Malam itu terasa tenang, terlalu tenang bahkan, seakan rumah menahan napasnya sendiri. Aku sedang menulis di meja ruang tamu, menunggu suara langkah-langkah yang biasa datang dari lantai atas. Mereka—ibu, ayah, adik—selalu punya caranya sendiri untuk terdengar, entah pintu berderit, entah batuk kecil yang seperti tanda bahwa aku tidak sendirian. Malam itu pun sama: ada suara, samar, meyakinkan. Aku hampir bisa mendengar ayah sedang menuruni tangga, langkahnya pelan, berat, seolah mencoba tidak membangunkan siapa pun.
Aku menunggu ia muncul di ambang pintu. Namun pintu itu tetap kosong, dan hanya kosong. Dan di kekosongan itu, aku teringat sesuatu yang mestinya tidak aku lupakan: tangga di rumah ini sudah dibongkar bertahun-tahun lalu.