Katanya mereka memberikan keberkahan. Kemudahan dalam hidup yang membuat berbondong - bondong manusia dengan antusias tinggi mengincar mereka. Rela mengorbankan sesuatu yang sebenarnya berharga bagi hidup, hanya demi kenyamanan duniawi. Abaikan berbicara tentang kehidupan mewah, bisa hidup sama sudah bersyukur. Begitu kira - kira pemikiran para manusia yang mencari 'mereka' itu.
20.00 WIB
"Hey, ada café baru yang katanya fotogenic, mau coba kesana?"
"Besok hari libur, ayo main"
"Taman bermain katanya membuat wahana baru, mau coba"
Begitu kira - kira percakapan yang dapat di dengar di jalanan umum ketika menjelang hari libur. Hari dimana mereka semua dapat menghabiskan waktu dengan diri sendiri, hari dimana mereka tidak harus kepusingan memikirkan apa yang akan di lakukan untuk menghadapi masalah yang akan datang ke hidup mereka di esok hari. Tapi berbeda dengan, ia tidak harus menunggu datangnya waktu libur seperti orang - orang itu. Setiap hari adalah hari libur untuknya, bisa bebas kesana - kemari kapanpun dia mau. Sayangnya, rasa khawatir yang didapatnya tentang 'kejutan apa yang akan menyapanya di esok hari' lebih tinggi demanding para manusia tadi.
Malam itu, dalam ruangan kumuh yang hanya memancarkan sedikit cahaya dari lilin kecil yang beralaskan sebuah mangkuk itu, terdapat seseorang yang terus menerus menuliskan sesuatu dalam secarik kertas usang di hadapannya. Ia menulis dan merobek kertas itu, mengambil kertas usang lainnya, menulis, dan merobeknya kembali. Mungkin karena bosan dengan rutinitas merobek, terkadang ia menemukan lembaran kertas itu menjadi gilingan bola kusut. Ia kembali mengambil kertas usang baru, kembali membungkukan dirinya yang sedang duduk di lantai demi mendekatkan diri dengan satu-satunya pencahayaan di ruangan itu. Kembali menulis dan merobeknya lagi.
"Salah"
"Ini masih salah"
"Terlalu biasa"
Dan semua keluhan lain dilontarkannya kepada kertas usang itu.
Ketika umurnya genap 18 tahun, dia pergi dari desa tempat ia tinggal ke kota untuk membuktikan kepada keluarganya bahwa ia mampu hidup sendiri. dia pergi bukan karena memiliki keluarga yang jahat atau bagaimana, ia hanya bosan dengan kemiskinan yang selalu mengitarinya. Bahkan sang ibu yang selalu berkata "Disyukuri saja, kita masih bisa hidup dan tertawa bersama, kan." Dianggapnya sebagai kalimat kutukan yang menyebabkan keluarganya dilanda kemiskinan abadi. Kata orang anak tengah itu bebannya berat, tapi ternyata memang lebih berat dari yang dipikirkannya.
Bahkan, ketika mantap memutuskan untuk pergi dari desanya ia berjanji akan membuat anggota keluarganya itu bertekuk lutut di hadapannya karena harta yang berhasil di dapatkannya. Setelah dua tahun berlalu hidup di kota jangankan harta, kertas, pensil, bahkan lilin yang dalam hitungan menit lagi akan lenyap itu didapatkannya dari pembuangan sampah dan gang kumuh di sekitar tempat pembuangan itu.
Pikiran awalnya setelah sampai di kota ia akan menulis cerita dan mengirim semua it uke media - media ternama. Nyatanya, jangankan media ternama, mengirimkan naskah - naskahnya ke penerbit koran lokal saja tidak diterima. Tidak ada siapapun yang dikenalnya. Uang untuk pulang ke desa tidak ada. Sisa uangnya hanya ia gunakan untuk keperluan sehari - hari, seperti membeli satu saset kopi dan beberapa batang rokok. Kontrakan yang sudah tidak dialiri listrik itu tidak ada bedanya dengan gang kumuh di sekitar tempat pembuangan sampah. Token listrik yang mencari perhatian karena sudah lama diabaikan itu dengan terus - terusan memainkan memainkan not acak yang seringkali mengundang protes para tetangga. Bahkan, beberapa hari belakangan ini bapak pemilik sudah menghampiri dan mengusir dirinya secara halus. Sempat terpikir di benaknya, menjadi gelandangan dan mengemis tidak buruk juga, bisa jadi malah mendapat penghasilan setara dengan mereka yang keluar masuk gedung - gedung mewah itu. Tap jika ada orang dari desa yang bertemu secara tidak sengaja, bodoh sekali rasanya.
