Putri duduk di kursi panjang dekat panggung acara kampus, memainkan ujung rambutnya yang tergerai. Matanya beberapa kali melirik ke keramaian, berharap sosok gondrong dengan senyum yang bikin jantungnya berdebar muncul dari balik pintu. Radit.
Cowok itu terlalu sempurna di matanya. Senyumnya bisa bikin dunia berhenti berputar, sikapnya ramah, dan caranya bicara selalu terdengar tulus. Tapi selama ini Putri yakin, rasa sukanya cuma sepihak. Radit terlalu tinggi untuk digapai.
Karena itu, saat Dewa—cowok manis dengan tatapan hangat dan sifat perhatian—menyatakan suka padanya, Putri tidak tega menolak. Dewa memang berbeda dari Radit, tapi ia juga menarik dengan caranya sendiri. Maka, malam ini Putri sudah berjanji akan pergi kencan dengan Dewa setelah acara kampus selesai.
Namun, nasib kadang suka usil.
Dari kejauhan, Putri melihat sosok idaman nya dengan rambut sedikit gondrong melangkah ke arahnya. Radit. Dengan senyum yang selama ini cuma bisa ia bayangkan dalam mimpi.
“Putri!” panggil Radit ramah, suaranya membuat Putri refleks menoleh.
Jantung Putri seolah melompat keluar. “R… Radit?” suaranya bergetar.
Radit berdiri di depannya, menatap dengan tatapan bersahabat yang membuat hati Putri semakin meleleh. “Kamu sendirian? Nggak ada temen?” tanyanya sambil tersenyum tipis.
Putri mengangguk kikuk. “Iya… lagi nunggu,” jawabnya singkat.
“Ohh,” Radit menggaruk tengkuknya, terlihat sedikit canggung. “Kebetulan aku juga nggak ada rencana malam ini. Kamu mau… jalan bareng aku habis acara? Kita bisa makan atau sekadar nongkrong.”
Deg. Dunia Putri berhenti sejenak. Itulah kalimat yang selama ini ia tunggu. Ajakan dari Radit.
Dalam hatinya, Putri ingin berteriak: “Ya Tuhan, selama ini aku suka sama kamu! Kenapa baru sekarang kamu ngajak aku jalan?!”
Tapi kenyataan menamparnya keras. Ia sudah berjanji dengan Dewa. Bagaimana mungkin ia membatalkan begitu saja?
Dengan berat hati, Putri menunduk. “Maaf, Dit… aku… aku udah ada janji. Sama Dewa.”
Sejenak ekspresi Radit membeku. Senyumnya meredup. Ia menatap Putri dengan mata yang sulit dibaca, lalu menarik napas panjang. “Oh, gitu… yaudah deh. Have fun, Putri.”
Tanpa menunggu jawaban, Radit berbalik pergi. Punggungnya menjauh di tengah keramaian, menyisakan sesak di dada Putri.
“Kenapa baru sekarang…?” bisik Putri pada dirinya sendiri, menahan perih di dada.
Tak lama kemudian, Dewa muncul dengan wajah cerah. “Hai, Putri. Udah lama nunggu?” tanyanya penuh semangat.
Putri tersenyum tipis, mencoba menutupi gejolak hatinya. “Nggak, kok. Ayo, kita pergi.”
Mereka pun melangkah keluar bersama. Namun, jauh di lubuk hati, Putri tahu bahwa malam ini ia pergi dengan Dewa… sementara hatinya masih tertinggal bersama Radit yang tak pernah tahu betapa dalam rasa suka itu.
Selesai