Mansion keluarga Von Stein berdiri di pinggiran kota London, dikelilingi pagar besi hitam tinggi dan kebun mawar yang dirawat para pelayan. Bangunan itu tampak megah dari luar, tapi di dalamnya selalu lengang, seakan waktu berhenti berputar.
Di salah satu kamar lantai dua, seorang anak laki-laki duduk di kursi kayu, wajahnya pucat diterangi cahaya pagi yang menembus tirai tipis. Rambut abu-abu gelapnya jatuh berantakan di dahi, menutupi bekas luka melintang di alis kiri. Mata birunya dingin, kosong, menatap lama pada setangkai mawar putih yang tergeletak di meja.
Dialah Kieran Von Stein, pewaris muda keluarga kaya yang jarang sekali terlihat bersama keluarganya. Usianya baru empat belas, namun sikapnya jauh lebih tua dari itu tenang, kaku, dan datar.
“Tuan muda, sarapan sudah siap.” Suara dalam dan datar kepala pelayan memecah kesunyian. Lelaki tua berambut perak itu menunduk sopan di depan pintu.
Kieran hanya mengangguk pelan. “Tidak perlu.”
“Seperti biasa,” gumam sang kepala pelayan, tanpa mencoba membujuk. Ia sudah terbiasa menghadapi penolakan tuannya yang dingin.
Kieran berdiri, menyambar tas hitam, lalu berjalan keluar kamar. Langkahnya pelan namun mantap, melewati lorong panjang dengan lukisan keluarga yang tergantung di dinding. Ia sempat berhenti di depan salah satu lukisan: potret keluarga Von Stein yang diambil bertahun-tahun lalu. Wajah orangtuanya sama sekali tak berubah dingin, formal, tanpa senyum.
Di samping dirinya dalam lukisan itu, ada seorang anak perempuan berambut cokelat muda. Adiknya. Sudah tiga tahun berlalu sejak gadis itu pindah ke Italia, tinggal bersama kerabat jauh. Tiga tahun tanpa surat, tanpa telepon, tanpa kabar. Hanya sepi.
Kieran menatap lama potret itu, lalu berbalik tanpa ekspresi. Ia sudah terbiasa berjalan di lorong dingin mansion, seolah rumah itu bukan rumah.
---
Sekolah
Hari itu, cuaca London mendung. Kieran tiba di sekolah dengan mobil hitam keluarga, ditemani sopir. Ia turun tanpa banyak bicara, langsung berjalan ke kelas.
Begitu masuk, ia segera disambut keributan biasa.
“Kieran! Duduk sini, bro!” seru seorang anak laki-laki berambut cokelat terang, paling cerewet di antara teman-temannya.
“Woy, Von Stein! Kenapa mukanya selalu kayak patung?” sahut yang lain, disambut tawa.
Ada lima orang di lingkaran kecilnya meski Kieran tak pernah benar-benar menganggap mereka “sahabat”. Ada yang pendiam, ada yang heboh, ada yang jahil. Mereka berisik, tapi anehnya selalu mengajaknya duduk bersama.
Kieran meletakkan tas di kursi belakang, duduk dengan tenang. Ia tidak menanggapi lelucon atau ajakan mereka.
“Lo denger gak, katanya minggu depan ada pesta dansa sekolah?” kata salah seorang, antusias.
“Aku sih yakin Von Stein gak bakal dateng,” ejek yang lain.
Kieran mengangkat alis, menatap mereka datar. “ Tidak ada gunanya.”
Mereka terdiam sejenak, lalu tertawa lagi.
Bagi Kieran, sekolah hanyalah rutinitas. Interaksi ini pun hanya permukaan. Ia tak pernah membiarkan siapa pun masuk lebih dalam. Tak ada yang tahu di mana ia tinggal, siapa keluarganya, atau bagaimana hidupnya di mansion. Semuanya ia simpan rapat.
---
Sepulang sekolah, Kieran berjalan di kebun mansion. Deretan bunga mawar bermekaran, sebagian merah menyala, sebagian putih. Ia berhenti di depan mawar merah, menatapnya dengan pandangan dingin.
Ia benci warna merah.
Merah mengingatkannya pada luka lama, pada tumpukan memori yang tak ingin disentuh. Darah kakaknya yang meninggal dalam kecelakaan. Senyum tipis sepupunya yang perlahan pudar karena penyakit. Dan, lebih dalam lagi, seorang gadis masa kecil yang dulu memberinya setangkai mawar merah—hanya untuk kemudian mengkhianatinya.
Tapi wangi bunga itu juga sama dengan wangi mawar putih yang selalu disukai adiknya. Setiap kali ia mencium aroma itu, ada bagian hatinya yang seolah melembut.
