Hujan malam itu turun dengan deras, menghantam atap rumah tua di pinggiran kota seolah ingin membangunkan sesuatu yang telah lama tertidur. Jalanan sunyi, hanya genangan air yang memantulkan cahaya lampu jalan yang redup, menciptakan bayangan yang bergerak seperti mahluk hidup. Aulia menekan payungnya lebih erat, membiarkan udara dingin menembus jaketnya, tetapi hatinya tetap terasa hangat—sebuah perasaan yang aneh, seolah rumah itu sendiri menyambutnya.
Rumah itu, yang diwariskan keluarganya, tampak seperti bangunan yang ditinggalkan waktu. Catnya memudar, kayu mulai retak, dan jendela-jendela berdebu menyembunyikan apa pun yang mungkin bergerak di baliknya. Tapi sejak pertama kali membuka pintu, Aulia merasakan ada getaran halus, seperti panggilan yang tidak bisa dijelaskan. Angin malam berhembus melalui celah-celah jendela, membelai rambutnya, seolah mengundangnya masuk.
Langkah pertamanya di dalam rumah itu menimbulkan suara papan kayu yang berderit. Lorong panjang terbentang di depannya, gelap dan sepi, tetapi di setiap sudutnya, bayangan tampak bergerak cepat, lenyap sebelum ia sempat menatapnya. Suara-suara samar terdengar, langkah-langkah yang seolah mengikuti, tapi ketika ia menoleh, lorong itu kosong. Rasa takut menghantuinya, tapi rasa penasaran lebih kuat; ia ingin menyingkap rahasia rumah ini, ingin menghadapi sesuatu yang tersembunyi di balik bayangan.
Di ruang tamu, cermin tua berdiri di atas perapian berdebu. Bingkainya berukir rumit, tampak seperti mata yang selalu mengawasi. Aulia menatap pantulannya sendiri, tetapi matanya menangkap sesuatu yang lain: sosok seorang pria muncul di cermin, wajahnya samar, dengan mata merah lembut yang menembus ke dalam hatinya.
Jantungnya berdegup kencang. Tangannya gemetar saat ia melangkah mendekat.
“Siapa… kamu?” bisiknya, suaranya nyaris tenggelam di gemuruh hujan dan desau angin.
Pria itu tersenyum, senyum yang anehnya membuatnya hangat meski dingin menusuk tulang. “Aku menunggumu, Aulia,” bisiknya lembut, penuh misteri, tapi ada sesuatu di balik kata-katanya yang membuatnya merasa ia dikenal lebih dari yang seharusnya.
Malam itu, Aulia tidak tidur. Ia duduk di lantai kayu, menatap cermin, mencoba menangkap setiap bayangan Arka. Setiap kali matanya berfokus, bayangan itu selalu bergerak, tersenyum, mendekat, lalu menghilang begitu cepat. Ada sensasi aneh saat ia menatap bayangan itu, seperti ada tarikan halus ke dalam dunia lain, dunia yang tidak pernah ia kenal sebelumnya.
Hari demi hari, kehadiran Arka menjadi semakin nyata. Ia tidak pernah sepenuhnya terlihat, tetapi Aulia merasakan sentuhannya di udara, mendengar desahnya di lorong sepi, bahkan merasa kehangatan yang menenangkan setiap kali ia berbicara kepadanya melalui cermin. Mereka mulai berbicara dalam keheningan, menggunakan kata-kata yang hanya bisa dimengerti oleh hati, bukan telinga.
Namun cinta ini menuntut harga. Semakin Aulia dekat dengan Arka, semakin dunia nyata menjauh. Suara keluarga terdengar samar, cahaya pagi redup, dan makanan atau tidur menjadi hal yang sulit dijalani. Setiap malam bersama Arka adalah taruhan antara kehidupan dan kehilangan diri. Meski begitu, ia tidak bisa menolak tarikan itu, tidak bisa menolak bayangan yang membuat hatinya berdetak liar.
Suatu malam, hujan mengguyur deras, angin melolong seperti makhluk kelam. Arka membawa Aulia ke ruangan cermin—sebuah labirin kaca yang seolah tak berujung. Ribuan bayangan memantul di kaca, menciptakan lorong tanpa akhir. Arka menatapnya dengan mata merah lembut itu, intens dan menembus ke dasar hatinya.
“Aulia,” katanya lembut, “kau harus memilih. Tetap bersamaku di sini, atau kembali ke dunia nyata. Tetapi ketahuilah, jika kau kembali, kau mungkin tidak pernah melihatku lagi.”
Aulia menatap pantulan dirinya sendiri di antara ribuan pantulan Arka. Hatinya berdebar, matanya berkaca-kaca, tetapi ia tidak bisa berpaling. “Aku memilihmu,” bisiknya, suara nyaris tenggelam di deru hujan dan bisikan bayangan.