Ia kini terbaring di samping lilin yang tingginya kurang lebih setara dengan ibu jari. Hanya memandang langit - langit tanpa memikirkan apapun. Plafon putih dengan kayu balok panjang yang melintang itu kini menjadi hiburan baginya. Sepertinya pembangunan ruangan ini belum selesai, untuk apa dipasang kayu seperti ini, pikirannya. Semakin lama ia memperhatikan kayu panjang itu, membuatnya teringat. Ia bangkit dan membawa lilin yang berada dalam wadah mangkuk itu ke kamarnya. Mencari sesuatu dalam kegelapan yang hanya di temani oleh lilin kecil itu.
"kalau tidak salah aku menyimpannya disini." Gumamnya masih terus mencari benda yang entah simpannya dimana itu. Sampai akhirnya si benda dapat ditemukan di sela-sela kasur tidurnya.
Ia kembali ke ruang tengah membawa lilin berisi mangkok dan seutas tali di tangan satunya. Ia menaruh lilin di lantai dan menarik kursi yang berada di dekatnya, berusaha mengikat tali miliknya ke kayu panjang yang menjadi hiburan sesaat untuknya tadi. Dengan susah payah dan segala perjuangan, akhirnya terikat dengan kuat. Dengan perlahan dan napas yang memberat ia mendekat ke tali itu, memasukan kepalanya ke lubang dari simpul yang ia buat. Bunuh diri. Kata itu sempat lewat sekilas di kepalanya tapi entah mengapa membuatnya sangat penasaran. Mungkin ini satu - satunya saran, pikirannya. Setelah kepalanya masuk sempurna, ia melompat dari kursi yang di pijaknya saat ini.
Klek
Brug
"Permis- Loh, kamu gapapa?" Seorang pria yang tiba - tiba membuka pintu kontrakannya itu berlari panik menghampiri dirinya.
Ia terjatuh, tali yang digunakannya mungkin sudah terlalu usang karena disimpan di sisi tempat tidurnya itu dalam kurun waktu yang tidak sebentar, atau-
"Masnya ngapain pakai tali rafia di leher?"
-
Orang yang berdiri di depannya sekarang ini, merupakan orang yang menjadi alansannya tidak dapat kembali menulis dengan lancar seperti biasa. Si pendatang baru di dunia penulisan yang menjadi naik daun dan terkenal dengan cepat. Beberapa karya nya yang bertemakan pembunuhan naik dengan pesat.
Banyak para pembaca yang memuji karya nya dengan berbagai seperti alurnya seru untuk di diskusikan, tokoh antagonisnya tidak terduga, dan lain sebagainya. Para penerbit besar pun mulai mencari-cari kontaknya untuk diajak bekerja sama, tapi katanya ia tidak pernah mau bergabung dengan label manapun dan hanya ingin menulis sesuai keinginannya. Dan sekang, entah dengan alasan apa orang itu berada di kontrakan penulis gagal kita ini.
Kini ia terduduk di lantai dengan kaki yang tertekuk hingga dada untuk menyembunyikan wajahnya di antara kedua kakinya itu. Si pria yang entah dari mana tiba - tiba masuk ke kontrakannya itu kini sedang berkutat dengan dapurnya, mencari beberapa gelas dan juga mengambil sebuah piring. Pria itu kembali ke hadapannya ikut duduk melantai tidak lupa menaruh dua gelas dan sebuah piring yang baru saja ia ambil dari dapur. Kantong kresek yang tadi di bawa kini ia keluarkan isinya. Beberapa jenis gorengan dan sebungkus es jeruk.
"Maaf nih, tadi es jeruknya tinggal cukup satu porsi itu juga di kasih tambahan bonus. Sekalian habisin dagangan, kata ibunya. Padahal yang di bonusin juga sisa remahan es batu."
Ia menatap pria yang di depannya dengan tatapan tajam yang sangat mengganggu. Mungkin karena ruangan yang lumayan gelap, si pria naik daun ini tidak menyadari tatapan tidak mengenakan yang lontarkan kepadanya.
"Jadi, tadi kamu lagi coba untuk bunuh diri?" tanya penulis yang belakangan ini sedang terkenal itu.
"Bukan. Bukan gitu, tadi itu latihan jatuh. Soalnya dunia cuma senang melihat kita jatuh." Bertingkah seperti orang keren demi menghindari rasa malu dari hal bodoh yang diperbuatnya.