Kieran menutup mata. Ingatan masa lalu datang dalam potongan kilas balik. Adiknya kecil, tertawa sambil berlari di taman, membawa setangkai mawar putih.
“Kak, ini wangi sekali. Kau harus menyimpannya.”
Kieran kecil hanya mengangguk dingin. Tapi jauh di dalam hatinya, ia menyukai kehadiran adik itu.
Kini, yang tersisa hanyalah aroma samar bunga mawar.
---
Hari-hari berjalan monoton. Hingga suatu ketika, desas-desus mulai terdengar di sekolah. Ada yang menyebarkan kabar bahwa Kieran bukan anak sahabat yang baik, melainkan pewaris dingin yang sombong, yang keluarganya penuh skandal.
Semula Kieran mengabaikan. Tapi ketika ia mengetahui sumber gosip itu berasal dari salah satu anak dalam lingkaran kecilnya sendiri, sesuatu dalam dirinya runtuh.
Ia tak kaget ia sudah terbiasa dengan pengkhianatan. Tapi kali ini, ada yang berbeda. Untuk sesaat, ia mengira mungkin orang-orang ini bisa jadi pengecualian. Nyatanya tidak.
Di kelas, tatapan orang-orang mulai berubah. Suara bisik-bisik mengiringi setiap langkahnya. Tapi Kieran tetap berjalan tenang, ekspresinya tak bergeser sedikit pun.
Hanya saja, malam itu ia duduk lama di kamarnya, lampu dimatikan, menatap keluar jendela ke kebun mawar. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasakan sesuatu di dadanya—bukan marah, bukan sedih, melainkan hampa yang semakin dalam.
---
Kabar dari Italia
Beberapa minggu kemudian, sebuah surat resmi datang. Kepala pelayan mengetuk pintu kamarnya.
“Tuan muda. Ada kabar dari Italia.”
Kieran menoleh, wajahnya tetap datar. “Apa?”
Sang pelayan menunduk, suaranya pelan. “Nona muda… meninggal dunia.”
Untuk sesaat, ruangan hening. Waktu seakan berhenti.
Kieran tidak bergerak. Tidak ada air mata, tidak ada jeritan. Hanya sunyi yang makin menekan.
Di meja, setangkai mawar putih tergeletak. Wangi samar bunga itu memenuhi kamar. Kieran mengambilnya perlahan, menatap kelopaknya yang lembut.
Di benaknya, suara tawa kecil adiknya masih terdengar. “Kak, ini wangi sekali. Kau harus menyimpannya.”
Mawar itu kini menjadi simbol kehilangan simbol terakhir dari sesuatu yang pernah hangat dalam hidupnya.
---
Keputusan
Beberapa hari setelah pemakaman di Italia, Kieran kembali ke London. Mansion tetap sunyi, orangtuanya sibuk dengan bisnis, tak menunjukkan apa-apa selain formalitas.
Di sekolah, gosip makin liar, sahabat-sahabatnya menjauh. Semua runtuh satu per satu.
Malam itu, Kieran berdiri di jendela kamarnya, menatap kebun mawar yang diterangi cahaya bulan. Hatinya terasa beku, tapi di balik kebekuan itu ada luka yang dalam.
Ia tahu, ia tak bisa lagi tinggal di tempat ini. Semua kenangan, semua pengkhianatan, semua kehilangan terlalu berat untuk ditanggung.
Esok harinya, ia memanggil kepala pelayan. “Siapkan semuanya. Aku akan pindah. Ke luar negeri.”
“Baik, Tuan muda.”
Suara pelayan itu tetap datar, tapi ada sedikit keraguan di matanya. Meski begitu, ia tak membantah.
Kieran menatap sekali lagi kebun mawar di luar jendela. Angin malam membawa aroma samar bunga-bunga itu merah dan putih, kebencian dan kenangan, pengkhianatan dan cinta yang tak pernah terucap.
Satu hal pasti: ia akan meninggalkan semuanya.
Tapi di dalam hatinya, ia tahu, bayangan mawar itu akan selalu mengikutinya.
---
Beberapa minggu kemudian, mansion itu menjadi lebih sunyi dari sebelumnya. Kieran sudah pergi, meninggalkan tanah kelahirannya, sekolahnya, bahkan makam adiknya.
Ia tidak menoleh lagi.
Namun di bagasi kecil yang ia bawa, ada satu hal yang ia simpan diam-diam: setangkai mawar putih kering, terselip di antara buku catatannya.
Bagi Kieran, itu bukan sekadar bunga. Itu adalah simbol dari semua yang hilang dan semua yang tidak pernah bisa ia miliki.
Dan di sanalah, di usia empat belas tahun, ia belajar bahwa hidup bukan tentang kemenangan atau kekalahan. Hidup adalah tentang bertahan dalam sunyi, meski segalanya runtuh di sekelilingnya.
~ TamaT