Malam itu, hujan turun dengan renyai. Di sebuah rumah kampung lama, Aira duduk bersandar di tepi jendela sambil menatap pekatnya langit. Sejak dia berpindah ke rumah peninggalan neneknya, Aira sering merasakan sesuatu yang aneh. Kadang-kadang, seolah-olah ada mata yang memerhatikannya, namun tiada siapa pun di situ.
Suatu malam, saat bulan purnama penuh menggantung di langit, dia melihat siluet seorang lelaki berdiri di hujung halaman. Wajahnya samar, tubuhnya seakan kabur diselubungi cahaya pucat. Aira tidak menjerit, tidak juga melarikan diri. Ada sesuatu pada pandangan lelaki itu—mata redup yang sarat kesepian.
“Siapa… kau?” suara Aira bergetar, separuh berani, separuh takut.
Lelaki itu mendekat, namun kakinya tidak pernah menyentuh tanah. Senyuman tipis terukir di bibirnya.
“Namaku Ardan. Aku… sudah lama terikat di sini.”
Malam berganti malam, mereka bertemu di jendela yang sama. Aira bercerita tentang hidupnya, tentang kerinduannya pada kasih sayang, tentang betapa sunyinya dunia meski penuh manusia. Ardan pula bercerita tentang masa lalunya—dia mati muda, terbunuh dalam kemalangan yang tidak pernah sempat memberi salam terakhir kepada orang yang disayangi.
Aira mula sedar, dia jatuh cinta. Bukan pada manusia biasa, tetapi pada roh yang tak mungkin menyentuh dirinya. Dia ingin merasakan genggaman tangannya, ingin tahu bagaimana hangat pelukan lelaki itu, namun yang ada hanya angin dingin yang menembusi kulit.
Suatu malam, ketika hujan deras menggoncang genting, Ardan muncul dengan wajah sendu.
“Aira… waktuku hampir habis. Esok, rohku akan dipanggil pergi. Aku tidak boleh lagi kembali ke sini.”
Air mata Aira mengalir tanpa mampu ditahan. “Jangan… aku belum bersedia melepaskan kau.”
Ardan mendekat, tubuhnya semakin pudar. Dia mengangkat tangannya, lalu untuk sesaat...hanya sesaat...Aira merasakan jemari dingin itu menyentuh pipinya.
“Cinta itu bukan tentang memiliki, Aira. Ia tentang merasai… meski hanya sekejap.”
Dan kemudian, cahaya bulan menelan dirinya. Ardan lenyap, meninggalkan Aira dengan dada yang berat.
Namun sejak malam itu, setiap kali Aira membuka jendela dan membiarkan angin malam menyapa wajahnya, dia tahu… cinta itu masih ada. Tidak kelihatan, tidak tersentuh, tetapi hidup di hatinya.