Kieran menatap jendela kamar mansionnya dengan senyum tipis, hampir tak terlihat di cahaya lampu remang. Hujan deras menimpa kaca, menimbulkan garis-garis air yang menempel seperti jejak yang tak pernah hilang. Ia bukan anak biasa; manipulasi dan obsesinya adalah bagian dari dirinya, senyawa yang ia pakai untuk mengatur dunia kecilnya. Dan Elea, gadis yang tanpa sadar mengisi pikirannya sejak pertemuan pertama, kini menjadi fokus obsesinya.
Ia tidak pernah salah memprediksi manusia setidaknya, itulah yang selalu ia yakini. Tapi Elea berbeda. Gadis itu keras kepala, tajam, kadang menjauh dan mengusik keseimbangan yang selalu ia jaga. Kieran menyukai tantangan itu. Ia menyukai cara gadis itu membuatnya merasa harus “menguasai” emosinya, membuatnya menunggu, membuatnya mengatur jalannya perasaan tanpa terdeteksi. Setiap tatapannya, setiap gerak tubuhnya, menjadi teka-teki yang ingin ia pecahkan, bahkan jika itu berarti harus memaksa keadaan.
Ia duduk sejenak, menutup mata, membiarkan pikirannya menelusuri masa lalu. Sejak kecil, Kieran telah belajar bahwa manusia tidak bisa dipercaya. Ia menyaksikan pengkhianatan, kehilangan, dan kekosongan cinta yang membentuk obsesinya. Setiap interaksi adalah perhitungan, setiap senyum bisa menjadi jebakan. Dan ketika ia bertemu Elea, sesuatu dalam dirinya tersulut ia melihat tantangan, sebuah teka-teki emosional yang harus ia pecahkan.
Malam itu, ia mengirim pesan singkat yang telah ia siapkan dengan cermat: “Aku ingin berbicara. Sendirian.” Ia tahu, Elea tidak bisa menolak undangan itu. Tidak sepenuhnya. Ia tahu bahwa gadis itu penasaran, dan rasa ingin tahu adalah celah yang sempurna untuk Kieran. Setiap detik yang ia tunggu untuk melihat responsnya adalah kesenangan tersendiri; kontrol mulai bekerja sebelum pertemuan benar-benar terjadi.
Elea muncul tepat di balkon mansion dua jam kemudian. Hujan membasahi rambutnya, tapi tatapannya tetap tajam, menantang. “Kenapa kau memanggilku?” Suaranya bergetar sedikit, tapi Kieran mendengar nada takut yang samar. Dan itu memuaskannya, menegaskan kekuasaan yang ia miliki atas interaksi ini.
“Karena kau selalu menjauh,” jawab Kieran santai, seolah ia tidak terlalu peduli, padahal hatinya berdegup lebih cepat dari biasanya. “Aku ingin tahu, apakah kau benar-benar kuat, atau hanya berpura-pura.”
Elea menatapnya tajam. “Aku tidak tahu siapa kau sebenarnya, tapi aku tahu… kau berbahaya.”
Kieran tersenyum tipis. “Berbahaya? Itu hanya perspektif. Bagiku, ini… permainan.” Ia melangkah lebih dekat, hujan membasahi jasnya, tapi matanya tetap fokus pada gadis itu. “Permainan yang tidak bisa kau tolak.”
Elea mengerutkan dahi, menahan napas. Ada sesuatu dalam tatapan Kieran yang membuatnya ragu, tapi ia tidak bisa mundur. Kieran selalu tahu cara memanipulasi, cara membuat orang tetap di dekatnya, cara membuat mereka berpikir bahwa setiap pilihan mereka adalah keputusan mereka sendiri padahal semuanya telah diatur. Ia menikmati melihat bagaimana rasa ingin tahu dan ketakutan Elea bergumul di wajahnya.
Mereka berdiri di balkon, hujan deras membasahi mereka. Kieran memegang tangan Elea tiba-tiba, keras tapi terkontrol. “Jangan pernah pergi. Aku tidak bisa… kehilanganmu,” katanya rendah, tapi intens. Ada obsesi dalam suaranya yang membuat Elea menelan ludah.
“Ini… gila,” gumam Elea, menarik tangannya sedikit, tapi Kieran menahannya lebih erat. “Kau… kau terlalu dekat!”
“Terlalu dekat? Aku baru saja mulai,” jawab Kieran, senyum tipis kembali muncul. “Kau pikir kau bisa berjalan begitu saja, menjauh dariku? Aku akan memastikan kau tetap di sini, bahkan jika itu berarti kau harus tunduk padaku.”
Elea menatapnya, antara takut dan penasaran. Kieran selalu begitu selalu satu langkah lebih maju, selalu menilai, selalu mengatur. Dan gadis itu, tanpa sadar, terbawa oleh dirinya. Ada sesuatu yang gelap dalam dirinya, tapi juga menarik, bahkan memabukkan.