Sudah gagal bunuh diri berbuah sakit pinggang, di tambah ada orang yang memergokinya. Sudah sakit di tambah malu, tidak ada lagi yang dapat dilakukan. Di benaknya semakin yakin. Bunuh diri memang satu - satunya cara, bukan dengan menggantungkan diri lagi tentunya. Ia memperhatikan pria di depannya yang kini memakan gorengan yang dibelinya.
"Jangan coba - coba melakukan hal seperti tadi, cuma saran. Percobaan pertama yang gagal itu mengundang pikiran buat coba lagi, lagi, dan lagi. Pasti bakal datang terus, deh." Ujar orang itu, lalu melanjutkan kegiatan menenggak es jeruk yang sudah di bagi dua olehnya.
"Bukan saya berpengalaman atau apa, tapi orang di sekitar saya rata - rata gitu. Kenapa cenderung lebih besar rasa kecanduan dengan kegagaln dibanding kesuksesan? Heran." Lanjutsi orang asing. Ia kini mengambil pisang goreng dan menyodorkan ke pria di depannya ini. Ia membuka mulut, menerima suapan gorengan itu. Ia ambil dengan tangannya sendiri untuk lanjut makan.di tengah acara mengunyah makanan di tangannya itu, ia menatap pria di depannya dengan lekat.
"Kamu.. siapa ya?" Berpura-pura tak kenal, tentu saja akan memalukan jika ia mengenali orang ia anggap pesaing terbesarnya itu. Yang tengah sibuk memilih gorengan selanjutnya yang akan dimakan itu mengalihkan pandangannya. Menatap kembali orang di hadapannya, mengedipkan kedua matanya beberapa kali.
"Saya penghuni baru kontrakan ini." Jawabnya dan lanjut memakan gorengan di tangannya. Ia membantu dengan kedua mata membulat.
'Selamat datang gaji ratusan ribu perhari.' keluhnya dalam hati
-
Sudah dua hari berlalu sejak kejadian gagal bunuh diri itu. Kini tempat itu tidak lagi kumuh dengan sampah berserakan di setiap sudut ruangan. Kotak listrik sudah tidak lagi mencari perhatian dengan memainkan not acak setiap detiknya, tempat pencucian piring pun kini sudah melepaskan pelukan hangatnya dari para lumut, dan si orang yang pernah berdalih sedang latihan jatuh masih tinggal di kontrakan itu.
-Kilas balik-
Pada malam dimana rencana bunuh diri berbuah sakit pinggang terjadi.
"Satu malam!" Pintanya dengan badan yang bersujud ke arah pria di depannya ini.
"Setidaknya biarkan ini menjadi malam terakhir aku tidur di tempat usang ini." Ia menekuk kepalanya semakin dalam. Pria di hadapannya ini masih dengan santai memakan gorengan yang dibelinya itu.
"Oke." Jawabnya santai.
Keesokan paginya ia langsung mengemas semua barang. Menemukan tempat tinggal baru dalam waktu sehari tentu saja bukan hal yang mudah ditambah ia tidak memegang uang sepeserpun untuk deposit awal.
Ia menduduki kedua kakinya yang terlipat ke dalam menghadap si pria asing.
"Maaf, tapi setidaknya untuk hari ini saja biarkan aku menitip barang - barang ini. Besok pasti akan aku ambil, aku mau menemui temanku dulu untuk izin menginap di rumahnya. Temanku sangat banyak jadi aku bingung harus menghubungi siapa terlebih dahulu." Barang - barang yang sudah di kemas itu di taruh di pojok ruangan dekat dapur.
Sore harinya si pria yang menjadi penghuni baru kost itu pergi ke warung kopi dekat kost-an untuk beli beberapa mie instan dan es teh manis dingin. Sembari menunggu pesanannya sedang disiapkan, ia duduk di bangku panjang yang memang disediakan untuk pengunjung yang datang. Di sampingnya ada seorang pria yang terduduk lemas, keningnya saling bersentuhan dengan meja yang ada di depan mereka. Pria itu terus memperhatikan orang di sampingnya. Walau sudah di perhatikan lebih dari sepuluh menit, orang yang di sampingnya itu bahkan tidak bergerak sesenti pun. Tipe orang yang akan mengkhawatirkan jika dibiarkan pergi keluar sendiri.
"Permisi." Sapanya. Si pria di sebelahnya ini akhirnya bergerak, mengangkat kepala dan menengok ke arahnya.
"Hehe, maaf ya ganggu. Tolong ambilkan kerupuk yang ada di keranjang itu." Pintanya sambil menunjuk keranjang yang berada di samping pria lesu, tanpa memperdulikan raut wajah masam si pria itu yang terpampang jelas. Untung Nya orang itu mau mengambilkan kerupuk yang diinginkan tanpa mengendapkan emosi.
