Begitu melodi awal merambat keluar dari speaker, udara kamar Rey seperti tersendat. Dinding putih bergetar patah-patah, mirip video buffering dengan sinyal jelek. Lantai ubin ikut nyelip—kadang terasa keras, lalu empuk kayak karpet, lalu kembali keras lagi.
Tubuh Rey sendiri terasa ikut nge-lag. Gerakan tangannya waktu mengucek mata tersendat, kayak animasi drop frame. Ia menatap jemarinya—dan kaget melihat tangan kanannya bergetar patah-patah, sebagian transparan seolah koneksi WiFi hidup-mati.
Kipas angin di pojok kamar yang tadi berdengung pelan tiba-tiba patah-patah. Suaranya berubah jadi campuran krzzzt—piiip—klik seperti radio rusak. Bahkan denting piano di speaker ikut sumbang: sesekali nada indahnya bergeser jadi bunyi error Windows.
Di meja, layar ponselnya berkedip singkat. Ada notifikasi aneh muncul:
“Loading… Universe Update 17%. Please do not turn off your device.”
Rey nggak sempat baca. Ia sibuk mengucek-ucek matanya lagi, meski gerakannya sendiri delay setengah detik.
“Waduh, jangan-jangan aku kurang tidur… atau ini efek lembur bikin RPP kebablasan?” gumamnya, setengah panik setengah absurd.
Ia buka mata lagi. Dinding kamar sudah bergeser, seperti wallpaper diganti manual tapi nyangkut setengah jalan. Lantainya berkedip, lalu klik! mendadak penuh jejak cat semprot dan bau lem menyengat. Rey melongo, jantungnya loncat setengah irama denting piano.
“Ya ampun… jangan-jangan speaker-ku upgrade sendiri jadi mesin waktu. Lah, Doraemon aja bisa pensiun kalau gini caranya.”
Suara tawa, langkah panik panitia, dan letupan balon pecah bercampur jadi latar. Rey memicingkan mata, napasnya ngos-ngosan seperti habis loncat dari bus antar-kota. Aula SMA terbentang di depannya: spanduk inagurasi dengan huruf miring seenaknya, lantai belepotan cat semprot, dan aroma lem yang nyegrak menusuk hidung.
Ia mengangkat tangan, memastikan. Jemarinya sudah nggak nge-glitch, tapi masih gemetar. Untuk meyakinkan diri, ia menepuk pipinya. Plak! sakitnya nyata.
“Waduh… fix ini bukan mimpi siang bolong,” gumamnya.
Matanya menyapu sekitar. Panitia sibuk berlarian membawa gulungan kain, ada yang kepleset kena balon, ada juga yang ribut nyari isolasi bening. Rey berdiri bengong di tengah keramaian.
“Ini… ini jelas bukan kamar kos. Jangan-jangan PLN salah colok listrik ke dimensi lain? Atau Indihome lagi uji coba paket unlimited multiverse?”
Belum sempat ia mikir lebih jauh, seorang panitia lewat di depannya… dengan cara jalan mundur. Tanpa alasan jelas, cowok itu melangkah kebelakang sambil menggenggam balon. Hingga tiba-tiba—DAR! Balon pecah keras, membuat semua orang menoleh, bahkan Rey ikut melompat kaget.
Rey menatap panitia itu dengan dahi berkerut. “Lah, orang normal jalan maju… ini malah cosplay ketua OSIS versi rewinding?”
Kekacauan kecil itu masih berputar di kepala Rey ketika matanya menangkap sesuatu di sudut aula. Di antara gulungan kain, kertas warna, dan panitia yang sibuk, ada sosok duduk tenang: Tara remaja. Rambutnya diikat seadanya, beberapa helai nakal jatuh menutupi kening. Tangannya belepotan lem, jari-jarinya sibuk menempel kertas yang tak mau menempel.
Rey menatap sekilas lalu buru-buru berpaling, pikirannya masih diliputi bingung. Ini apa-apaan sih… aku ketiban glitch OSIS? Ia bahkan sempat mengucek matanya lagi, seolah masih berharap bisa balik ke kamar kos.
Namun ketika ia membuka mata, pandangannya bertumbuk tepat dengan Tara. Gadis itu sudah lebih dulu menoleh, menatapnya sesaat—lalu tersenyum tipis.
Senyum sederhana, singkat, seakan tanpa maksud apa pun. Tapi di mata Rey yang kalang-kabut, senyum itu terasa seperti notifikasi paling absurd sepanjang hidupnya.
“Lah… kok malah senyum? Jangan-jangan aku kelihatan kayak penonton nyasar di acara OSIS?” gumamnya lirih.
Rey terdiam. Senyum tipis itu singgah seperti not balada yang salah ketik di partitur—aneh tapi justru bikin dada ikut bergetar. Ia refleks mengucek mata, berharap itu cuma error visual. Tapi begitu membuka lagi, Tara masih di sana. Masih dengan rambut awut-awutan, jari belepotan lem, dan… senyum itu.
“Mas, kok bengong? Jangan-jangan panitia titipin balon pecah ke kamu juga?” Tara menatapnya heran, lalu terkikik kecil.
Rey panik. “Eh—nggak! Aku… cuma lagi loading otak. Lagian aku bukan panitia, aku… eh…”
Ia menunduk, baru sadar seragamnya hilang. Yang ia pakai sekarang jelas bukan baju kantor ASN, melainkan kaos lusuh dengan logo klub anime yang bahkan dulu aja nggak laku dijual di bazar sekolah.