Arka tersenyum, dan bayangan mereka menyatu sepenuhnya. Dunia di sekeliling mereka berubah menjadi kabut pekat, malam tanpa batas, hanya mereka berdua dan bisikan bayangan yang menari liar. Dalam kegelapan itu, cinta mereka bersinar sekaligus menakutkan, setiap detik adalah tarian antara kenyataan, mimpi, dan kegelapan yang mendalam.
Hari berikutnya, rumah tua itu tampak biasa—sunyi, kosong, seolah tidak pernah ada bisikan atau bayangan malam sebelumnya. Namun Aulia tahu, cinta yang ia rasakan bukan untuk dunia nyata. Ia tersenyum, menatap cermin tua yang tampak biasa, dan berbisik, “Sampai jumpa, Arka.”
Dan di balik cermin, Arka tersenyum, menunggu malam berikutnya, menunggu sentuhan yang akan membawa mereka kembali ke lorong gelap itu, di mana cinta dan kegelapan menjadi satu, di mana cinta mereka abadi meski dunia nyata tetap menolak.
Hujan masih turun ketika malam datang lagi, menutupi rumah tua dengan tirai air yang berdesir di genteng. Aulia berdiri di ruang tamu, menatap cermin tua yang tampak biasa di siang hari. Tapi ia tahu—di balik kaca itu, Arka menunggunya, dengan mata merah lembut yang menembus ke dalam hatinya.
Langkahnya menuju cermin terasa berat, seolah lantai kayu menolak setiap gerakan. Lorong-lorong rumah yang sebelumnya tampak statis kini bergerak. Bayangan panjang menari di dinding, menunduk, membungkuk, lalu menyingkir begitu ia menoleh. Hati Aulia berdebar, tetapi tarikan itu terlalu kuat untuk diabaikan. Ia mendekat, menatap bayangan Arka yang muncul samar.
“Selamat datang kembali,” suara Arka lembut, nyaris berbaur dengan deru hujan. “Aku sudah menunggumu.”
Aulia menelan ludah. “Aku… aku takut,” bisiknya, meski hatinya merasakan sesuatu yang hangat, hampir seperti rindu yang meresap ke tulang.
Arka tersenyum, mendekat hingga bayangannya menyentuh pantulan Aulia. Sensasinya bukan seperti sentuhan biasa; ada dingin yang menusuk, tetapi di bawahnya ada kehangatan yang membuatnya ingin menyerahkan diri sepenuhnya. “Tak perlu takut, Aulia. Aku di sini untukmu.”
Malam itu, Arka membawanya melintasi lorong-lorong rumah tua yang berubah menjadi labirin bayangan. Pintu-pintu muncul dan hilang, dinding kayu berubah menjadi kabut yang bisa ditembus. Setiap langkah membuat Aulia merasakan campuran takut dan penasaran—sebuah sensasi yang membuat napasnya tercekat, jantungnya berdegup kencang.
“Ini… dunia kita,” kata Arka. “Di sini, aku bisa menunjukkan segalanya, yang tak bisa kau lihat di dunia nyata.”
Aulia menatap sekeliling. Bayangan menari liar di lorong, membentuk sosok-sosok samar yang menatapnya. Ia ingin lari, tetapi tidak bisa; tarikan ke Arka terlalu kuat. Matanya bertemu tatapan Arka, dan semua ketakutan seolah lenyap sementara. “Aku… aku ingin tahu,” bisiknya.
Mereka berjalan lebih jauh, dan lorong berubah menjadi hutan gelap di bawah hujan malam. Setiap tetes air yang jatuh seperti bisikan, setiap bayangan seperti langkah yang mengikuti mereka. Aulia mulai merasakan sesuatu yang berbeda dalam dirinya—perasaan yang campur aduk antara cinta, ketakutan, dan ketergantungan.
“Kenapa aku merasa… ingin tetap di sini selamanya?” bisiknya, suaranya nyaris tenggelam di suara hujan dan desah angin.
Arka menatapnya dengan mata merah lembut yang menenangkan sekaligus menegangkan. “Karena kita ditakdirkan bersama, Aulia. Dunia nyata mungkin menolakku, tapi di sini… kau milikku.”
Dan ketika ia mengulurkan tangan, Aulia menyentuhnya. Sensasinya membanjiri seluruh tubuhnya: hangat, dingin, manis, dan pahit sekaligus. Ia tersadar, semakin dekat dengan Arka, semakin ia terikat dengan dunia bayangan ini. Setiap detik membuatnya sulit membedakan antara kenyataan dan mimpi, antara cinta dan kegelapan.
Malam itu berakhir dengan Aulia kembali ke kamar tidurnya. Rumah tua tampak seperti biasa, sunyi dan dingin. Namun di hatinya, sesuatu telah berubah. Ia tahu, malam berikutnya, Arka akan menunggu lagi, dan ia akan menyerah pada tarikan itu—lagi dan lagi—ke dunia di balik cermin, ke lorong bayangan yang penuh rahasia dan janji gelap.