"Eh, bukan. Yang kerupuk kulit." Berakhir dengan seluruh keranjang berisi kerupuk itu diberikan kepadanya.
"Makasih. Muka kamu familiar, kayak pernah liat." ia memilih beberapa kerupuk kulit di keranjang itu dan memilih yang menurutnya memiliki rasa asin yang kuat.
Raut wajah yang sudah masam itu bertambah buruk karena seseorang yang semakin membuat percikan kekesalan dalam dirinya membesar.
"Tinggal di daerah sini juga?" Tanya si manusia kerupuk kulit ke pria di sebelahnya itu.
"Tinggal di kontrakan dekat persimpangan gang disana. Kontrakan pintu ke tiga." Jawabnya dengan malas.
"Eh?! pintu ketiga itu tempat tinggalku" ia mengalihkan atensinya menatap lekat pria di sebelahnya dengan raut kebingungan.
"Iya, itu tempat tinggalku. Setidaknya sekitar tujuh jam yang la-"
"Ooh, si orang latihan terjatuh!" Ia menjentikan jari dengan semangat dan mengatakan tebakannya itu lantang dengan telunjuk yang dengan pasti menghadap si pria murung.
Orang itu kembali mempertemukan keningnya dengan meja yang dilapisi plastik berbagai merk air mineral itu dengan agak membenturkan kepalanya.
Keadaan kembali hening. Tidak lama setelahnya si ibu warung kopi itu memanggil si orang asing tanda memberi tau bahwa es teh manis pesanannya itu sudah siap. Agak mengherankan, masih ada yang dapat sabar menunggu pesanan yang hanya sekedar es teh manis sampai lebih dari sepuluh menit. (Beberapa minggu lalu ada seorang ibu bersama dua anak kecil datang ke warung itu untuk memesan mie rebus. Selang dua menit waktu berlalu, si ibu mengamuk dengan alasan pelayanan yang lelet lalu meninggalkan warung yang tengah menyiapkan pesanannya itu). Selesai dengan pesan nya, ia kembali duduk ke tempat semula.
"Kapan mau ambil barang untuk di pindah ke tempat "izin" yang baru?" Pria murung memiringkan kepala menghadap si pemberi pertanyaan.
"Jangan langsung sombong hanya karena berhasil menjinakan para pemain not acak itu. Teman ku itu terlalu banyak, jadi aku masih menentukan ingin meminta izin kepada siapa. Mengusir orang bisa terkena pasal, ini peringatan." Rentetan perkataan diucapkannya. Jujur saja ini perilaku yang sangat tidak dewasa karena menjadikan si pria yang duduk di sampingnya sebagai objek pelampiasan. Teman tidak ada, menghubungi keluarga seakan bisa menjadi dosa terbesar sepanjang sejarah hidupnya. Yang dirinya lakukan hari ini hanya berjalan kaki mengelilingi kota tanpa satu pun solusi yang terlintas di otaknya.
Si pria asing mengambil es teh manis dari dalam kresek di hadapannya, menggigit ujung plastik guna mempermudah diri meminum es teh pesannya itu. Niat awal ingin di minum di rumah, rapi setelah pertimbangan besar di kepalanya, dia tidak bisa membiarkan cita rasa teh berubah karena es yang mencair.
"Tapi aku tidak bilang sesuatu seperti ; keluar dari sini atau tempat ini sekarang milikku dan tertawa nyaring seperti pahlawan di animasi yang remaja zaman sekarang saksikan." ia kembali menyedot minuman di tangannya, sesekali menggigit - gigiti es batu yang ada sebelum mencair.
Si pria lesu tertegak menjauhkan badannya dari meja dengan yang mendorong tepian meja. Ia menatap pria di sebelahnya yang sedang meminum teh melalui ujung plastik.
"Tung...gu, memang tidak ada suara tertawa yang nyaring. Tapi, maksudnya?" Kini berganti posisi, si pria murung yang lontarkan tatapan kebingungan ke arahnya.
"Ya, aku tidak mengusir. Kamu pemilik awalkan, tinggal saja. Lagi pula tinggal sendiri agak membosankan jug-" Si pria lesu meraih kedua tangannya memberikan genggaman erat dengan pandangan mata yang berbinar.
"Ayo pulang!" Ajaknya dengan nada yang sangat bersemangat. Tanpa ada pertanyaan atau meminta penjelasan lebih. Singkat, padat, dan menguntungkan sucah cukup untuknya. Ia mengambil jalan yang paling berdampak bagus untuknya.