“Waduh,” Rey bergumam lirih, “ini outfit nostalgia siapa yang bocor ke realitas?”
Tara makin bingung, tapi bukannya curiga, ia justru tersenyum lebar. “Ya udah, kalau kamu bukan panitia, bantu aku aja tempel kertas ini. Jarinya udah nggak kuat.”
Rey melangkah pelan, masih separuh bingung. Tapi ada sesuatu dalam tatapan Tara yang bikin ia lupa bertanya kenapa dirinya bisa nyangsang di sini.
Rey masih sibuk ngucek-ngucek tangannya yang belepotan lem.
“Waduh, lengketnya kayak utang di warung, nggak bisa lepas-lepas.”
Tara terkikik, lalu meraih sepotong tisu lusuh dari meja. “Sini, Mas. Nih, biar agak mendingan.”
Rey menerimanya, tapi tisu itu malah ikut nempel ke jarinya.
“Ya ampun,” keluhnya, “jadi kayak cosplay mumi dadakan.”
Tara sampai menahan tawa, bahunya berguncang. “Kalau panitia lain lihat, bisa-bisa kamu dijadikan properti dekorasi.”
Rey nyengir, meski dalam hati mulai sadar: momen absurd inilah yang dulu ia lewatkan. Dan sekarang, ia betulan ada di dalamnya.
Dentum piano masih mengalun, tapi Rey pelan-pelan sadar ada sesuatu yang janggal: setiap kali nada panjang menggema, udara aula ikut bergelombang seperti layar komputer yang nge-freeze sebentar. Bahkan, dari sudut pandangnya, langit-langit aula sempat bergaris-garis pixel, lalu kembali normal.
“Eh… ini aula pakai proyektor 4D, apa gimana?” gumamnya, menoleh ke sekeliling.
Namun sebelum paniknya makin jadi, Tara menatapnya lagi — kali ini lebih lama, dengan senyum kecil yang anehnya bisa merontokkan rasa waswas.
Rey refleks garuk kepala. “Yah, kalaupun ini dunia error, setidaknya error-nya bikin hati adem.”
Di dalam kepalanya, suara lain langsung menukas, “Waktu nggak lama, Rey. Ini cuma numpang lewat.”
Tapi justru karena itu, ia ingin memanfaatkan tiap detik. Kalau dulu ia cuma bisa mengagumi Tara dari jauh, kini ia punya kesempatan untuk sekadar bercakap, bercanda, dan mungkin… menebus masa lalu yang tak pernah sempat.
Nada piano terus berulang, makin lama makin terasa seperti countdown. Setiap dentingnya membuat cahaya aula berkedip-kedip, seolah lampu mau padam. Rey menatap sekeliling, degup jantungnya ikut terseret ritme.
“Waduh, ini bukan cuma mesin waktu, tapi paket wisata terbatas,” gumamnya.
Tara, yang sedang menempel kertas warna di dinding, melirik sambil menyipit. “Mas ngomong apa, sih? Dari tadi kayak komentator bola tapi nggak nyambung.”
Rey tergelak, tapi dalam hati mulai resah. Tangan kanannya sempat glitch lagi—jari-jarinya jadi transparan sesaat sebelum kembali normal. Ia buru-buru sembunyikan di balik punggung.
Gawat. Jangan-jangan aku sebentar lagi ditendang balik ke kos.
Tapi begitu Tara tiba-tiba tersenyum — senyum sederhana yang sama seperti dulu ia simpan diam-diam di ingatan — Rey malah makin ragu.
“Duh, kalau balik sekarang, rasanya kayak nonton anime di-skip pas openingnya doang. Nggak rela, sumpah.”
Di antara bising panitia dan bau lem, Rey berdiri di persimpangan absurd: apakah ia harus menerima kenyataan glitch yang kian menguat, atau nekat bertahan walau tahu waktu sebentar lagi menyingkirkan dirinya?
Tepat saat denting terakhir piano terdengar, tubuh Rey bergetar hebat. Pandangannya pecah jadi ribuan piksel. Aula, spanduk, Tara, semuanya melesat menjauh.
Dan seketika—
Rey membuka mata di kamar kosnya. Speaker kecil di meja masih mengalunkan gema terakhir Endless Rain. Udara lembap kembali menempel di kulitnya, dinding putih dingin seperti tak pernah berubah.
Ia menghela napas panjang, separuh lega, separuh getir.
“Yaelah… beneran cuma glitch musik, atau jangan-jangan… Doraemon lagi iseng sama aku?”
Rey terkekeh kecil, tapi senyum itu cepat luntur. Entah refleks atau apa, ia mengatupkan jari telunjuk dengan jempol. Seketika, ada sensasi lengket samar, persis seperti lem yang tadi ia pegang di aula.
Matanya membesar. “Hlo… kok masih ada sisa?”
Ia menatap tangannya lekat-lekat. Tak ada noda, tak ada bekas. Tapi rasa lengket itu jelas nyata.
Dan di balik absurdnya, hatinya tahu, senyum Tara remaja barusan terlalu hidup untuk sekadar mimpi.
(Ini hanyalah kisah alternate dari perjalanan Reyandra–Tara, yang di cerita aslinya berjudul Saat Angin Menyimpan Nama. Kalau penasaran bagaimana dunia mereka tanpa glitch absurd ini, silakan mampir baca… ku tunggu hlo 🤭)