Namanya Pak Rahman, seorang tukang kayu sederhana yang diajak keluarga konglomerat untuk membuat “peti istirahat” mewah bagi Pak Wijaya, sang pengusaha kaya raya yang baru meninggal. Malam itu, setelah pekerjaannya selesai dan menjelang pemakaman, keluarga Pak Wijaya memintanya berjaga selama 40 hari di makam, katanya, “Supaya ruhnya tenang.” Karena upahnya besar, Pak Rahman menyanggupi, walau hati kecilnya penuh tanda tanya.
Hari-hari pertama berjalan normal. Namun, jelang tengah malam, dari sela peti yang ia buat, terdengar bisikan samar, “Kenapa kau temani aku?” Setiap malam suara itu makin jelas, diiringi bau kayu basah dan suara gesekan kuku dari dalam tanah. Di hari ke-14, dari balik nisan, sekelebat bayangan Pak Wijaya muncul, wajahnya membusuk, tapi matanya menatap Pak Rahman dengan tajam: “Utang belum lunas… Jangan pergi sebelum waktunya!” Sejak itu, setiap malam, Pak Rahman merasa dicengkeram hawa dingin dan suara kayu retak di bawah kakinya.
Malam ke-39, hujan deras. Suara peti akhirnya terbuka, sosok Pak Wijaya bangkit setengah tubuhnya dipenuhi serpihan kayu buatan Pak Rahman. “Kau tukang, tapi aku yang jadi bangunan…” Sosok itu merangkak mendekat, mengajak Pak Rahman ikut bersamanya ke liang kubur. Pagi harinya ditemukan Pak Rahman tertidur di samping makam, wajahnya pucat, dan di telapak tangannya, ada bekas paku kayu yang tak pernah ia tanam.