Keesokan harinya, Kieran memperhatikan setiap gerak Elea dari kejauhan. Ia menandai pola langkahnya, cara ia menunduk saat membaca, cara rambutnya jatuh menutupi wajahnya. Semua itu menjadi bagian dari peta obsesinya, sebuah jaringan yang ia bangun untuk memastikan bahwa Elea selalu berada di bawah pengaruhnya.
Malam-malam berikutnya diisi dengan ketegangan yang hampir menyakitkan. Kieran selalu menempatkan dirinya di antara Elea dan dunia luar, membuatnya merasa aman sekaligus terkekang. Setiap pesan, setiap pertemuan, setiap tatapan adalah alat bagi Kieran untuk mengukur kontrolnya. Elea merasakan ikatan yang kuat, tapi juga terperangkap, dan ia tidak bisa sepenuhnya menghindar.
Kieran sering menguji batas Elea. Ia meninggalkan pesan samar yang membuat gadis itu gelisah, meninggalkan tanda-tanda kecil di mansion yang memaksa Elea berpikir tentang keberadaannya, kadang tiba-tiba muncul saat Elea merasa aman, membuatnya sadar bahwa Kieran selalu mengawasi. Setiap tindakan itu, menurut Kieran, adalah bentuk perlindungan dan penguasaan sekaligus obsesi yang menegaskan dominasi emosionalnya.
Di balik semua itu, Kieran terus memutar pikiran. Ia tahu bahwa obsesi bisa menjadi pedang bermata dua. Ia bisa kehilangan kendali jika terlalu memaksa, tapi membiarkan Elea bebas berarti membiarkan dirinya sendiri kosong. Ia tidak bisa hidup tanpa tarikan itu, tanpa rasa bahwa setiap gerak Elea adalah hasil dari pengaruhnya. Ia merasakan ketergantungan yang menyiksa, tetapi juga memuaskan.
Suatu malam, saat hujan semakin deras, Kieran membawa Elea ke balkon lagi. Ia menatap mata gadis itu, basah oleh hujan dan air mata yang tak jatuh. “Aku tidak akan membiarkanmu pergi,” kata Kieran, suaranya rendah dan bergetar, tapi penuh obsesi. “Kau milikku, Elea. Aku sudah memastikan itu sejak hari pertama.”
Elea menatapnya, jantungnya hancur dan terpikat sekaligus. Ia ingin lari, tapi kakinya terasa membeku. Kieran melangkah lebih dekat, mengangkat dagunya dengan satu tangan, membuat mata mereka bertemu dalam intensitas yang mematikan.
“Lihat, kau ingin menolak, tapi aku tahu… kau tidak bisa. Kau selalu kembali. Setiap pilihanmu, setiap langkahmu, membawamu padaku. Kau bahkan tidak sadar aku telah membuatmu tergantung padaku.”
Elea menelan ludah, merasa ada sesuatu yang memaksa dalam obsesi Kieran. Tapi di balik ketakutan itu, ada tarikan yang membuatnya tidak bisa menolak. Ada cinta, tapi gelap, berbahaya, dan intens sebuah obsesi timbal balik yang membuat keduanya terjerat.
Hujan malam itu turun terus, dan mereka berdiri di balkon, saling menatap, dekat tapi juga menahan jarak yang tidak pernah ada sebelumnya. Kieran tahu ia menang; ia selalu menang. Dan Elea, meski ketakutan, sadar bahwa ia tidak bisa lepas.
Kieran tersenyum tipis, menatap wajah Elea yang basah, dan berbisik, “Kau tidak akan pernah bebas dariku. Dan aku… tidak ingin kau bebas. Kau milikku. Selamanya.”
Angin malam menggigit kulit mereka, hujan membasahi seluruh tubuh, namun keduanya tetap berdiri, terperangkap dalam obsesi satu sama lain. Kieran tahu, ini baru awal dari permainan yang ia mainkan dan ia menikmati setiap detik, setiap ketegangan, setiap tarikan emosional. Ia menelan rasa puasnya, karena ia telah menemukan hal yang membuatnya hidup: Elea.
Di dalam kamar Kieran setelah hujan reda, ia duduk menatap jendela lagi, mengingat momen-momen kecil: tawa Elea yang menantang, tatapan tajamnya, ketegangan yang selalu ia rasakan ketika gadis itu berada dekat. Kieran menyadari, obsesinya bukan hanya tentang menguasai, tapi tentang menciptakan ketergantungan timbal balik, sebuah ikatan yang tak terlepas. Ia tersenyum tipis, menutup mata, dan membiarkan malam menelan semua suara, hanya meninggalkan detak obsesinya yang tak pernah berhenti.
Tamat.
---