-
Dua bulan berlalu. Pria yang berniat membalas dendam untuk kepada orang rumahnya itu kini sekarang sudah hidup dengan lebih nyaman. Semua karya nya di gemari sana-sini, baik dari cerita pendek, artikel, dan juga komik-strip buatannya. Banyak media yang menekan kontrak dengannya, setiap mengadakan acara bedah buku atau sekedar sign event biasa pasti ramai yang datang dari segala kalangan. Bahkan penjualan novelnya selalu sold dimana-mana.
Semua orang menyukai karya nya, banyak yang menunggu dan selalu menanti-nanti karya nya itu. Tapia da satu hal yang di sayangkaa. Setiap akan menandatangani kontrak, ia pasti meminta tambahan syarat pada kontrak, yaitu agar dirinya tidak diminta untuk membuat cerita kapanpun dan hanya akan menerbitkan ketika ia memang sedang membuat karya.
Hal ini lumayan menjadi pertanyaan banyak media. Banyak karya yang dibuatnya berdasarkan imajinatif, ia juga lebih dalam berjalan di cerpen, apa salahnya untuk membuat satu cerpen dalam seminggu. Banyak beberapa media juga yang jadikan hal ini sebagai pertanyaan desakan, selalu di tanyakan kapan pun itu. sampai salah seorang wartawan berhasil mendapatkan jawaban.
'Rasa sakit dari apa yang harus aku bayar, tidak dapat sembuh dengan mudah. Jangankan seminggu, setahun saja buka waktu yang cukup kurasa.'
Setelah pernyataan itu, tidak ada lagi yang membahas tentang alasan dari syrat anehnya itu. Kini media lebih mempertanyakan, apa yang membuat rasa sakit itu menyelimutinya.
"Wahh, aku juga berpikir seperti itu. Jangan setahun mungkin ratusan tahun juga tidak cukup. Itu pun kalau masih bisa bertahan selama lebih dari setahun." Ujar seseorang yang sedang bersantai sambil makan gorengan dan ditemani oleh es teh manis dingin.
"Kapan terakhir kali aku bertemu dengannya, yah. Para media bilang dia orang yang gigih dalam membuat karya walau mereka anggap semua itu sampah. Jadi aku pikir memberikan keberuntunganku merupakan hal yang bagus untuknya. Lagi pula dari awal bukan berada di bidang ini, hanya karena keberuntungan itu berpindah padaku dan memberiku kemampuan menulis ini, bukan berarti aku dapat menerimanya dengan mudah. Aku hanya terjebak, ternyata ia juga kesulitan, ya. Aku kira ia orang yang rela membayar dengan nyawa pun asal karya nya mendunia. Sepertinya untuk hal yang satu itu memang sulit."
-
Pagi ini mereka berdua sedang sarapan Bersama sembari menonton animasi yang menyindir kinerja petinggi dengan dibalut berbagai lelucon receh untuk mengundang para penikmat.
"Aku ini sebenarnya sudah lelah menulis dan menanggung semua efeknya. Kau mau menggantikanku? Merawat peri keberuntungan yang menyusahkan ini." Tawaran aneh yang di dilontarkan si pria asing membuatnya tersedak, agak terbatuk. Tidak apa tinggal dengan orang aneh di banding tidak tinggal dimanapun.
"Kau ingin menyombongkan diri karena memiliki keberuntungan di sisimu? Begitu maksudmu? Memancing rasa iri orang lain bisa berakibat buruk, loh." Sebuah peringatan ringan di berikan kepada si pemberi tawaran.
"Sabar, aku tidak ada niatan buruk. Ini sebuah tawaran langka. Apa lagi dia merupakan terunan ke delapan dari bangsa yang kuat, Tapi efek juga akan sekuat hasilnya." Jelasnya.
"Berarti tidak efektif. Karena di bawah yang ke-tujuh?" Ia tidak ambil pusing dan menjawab tawaran random itu dengan segala kata yang tidak sengaja melintas di kepalanya, berbuah tamparan ringan didapatkan di dahi.
"Tadi bukan tawaran serius, kalau berminat langsung bilang saja." Tawaran tidak serius yang kesekian kali kembali diajukan.
Mereka kembali terdiam, hanya suara - suara dari benda persegi buka tutup di hadapan mereka yang memenuhi ruangan. Si pria pemberi tawaran tadi perlahan merekahkan senyumnya dan terkikik. Ia tentu saja penasaran, animasi yang sedang mereka tonton itu belum memasuki bagian punch line. "Ada apa?"
"Sepertinya dewi fortuna memang berpihak kepadaku. Kalau tadi penawaran mutlak, aku pasti sedang dalam masalah besar sekarang."Ia kembali tertawa, abai dengan pria di sampingnya yang menjadi semakin bingung itu.