Aku tak pernah menyangka perjalanan liburanku berubah jadi mimpi buruk. Semua bermula saat mobil yang kutumpangi bersama tiga temanku Rio, Ika, dan Santi mogok di tengah hutan, jauh dari sinyal dan pemukiman. Kami memutuskan mencari pertolongan dengan berjalan ke arah desa yang terlihat dari kejauhan, Desa Karanganyar..
Begitu menginjakkan kaki di desa itu, suasana langsung aneh. Tak ada suara hewan, bahkan angin pun seakan enggan berhembus. Rumah-rumah berdiri kokoh, tapi jendelanya tertutup rapat, seakan tak pernah dibuka bertahun-tahun. Kami berteriak memanggil siapa tahu ada warga yang ingin bantu, tapi tak ada yang menyahut.
Hari mulai gelap, kami akhirnya memilih menumpang tidur di sebuah warung kosong. Saat malam tiba, suara-suara aneh mulai terdengar langkah kaki berat terdengar di luar, seakan ada yang mondar-mandir. Santi gemetar ketakutan, dan kami sepakat untuk tidak keluar hingga pagi. Dalam gelap, aku berdoa semoga besok pagi bisa keluar dari desa aneh ini.
Pagi pertama di desa mati itu terasa ganjil. Saat membuka pintu warung, matahari baru saja muncul, tapi suasana tetap kelabu dan dingin menusuk tulang. Kami menelusuri desa untuk mencari manusia, tapi yang didapat hanya jejak kaki tak jelas di tanah becek serta suara bisik-bisik dari balik rumah kosong.
Ika mencoba membuka salah satu rumah, terkejutnya kami melihat meja makan masih terhidang lengkap dengan piring nasi mengering, seperti seisi rumah pergi terburu-buru. Rio menemukan buku harian kecil di meja, isinya catatan panik dari seseorang bernama Wati. Ia menulis tentang teror makhluk hitam besar yang muncul setiap malam, menculik satu per satu warga hingga desa ini perlahan kosong.
Hari kedua dan ketiga, kami mulai kehabisan bekal. Setiap malam suara dentuman dan teriakan sayup terdengar, membuat kami sulit tidur. Di hari keempat, Santi tiba-tiba menghilang saat tengah mengisi botol air di sumur. Kami panik, mencari ke semua sudut desa, tapi Santi benar-benar lenyap tanpa jejak.
Kehilangan Santi membuat kami semakin putus asa. Malam kelima, suara langkah itu semakin keras, diikuti bayangan hitam besar melayang di antara rumah-rumah. Aku, Rio, dan Ika bersembunyi gemetar, berharap malam segera berlalu. Tapi tiba-tiba, pintu warung terbuka sendiri, dan udara dingin merayap masuk, membuat bulu kudukku berdiri.
Rio memberanikan diri menyorot senter ke pintu, terlihat siluet Santi berdiri kaku, wajahnya pucat tanpa ekspresi dan matanya kosong. Ia bergumam dengan suara berat, “Pergi… sebelum kalian jadi seperti aku.” Kami lari sekencangnya, menembus gelap menuju arah hutan.
Akhirnya, setelah tersesat dan nyaris pingsan, subuh keesokan harinya kami tiba lagi di jalan raya, mobil kami masih di sana, tapi seperti tak pernah ada yang memakainya. Wajah Santi dan suara langkah itu masih membayangiku sampai sekarang. Setiap malam, aku selalu terbangun, takut suara dari desa mati itu menjemputku ke sana lagi…