Derasnya hujan malam itu tak bisa meredam firasat buruk di hati Vanilla. Ia berlari kecil melewati gang sempit, langkahnya mempercepat detak jantung ketika suara langkah asing bergema di belakang. Di bawah redup lampu jalan, sosok pria bertudung hitam tiba-tiba menahan langkahnya. Vanilla baru sempat berkata “tidak” saat sapu tangan beraroma tajam membekap wajahnya. Aroma menyengat memenuhi paru-parunya, perlahan matanya memudar, dan segalanya hanyut dalam kegelapan.
Ia terbangun antara sadar dan tidak, tubuhnya dingin di atas ranjang besi, tangan dan kaki terikat kuat. Aroma campuran formalin, darah segar, dan antiseptik menusuk hidung. Cahaya terang menyilaukan mata, memantulkan siluet orang-orang berjas bedah yang bergerak tanpa suara di sekelilingnya. Dari balik tirai tipis, isak tangis dan teriakan lirih menyayat udara, Vanilla tahu dia bukan satu-satunya korban. Panik, ia mencoba menjerit, tapi kain tebal menyumpal mulutnya. Ia hanya bisa menangis diam-diam, mendengar di balik detak jantungnya sendiri derap langkah kejam para pencabut organ.
Vanilla merasa perih luar biasa ketika jarum suntik menusuk lengan, membuat tubuhnya perlahan mati rasa meski pikirannya tetap sadar. Ia meronta sekuat tenaga, air mata membasahi pipi, namun tubuhnya tak berdaya. Satu per satu dokter mendekat, suara alat bedah berdenting menakutkan di telinga. Dengan sisa kesadaran, Vanilla merasakan kulit tubuhnya dibuka, tulang digesek, organ-organ dicerabut dari dalam seperti nyawanya direnggut perlahan.
Di antara kabut dan nyeri, Vanilla mengingat keluarganya.. ibunya yang menunggu di rumah, tawa teman sekelas, dan impian masa depan yang hancur, semua terulang di kepalanya. “Tolong aku, Tuhan...” lirihnya dalam doa yang tercekat. Detak jantungnya makin melemah. Ia merasa tubuhnya perlahan terbagi, lalu akhirnya gelap.
Namun, kematian bukanlah jawaban. Arwah Vanilla terjebak, terperangkap di sudut ruangan yang sama. Ia melihat tubuhnya sendiri, terpotong, kehilangan makna menjadi manusia. Setiap malam, saat pelaku memulai operasi baru, Vanilla hadir sebagai suara tangis dan bisikan menyeramkan, lampu operasi bergoyang, alat bedah bergerak sendiri, dan tangisan perempuan mengisi lorong gelap.
Ketakutan terus menghantui para dokter, mimpi buruk datang setiap mereka tidur, semua wajah korban, terutama Vanilla, menatap kosong dan mengutuk dengan air mata darah. Salah satu dokter muda, Nadia, yang baru magang, rasa bersalahnya terlalu dalam. Diam-diam, dia mulai mencari tahu asal-usul organ yang mereka cabut dan menulis semuanya dalam buku harian.
Suatu malam, Vanilla mampu merasuki tubuh Nadia, ia menuntun tangan Nadia menulis surat pengakuan sekaligus mengirim pesan anonim ke polisi. Dengan tubuh Nadia, Vanilla menghancurkan catatan pasien ilegal, membuka kunci ruang operasi gelap, dan membiarkan bukti kejahatan berserakan. Esok harinya, polisi menyerbu klinik gelap itu.. para pelaku tertangkap, para korban diidentifikasi, dan berita pembantaian organ manusia mengguncang negeri.
Rupanya, salah satu organ Vanilla, ginjal kiri masih hidup di tubuh seorang anak kecil bernama Rey, yang kini sehat dan bahagia, tak tahu asal muasal ginjal itu. Namun, setiap malam, Rey mengalami mimpi aneh.. ia berjalan di lorong sunyi, dikelilingi suara tangis perempuan yang meminta tolong. Vanilla mengetahui ini, dan hatinya teriris, dendam berubah jadi rasa pilu dan iba. Ia tak sanggup menyakiti Rey, tapi juga tak bisa beristirahat tenang selamanya.
Kini, arwah Vanilla bergentayangan di antara dunia manusia dan arwah, kadang muncul di rumah sakit sebagai pelindung pasien yang rentan, kadang sebagai isak tangis yang mengingatkan manusia betapa berharganya kehidupan. Hanya jika kebaikan dan keadilan sungguh ditegakkan, Vanilla baru benar-benar pulang. Sampai detik itu tiba, nama dan tangisnya akan selalu menghantui malam-malam penuh rahasia kota.
Bertahun-tahun berlalu, jejak kasus pencurian organ Vanilla perlahan ditelan waktu, namun arwahnya tetap terjebak di antara dunia. Suatu malam di rumah sakit yang berbeda, seorang suster tua bermimpi didatangi perempuan berjubah putih yang menangis sambil berkata, “Ginjalku masih hidup, tapi jiwaku terpecah.” Ternyata, isyarat itu membawa polisi menguak jaringan penjualan organ lintas negara. Rantai bisnis hitam terbongkar, pelaku utama divonis seumur hidup, dan keluarga para korban akhirnya mendapat keadilan, namun jiwa Vanilla tetap belum benar-benar bebas.
Pada saat yang sama, Rey semakin sering dihantui mimpi buruk. Dalam tidurnya, ia selalu berada di ruang operasi penuh darah, dengan suara seorang kakak perempuan memanggil namanya dan membisikkan kata-kata lembut, “Jaga hidupmu, jangan sia-siakan pengorbananku...” Rey pun tumbuh menjadi remaja yang gemar menolong, suka berbagi, dan diam-diam selalu merasa ditemani “pelindung tak terlihat” yang menjaga dari bahaya.
Suatu hari, Rey mengalami kecelakaan berat. Ia koma selama berminggu-minggu. Di ruang bawah sadar, Rey bertemu Vanilla, wajahnya teduh tapi lelah, matanya berpendar harapan sekaligus pilu. Vanilla berkata, “Kamu adalah harapanku. Ginjalku telah menyelamatkanmu, sekarang giliranmu menyelamatkan banyak orang lain. Hanya dengan kebaikan, aku bisa pulang.” Dengan perlahan Vanilla memeluk Rey, lalu bayangannya menghilang bersamaan detak jantung Rey yang kembali normal.
Setelah sadar, Rey jadi anak yang berbeda.. lebih empati, lebih peka, seperti ada “jiwa baru” yang mengisi kehidupannya. Ia ikut menyuarakan kampanye melawan perdagangan organ illegal, membantu keluarga korban, dan menjadi inspirasi perubahan. Setiap kali malam tiba, arwah Vanilla perlahan memudar… hingga akhirnya, ia berdiri di bawah hujan deras seperti malam saat ia diculik, menatap ke langit, dan tersenyum. Akhirnya Vanilla bisa pulang, dan Rey melanjutkan hidup dengan semangat yang diwariskan “kakak malaikat” di dalam tubuhnya.