Aku ingin menyapa. Ingin sekadar bilang, “Hai, bolehkah aku menyanyikan satu lagu untukmu?” Tapi suaraku selalu mati di tenggorokan. Gitar ini, yang selalu bisa membuatku bicara lewat nada, justru jadi pengingat bahwa aku tak punya apa-apa selain musik jalanan. Aku hanya pengamen, hidup dari koin dan receh. Bagaimana mungkin seorang perempuan seanggun itu menoleh pada orang sepertiku?
Jadi yang bisa kulakukan hanyalah menyanyikan lagu dari jauh. Lagu-lagu sederhana yang tak pernah sampai ke telinganya. Lagu yang lebih sering tenggelam dalam deru mesin dan klakson, tapi bagiku tetap berarti—karena aku bernyanyi untuknya.
Ada rasa sakit yang aneh. Bukan sakit karena ditolak, bukan pula sakit karena kehilangan. Justru sakit karena aku tahu aku tak pernah benar-benar mencoba. Sakit karena aku terlalu takut untuk percaya bahwa mungkin, meski sekecil kemungkinan, dia bisa saja tersenyum padaku.
Orang bilang cinta itu membuatmu berani. Tapi bagiku, cinta justru membuatku semakin sadar siapa diriku. Setiap kali aku melihatnya, aku bukan lagi sekadar pengamen—aku adalah segala kekuranganku. Baju yang kumal, suara serak, mimpi yang terlalu sederhana. Dan aku tahu, aku sendiri yang menutup pintu sebelum sempat mengetuknya.
Hari ini pun begitu. Dia lewat lagi. Cahaya sore memantul di matanya, seolah langit hanya jatuh di sekelilingnya. Aku terus bernyanyi, pura-pura sibuk dengan senar gitar, padahal diam-diam menunggu. Menunggu apa? Entahlah. Mungkin menunggu keberanian yang tak pernah datang.
Ketika langkahnya menjauh, aku menarik napas panjang. Lagu berhenti di tengah, nadanya menggantung seperti perasaan ini—tak selesai, tak pernah tersampaikan. Aku tersenyum pahit. Bagiku, itu sudah cukup. Melihatnya dari jauh, mencintainya diam-diam, membiarkan hatiku ikut berdesir bersama melodi yang hanya aku yang tahu.
Karena tidak semua cinta harus sampai. Kadang, cukup menjadi lagu yang hanya dimainkan untuk diri sendiri. Lagu yang kandas sebelum sampai, tapi tetap indah di hati orang yang menciptakannya.